Air mata
ini langsung menetes saat melihat Vina dengan tubuh tak berdaya, kaki ini
terasa lemas saat melihat darah segar yang keluar dari hidungnya. Seperti
mimisan tapi ini lebih deras dan terus keluar walau nyokapnya terus
membersihkan dengan kapas.
Nyokapnya bilang harus bayar 10
juta dulu baru bisa masuk ruang ICU, gua langsung lari keluar kamar untuk
mengurus administarsi. Walau kaki ini terasa begitu lemas tapi gua paksakan
untuk berlari, gua gak mau terlambat. Gak peduli beberapa pasang mata menatap
gua heran, gua terus lari. Gua gak mau sampai terlambat.
Sekitar beberapa menit setelah
mengurus administrasi gua kembali ke kamar, sekarang dua orang perawat sedang
membersihkan hidung Vina yang masih mengeluarkan darah.
“Kenapa belum masuk ruang ICU,
apa kurang ? berapa saya harus bayar ! sebutin saya pasti bayar” Gua protes
dengan napas terengah-engah
“Sabar pak, Tunggu bentar lagi”
Jawab seorang perawat yang sedang membersihkan darah yang terus keluar dari
Hidung Vina.
“………………”
Plastik berukuran besar dengan
penuh kapas dan darah membuat gua takut, Gua takut… gua takut… gua gak mau
kehilangan orang yang gua sayang dengan cara seperti ini lagi… tolong.. buruan
selamatin Vina, gua terus berteriak-teriak dalam hati.
Setelah menunggu beberapa menit
Vina dibawa masuk ke ruang ICU, Bokap menelpon seorang ustad yang tinggal dekat
rumah. Setelah menelpon Bokap berjalan meninggalkan kami menuju mushola untuk
memanjatkan do’a-do’a yang di minta pak ustad untuk di baca.
Gua hanya bisa menyandarkan badan
di kursi menunggu bersama keluarga gua dan keluarga Vina. Dian yang duduk di
samping gua ikut nangis, dia sesekali menatap gua tapi gua gak mempedulikannya.
Dari dulu orang takut dengan DBD
tapi gua engga, gua gak pernah takut dengan penyakit mematikan itu karena yang
gua tau DBD hanya demam yang naik turun. Tapi ternyata saat Vina keadaannya
membaik justru saat itulah sel-sel dalam tubuhnya sedang digerogoti. pembuluh
darah yang pecah dan jumlah trombosit yang semakin sedikit membuat Vina
sekarat.
Gua tatap pintu ruang ICU yang berjarak beberapa
meter dari sini, di dalam sana team dokter berusaha menyelamatkan Vina.
Sedangkan gua hanya bisa berdo’a, gua gak bisa berbuat apa-
apa lagi, hanya ini yang bisa gua
lakukan. Gua pasrah, gua serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa.
Gua jadi teringat kejadian beberapa
bulan lalu, Gua masih inget saat pertama kali Vina main di net dan gua
menawarinya jadi Operator,
Saat pertama kali dia membuatkan kopi,
Saat pertama kali dia mijit gua yang kecapean,
Gua masih mengingat semua yang pernah kita lalui,
Kanza, dia yang membuat gua bisa berubah seperti ini
dan Vina dia yang melanjutkannya…
Ahhh.... kenapa saat-saat seperti ini gua harus
mengingat semua itu,
Gua terhentak saat tangan Dian merangkul gua, dia
menatap gua dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Peralahan gua
menyandarkan kepala di pundaknya, dada gua terasa begitu sesak, badan gua
lemas.
Gua bukan orang penakut, tapi
disaat seperti ini justru gua jadi sangat penakut. Gua takut kehilangan lagi,
gua gak mau sampai terulang lagi.
CKREK… setelah
sekian lama menunggu dokter keluar dari ruang ICU,
“Alhamdulillah”…
semua serentak bersyukur saat dokter bilang kalau keadaan Vina membaik, gua
lega mendengarnya. Tapi karena Vina belum boleh di besuk dan harus beristirahat
di ruang ICU jadi kami hanya menunggu di luar.
Dari kaca yang ada di pintu ruang
ICU gua melihat Vina yang sedang terbaring dengan peralatan medis yang menempel
pada tubuhnya.
Karena kaki yang begitu terasa
lemas jadi gua duduk di lantai dekat pintu sambil menyandarkan badan pada
dinding, bokap Vina meminta gua untuk duduk di bangku yang ada di sebrang
lorong tapi gua hanya menggeleng-geleng kepala. Gua gak mau ninggalin Vina
lagi, di sini jarak terdekat gua dengannya.
Dian ikut duduk di sebelah kanan gua, dia menatap
gua tanpa bicara.
“Ada apa ?”
“………….” Dian hanya menggeleng-geleng kepalanya
“Udah jam sembilang, di cariin uwa loh”
“Aku udah bilang mau nginep”
Kami kembali saling diam, suasana terasa hening.
Vina orang baik, kenapa dia harus berada di dalam
sana….
Maaf… Maaf.. Maaf… aku hanya mengingat-Mu disaat
seperti ini,
Tolong… tolong… tolong.. beri dia kesempatan lagi…
Aku janji akan menjaganya dengan baik, aku gak akan
melakukan hal-hal buruk lagi
Tuhan… tolong... sembuhkan dia…
Kami semua hanya bisa menunggu,
berharap, dan berdo’a. Melihat keluarga kami, gua baru sadar kalau yang takut
kehilangan bukan hanya gua tapi mereka juga.
Aku Kau dan Sabun Part 69