Chapter 72
September 2016
15.30
CHILDREN
Saya baru saja pulang dari smk tempat saya mengajar. Memilih tetap di desa untuk mengabdi di pesantren adalah pilihan terbaik saya. Entah kenapa dunia di luar sama sekali tidak cocok dengan prinsip saya. Farah mengahampiri saya yang sedang melepas sepatu di ruang tamu. Dia memberikan sebuah undangan, undangan pernikahan “Andini dan Suyono Muarif”, saya cek tanggalnya dan tersenyum
“Ya! Saya pasti datang”
Usai melepas sepatu, saya pun masuk ke kamar. Kamar ini sekarang dua kali lebih luas. Saya sengaja merenovasinya agar muat untuk ditempati bertiga. Saya, Istri saya dan…… Bayi kecil yang sedang saya gendong ini
“Rainil ‘Abid Dawamul Khair (Rain)”
Namanya adalah berkah bagi kami, hujan adalah simbol kesuburan yang sebenarnya dari Tuhan. Bukanlah sebuah tumpukan batu. Sekarang tugas saya adalah belajar menjadi ayah yang baik baginya, ayah yang akan dia ceritakan kehebatannya pada teman-temannya, pada dunia. Ayah yang namanya akan dia sebut dengan bangga di depan kelas. Rasa bangga yang sama yang dirasakan ayahnya pada kakeknya.
“Sudah siap??
Istri saya mengangguk, kami bertiga pun pergi ke tempat yang sudah direncanakan.
Suasana jalan saat itu sedang macet. Bukan karena banyaknya kendaraan tapi karena semua orang berbaris rapi di pinggir jalan. Mereka menunduk ta’dzim pada mobil putih yang sedang lewat. Saya dan istri saya pun melakukan hal yang sama. Ini adalah hal yang lumrah di desa kami. Ketika kyai lewat, semua warga serempak membuat pagar betis.
Di sana… di dalam mobil putih itu, saya melihat maulida… Eh!! Ning Maulida. Mungkin sejak saat ini saya harus terbiasa melihatnya tanpa cadar merah itu. Seiring mobil putih yang kian menjauh, barisan pagar betis pun bubar.
Di tempat tinggal bapak….
Saya menunjukkan rumah kakeknya pada Rain, dia tertawa walaupun tidak mengerti apa-apa. Ah bagi saya itu cukup, tawa Rain adalah obat bagi kakeknya. Beliau sangat menyukai anak kecil, beberapa kali menyuruh saya agar segera menikah dan memberikannya cucu..
“Cepat nikah sana!! Ntar kelamaan gak dipake, malah gagal produksi huahahahahahaha”
Tidak lucu memang, tapi entah kenapa sekarang saya kangen dengan lelucon garingnya. Sayangnya saat cucunya lahir, bapak tidak bisa melihat tawanya. Tawa yang dilihat dari manapun sangat mirip dengan Tawa beliau. Entah karena beliau yang selalu tertawa seperti anak kecil, atau memang karena Rain adalah cucunya
Kami bertiga berdiri di depan rumah bapak. Rumah terakhir bapak. Banyak yang ingin saya berikan selain Fatihah, Ayat Al-quran dan Doa. Banyak yang ingin saya ceritakan tentang hidup saya saat ini.
Tapi percuma… saya percaya…. Disana…. Disuatu tempat….. bapak sedang melihat kami… melihat cucunya…. Dan tersenyum, seperti halnya kami yang sedang tersenyum menyirami pusara bapak
Berada di depan makam beliau, mengingatkan saya akan hari itu.
YA! HARI ITU
Chapter 73
Februari 2015
03.30 WIB
PAK JAWI DAN KETUJUH ANAKNYA
Bukit kecil di tengah hutan….
Kami berenam berdiri memberikan penghormatan terakhir pada beliau. Pak Jawi dibawa kesini oleh ketujuh anaknya tepat setelah kebakaran. Usia tua menggerogoti tubuh rapuh pak jawi. Beliau menghabiskan waktunya duduk di pondok kecil yang dibangun oleh ketujuh anaknya. Pondok yang hanya muat untuk dirinya sendiri, sementara keenam anaknya, mereka sudah terbiasa tidur beralaskan rumput dan jerami. Pak Jawi membuatkan tujuh pasak kayu untuk membatasi area tidur mereka, agar tidak bertengkar satu sama lain. Pak Jawi tahu Yuda tidak akan tidur dengan keenam saudaranya, tapi sebagai seorang ayah, Pak Jawi mencoba bersikap adil.
Bahkan di saat menjelang ajalnya, pak jawi harus duduk saat siang hari untuk menggendong Yuda. Hingga hari itupun tiba…
Pak Jawi menghembuskan nafas terakhirnya….
Semua anaknya menangis, mereka tidak terlalu mengerti konsep kematian. Tapi melihat pak jawi tidak lagi menjawab panggilan mereka, mereka merasa sedih. Kecuali Yuda….
Mereka berenam mengubur jasad pak jawi, tanpa batu nisan. Karena inilah satu-satunya yang diajarkan pak jawi saat kucing perliharaan mereka mati.
Merasa tidak punya tuan, Yuda pun berkeliaran di desa, hingga menyebabkan terror malam itu. Pak Edi yang menyadari hal ini tahu, bahwa Pak Jawi pasti sudah mati. Dia segera memindahkan sisa jasad yuda ke sumur di rumahnya. Tapi itu tidak membuat Yuda menganggapnya sebagai orang tua. Hingga akhirnya pak edi menyerah, dan memindahkannya ke sumur di tengah hutan.
Keenam anak pak jawi hidup terlunta-lunta. Mereka mendatangi rumah warga hampir tiap malam, hanya untuk memnita sesuap nasi. termasuk rumah saya sendiri. Sampai akhirnya fajri menemukan mereka dan menyekapnya di tengah hutan, demi mencegah mereka membocorkan rahasianya pada warga.
“Abang saya sangat menyayangi keenam anak ini. Sayangnya waktu itu saya belum sempat bertemu mereka, eh mereka sudah pergi”
Ya! Tentu saja! Terlepas dari masa lalu pak jawi yang kelam, beliau adalah sosok ayah yang baik bagi mereka. Menyayangi anak yang terlahir cacat dan bukan darah dagingnya sendiri, bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi pak jawi bisa melakukannya.
Yuda…. Entah Iblis apapun dia saat itu, tapi hati kecilnya masih menganggap enam anak itu adalah adiknya. Yuda beberapa kali datang menolong mereka, termasuk melindunginya dari tabrakan malam itu.
Pak Arman menghampiri makam Yuda yang ada disamping makam pak jawi. Beliau meletakkan sesuatu diatasnya, sebuah lonceng kecil.
“Pak Edi membawa mereka berdua kesini, terlepas dari apapun yang dilakukan pak edi sekarang, setidaknya dia pernah menyelamatkan nyawa pak jawi”
Pak Arman menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak! Pak Ahsan memang sudah sejak lama ingin datang ke sini. Beliau mengirimkan surat yang menceritakan pertemuannya dengan seseorang. Seseorang yang sangat beliau hormati, seseorang yang diyakininya dapat menyelamatkan dirinya dari jalan yang sesat. Seseorang yang beliau anggap pahlawan sesungguhnya. Namun sayang, pertemuannya hanya tinggal impian. Pahlawan yang dimaksud pak ahsan sudah wafat”
“Terus, apa yang akan bapak lakukan dengan keenam anak ini??”
Kami melihat pemandangan yang tidak biasa. Pemandangan yang tidak akan pernah dilihat warga desa. Keenam anak cacat yang mereka benci, saat ini dengan polosnya membersihkan kuburan ayah dan kakaknya. Sesekali mereka memanggil pak jawi, tapi yang membuat saya iba adalah kata-kata lasmini
Pa’ee kalau sudah bangun, ubinya husna taruh disini yaa
Jawab lasmini ummmm Husna sambil meletakkan ubi rebus yang didapatnya dari pak ahsan di atas makam pak jawi.
“Husna (peot), Shoim (gendut), Dhofin (pincang), Kholid (buntung), Arif (Tinggi) dan rizki (juling)
Saya akan bawa keenam anak ini pulang. Rumah mereka bukan disini. Biarlah mereka tinggal bersama pak jawi yang baru. Meskipun saya tidak yakin, bisa sehebat abang saya, hehehehe”
Saya lega, karena keenam anak ini ada di tangan yang tepat. Saya jadi teringat malam itu, malam saat mereka mengamuk. Yang mana saya yakin itu karena pengaruh Yuda. Malam itu saya pikir pak jawi sedang komat-kamit membaca mantra sihir. Tapi setelah saya ingat kembali ekspresi wajahnya yang sedih. Saya yakin kalau saat itu, beliau sedang
BERDOA
“Eh ya?? Gimana dengan pak musa??”
Tanya pak arman.
Saya dan maulida saling pandang. Kemudian saya jawab
“BELIAU BAIK-BAIK SAJA, DISANA….”
THE END
DEDICATE TO
TGH. MUHAMMAD SALEHUDDIN KARIM
OUR BELOVED GRAND TEACHER