Gua hanya diam menatap foto itu
lalu Mia berjalan dan ikut memperhatikan foto yang terpampang di tempok kamar, “Ada
apa Ka ?” Tanya dia kemudian
“Itu siapa ?” Gua balik bertanya
“Ya aku lah ka”
“Iya gua tau kalo yang itu
, tapi yang di sampingnya”

“Owh itu Mamah”
“………” DEG jantung gua berdetak
cepat, Rasanya engga percaya dengan apa yang gua lihat, apa benar ini dia ?
atau mungkin Cuma mirip. “Kalo boleh tau namanya siapa ? ”
“Ibu Fauziah”
“Kok gak mirip ya ?”
“Dia Mamah tiri ka jadi gak mirip”
“………” Gua kembali diam, benar... nama dan wajahnya
sama, jadi dia di sini selama bertahun-tahun nelantarin keluarganya. Emosi gua
naik, kebencian gua yang udah terkubur kembali muncul meluap-luap. Rasanya gua
ingin bunuh dia dan suaminya biar anaknya ikut ngerasain gimana rasanya
kehilangan orang tua dengan cara menyakitkan, Atau gua perkosa terus bunuh
anaknya ? pikiran gua semakin kacau, otak gua terus memikirkan bagaimana
caranya balas dendam.
“Ka, kok diem, kaka kenal Mamah ?”
“Engga, di mana Mamahnya kok gak ada di rumah ?”
“Mamah, Papah, sama adikku liburan gak pulang-pulang
ke rumah ka”
"Maksudnya ?"
“Waktu aku baru masuk SMA, Aku diajak
liburan ke Surabaya tapi aku nolak, soalnya liburannya tiga hari. Aku gak mau
gara-gara liburan ampe gak masuk sekolah tiga hari, apa lagi aku lagi
seneng-senengnya baru jadi anak SMA. Waktu perjalanan pulang, Papah,
Mamah sama adik aku yang masih kecil
ngalamin kecelakaan, Mamah sama adik aku meninggal di tempat terus papah
meninggal waktu dalam perjalanan ke rumah sakit”
“……….” Badan gua mendadak lemas, gua mundur
beberapa langkah dan duduk di sofa kecil dekat ranjang sambil menundukan
kepala. Beberapa detik lalu gua berniat jahat kepada mereka tapi justru mereka
udah meninggal, Gua kehilangan nyokap tapi seengganya gua masih ada bokap yang
ngerawat gua sampai punya mamah baru dan calon adik gua yang baru 5 bulan.
Emosi yang tadi meluap-luap berubah jadi rasa sedih, bukan karena nyokap
meninggal tapi gua membayangkan gimana rasanya seandainya gua yang ada di
posisi Mia.
“Kaka kenapa ?”
“Engga apa-apa, kamu berati tinggal di sini ama
siapa ?”
“Aku sendirian”
Mia menceritakan banyak hal sejak
kepergian orang tuanya, walau dia di sini sendirian tapi setiap bulan Om Reinir
yang ngurus perusahaan alm bokap nya mengirim uang dan sesekali mampir.
Sejujurnya biar pun gua cowo tapi gua benci kesepian, apa lagi tinggal di rumah
besar sendirian seperti ini. Satu hal yang gua tau, penderitaan Mia lebih dari
apa yang gua rasain. Dan gua baru ngerti apa yang di ucapkan Piccolo tempo
hari, bahwa Tuhan engga pernah tidur.
Sekitar jam 22:00 gua pamit
pulang karena jarak dari sini ke rumah butuh waktu sekitar satu jam lebih,
sepanjang jalan gua terus melamun. Bukan Mia yang gua pikirkan tapi Kanza.
Sesampainya di rumah gua lihat ada beberapa SMS masuk dari Mia
“Ka, udah nyampe mana ?”
“Kaka kalo udah nyampe SMS ya”
“Kaka”
“Ka”
“Kaka oi kaka”
“Langsung tidur ya ?”
“Kakaaaa”
Gua coba bales
DRET DRET
gak lama ada balesan




Gua letakan hp di ranjang dan coba memejamkan mata
tapi engga juga merem, bukan ngantuk sebenarnya yang bikin gua engga mau maen
game bareng tapi karena teringat Kanza, Gua ngerasa bersalah karena tadi udah
sempat kebawa emosi pedahal dulu gua udah bilang kalau gua udah maafin mereka
tapi kenyataannya walau udah maafin mereka kebencian ini masih ada walau hanya
sedikit.
kehadiran Kanza mengajarkan gua
untuk memaafkan mereka, gua harap kehadiran Mia bisa menghilangkan semua
kebencian yang masih tersisa. Mia engga salah apa-apa, yang salah orang tuanya.
Gua gak mau sampai orang yang gak bersalah harus kena imbasnya.
Aku Kau dan Sabun Part 48