Banyak yang
bilang pikiran gua dewasa sebelum waktunya, missal saat gua duduk di bangku
kelas 4 Sekolah Dasar gua sering melakukan hal yang engga wajar di kelas.
Misalnya saat ada murid perempuan sedang berdiri di samping meja gua sering
iseng lewat sambil meremas bokong atau dadanya, sampai pernah dipanggil ke
ruang kepala sekolah
Beberapa tahun lalu…
“Kamu ini masih kecil aja seperti
ini, gimana sudah besar nanti” Kata kepala sekolah sambil menceramahi gua
“Kata teman saya itu rasanya enak
pak, jadi saya Cuma nyobain dikit” kata gua dengan polosnya menjawab
“Teman kamu siapa namanya ?”
“Anton pak”
“Dikelas kamu engga ada yang namanya Anton”
“Dia kelas 3 SMP pak”
“Kamu pilih-pilih nyari teman
jangan kebawa nakal, kalo kamu masih seperti ini bapak panggil orang tua kamu”
“Jangan pak, saya janji engga bakalan ngelakuinnya
lagi di kelas”
“Bagus, awas kalo masih nakal”
“ia pak, tapi kalo diluar kelas boleh ?”
“Tetep jangan”
“iya pak, ampun pak”
Setelah mendapat tegoran, gua
jadi engga pernah melakukan hal itu lagi disekolah. Tapi gua tetap melakukan
kenakalan yang lain, mungkin karena gua kurang mendapat perhatian di rumah jadi
sering mencari perhatian orang lain dengan cara melakukan kenakalan.
Sepanjang acara MOS dimulai gua lebih sering melamun, kadang gua
mendapat hukuman karena engga memperhatikan. Setelah bel istirahat berbunyi gua
engga ke kantin seperti kemarin-kemarin, tapi gua sendirian memandangi beberapa
orang siswa baru yang sedang asik bermain di lapangan dari balkon kelas yang
berada di lantai 3.
Tamparan tadi pagi begitu keras sampai menggema di dalam aula, tapi
bukan rasa sakit itu yang menjadi masalah. Gua sering mendapatkan pukulan, gua
bahkan sudah terbiasa menerima rasa sakit tapi gua bingung kenapa gua selalu
melakukan hal bodoh di depan Kanza.
Gua duduk dibangku beton depan kelas sambil menaikan celana panjang biru
sebelah kanan sampai bagian paha terlihat, lalu gua ambil jarum yang biasa gua
bawa setiap hari. Perlahan satu jarum gua tusuk dibagian pangkal paha sampai
benar-benar menancap, lalu jarum kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
UHHH….
Gua hanya
mendesah pelan sambil memejamkan mata, Gua engga kebal dari rasa sakit, gua
juga bukan jagoan atau belajar debus. Tapi setiap kali gua melakukana hal ini
pikiran gua jadi tenang, engga ada yang tahu kalo gua suka melakukan ini karena
selain bermain dengan DIRLI gua juga sering melakukan ini dikamar mandi sejak
lulus SD.
“ANEH”
sebuah suara
terdengar, gua membuka mata dan melihat siapa yang mengucapkannya.
Sekarang wanita
cantik, sombong, dan galak sedang duduk disamping gua. Entah sejak kapan
datang, mungkin karena gua terlalu menikmati tusukan jarum sampai engga
menyadari kedatangannya. Gua hanya menolehnya lalu mengabaikannya dan kembali
memejamkan mata.
“BODOH”
“…………..”
Gua hanya diam mengacuhkannya, lalu membuka mata saat dia mencabut satu
persatu jarum yang menancap di paha gua.
“ngapain coba kaya gini” kata dia sambil memegangi 5 buah jarum ditangan
kanannya lalu melemparnya ke lantai.
“Suka-suka”
jawab gua cuek
Lalu dia
berdiri dihadapan gua “AKU TANYA SEKALI LAGI, BUAT APA INI ?”
“Enak”
PLAK…. Sebuah tamparan mendarat dipipi kanan gua
“Rasa sakit
bikin gua tenang, lagi”
“BODOH”
PLAK.. PLAK.. PLAK.. PLAK…
dia menampar pipi kiri dan kanan gua terus menerus sampai dia berhenti
dengan napas terengah-engah.
Gua berdiri mendekatinya, Kanza mundur beberapa langkah dengan wajah
terlihat ketakutan sampai badannya sudah mentok dengan pagar. Gua liat ke arah
lapangan sudah engga ada lagi orang di sana, dan engga melihat siapapun dari
sini. Gua semakin mendekatkan wajah gua sampai Kanza menutup matanya dengan
badan yang terlihat gemetar ketakutan, lalu gua memeluknya sambil membisikan “Jangan
takut, maaf gua selalu bertingkah bodoh di depan lo” lalu gua
melepaskan pelukan dan berjalan meninggalkannya.
Setelah acara MOS terakhir selesai, hari ini gua resmi menjadi Siswa
SMAN Bogor. Darno hari ini sibuk mendekati gebetannya sampi dia lupa dengan
gua, tapi itu bukan hal aneh karena dia memang seperti itu.
Sore ini gua
engga langsung pulang, gua berencana kembali ke lantai 3 untuk sekedar
duduk-duduk sambil menikmati angin sore. Saat menaiki anak tangga disana ada
Kanza yang sedang berdiri tapi gua menghiraukannya dan melewatinya begitu saja
tapi dia memegang pergelangan tangan gua seolah meminta gua untuk berhenti.
Lalu dia duduk di tangga dan gua ikut duduk disampingnya, kami hanya saling
diam.
“Maaf…” Kanza
mulai berbicara
“…………” gua
hanya diam tanpa menatapnya
“Maaf… maaf…
maaf… maaf… maaf…”
“………….”
dia mengucapkan kata maaf beberapa kali tapi gua tetap diam sampai
akhirnya Kanza membuka tasnya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
“………..” gua
hanya menelan ludah saat melihat matanya yang berkaca-kaca dengan tangan kanan
yang menggenggam sebuah pisau tajam.