Aku Kau dan Sabun Part 94



Langit yang gelap kini menjadi terang, setelah menunggu antrian untuk berlabuh akhirnya gua bisa kembali menginjakan kaki di tanah (Lebay gila ). Mungkin karena gua yang baru pertama kali naik kapal jadi saat berjalan tubuh gua serasa masih ada di atas air.

Awalnya gua kira cukup naik kapal lalu sampai di tujuan, tapi ternyata saat menanyakan alamat Dian pada Uwanya. Gua diberi arahan setelah sampai di Bakauheni untuk dua kali naik Bus dan tukang ojek, karena takut lupa rute mana yang harus gua tempuh jadi gua menulisnya pada notes di hp.

Setelah makan secukupnya dan mandi di WC umum gua bergegas kembali melanjutkan perjalanan karena gak sabar ingin cepat-cepat sampai.

Perjalanan yang cukup melelahkan, tapi semua itu terbayar dengan pemandangan yang disuguhkan oleh dua bukit dan hamparan ladang yang terlihat indah dipandang mata. Berkat bantuan tukang ojek sampailah gua di depan sebuah pedesaan, gua sengaja turun di sini karena ingin melihat-lihat sekitar.

Suasana di sini gak jauh beda dengan di rumah, beberapa pasang mata yang memperhatikan gua melemparkan senyuman setiap kali gua menatap mereka. Setelah bertanya pada beberapa warga di jalan, sampailah gua di sebuah rumah berwarna putih dengan seorang kakek-kakek berusia lanjut yang sedang duduk di terasnya.

“Assalamu’alaikum”

“Walakum’salam, nyari siapa De ?”

“Ini bener rumah Dian Bah ?”

“Iya, Sini duduk dulu” Kata dia sambil menghisap roko kretek ditangannya

Gua duduk disampingnya sambil melihat-lihat sekitar rumah, Dua bukit yang ada di ujung sana menarik perhatian gua. Gua penasaran apa di hutan yang ada di dekatnya masih ada hewan buas atau itu adalah hutan Buatan, entahlah gua jadi ingin menghabiskan liburan di sini. Pasti menyenangkan bisa menghabiskan waktu main di atas bukit sana dan mengelilingi ladang seperti yang sering Dian lakukan setiap kali mudik.

“Dari mana De ?” Pertanyaan mbah membangunkan gua dari lamunan

“Dari Bogor Bah”


Gua seikit kesulitan bicara dengannya karena kadang-kadang dia menggunakan bahasa jawa saat bicara, saat sedang ngobrol tiba-tiba dia jadi diam saat gua menanyakan Dian.

“Bah, Diannya ada ?” karena takut dia gak denger jadi gua mengulangi pertanyaan yang sama dengan suara yang sedikit dinaikan

“Mbah gak bolot” Protes dia “Yuk ikut Mbah” Kata dia, lalu berdiri dan mengajak gua masuk ke dalam rumah.

Gua gak ngerti kenapa dia malah mengajak gua masuk ke dalam, karena penasaran jadi gua langsung copot sepatu dan mengikutinya ke dalam. Kami berdiri di depan sebuah pintu kamar berwarna hitam,

“Kok sepi bah ?” Tanya gua sambil melihat-lihat isi rumah

“Masih di ladang”

KREEEEK… Perlahan Mbah membuka pintu,

Sebuah kamar yang rapih dengan Dian yang sedang duduk di atas ranjang. Gua senang saat bisa melihatnya, tapi dada gua terasa sesak saat melihat sesuatu yang digendongnya. Dia hanya diam menatap kami berdua yang sedang berdiri di pintu.

Walau gak keliatan tapi gua tau yang terbalut kain batik itu bayi. Rasa putus asa mulai datang, Jadi Dian udah punya anak ? Gimana bisa punya anak sedangkan dia belum lama meninggalkan Bogor, atau janga-jangan dia meninggalkan Bogor karena hamil ? Tapi itu anak siapa ? SIAL…. Gua terus berpikir negatife.



“Masuk aja!” Kata Mbah yang ada disamping gua,

“De, kaka masuk ya ?”

“………………”

Karena dia yang hanya diam jadi gua mengganggap itu 'Boleh', Sambil melangkah masuk gua pandangi sekeliling. Kamar ini terlihat rapih, tapi kenapa gak ada barang-barang lain selain lemari dan ranjang ? Gua coba mengabaikan semua itu dan duduk di ujung kasur sambil menatap Dian yang terus memperhatikan gua.

“De, kok diem aja ?” Tanya gua

“…………” Dia masih membisu

“De… kamu lagi sakit ?”

“…………”

“De… kamu kenapa ? lagi ada masalah sama suami kamu ?” Gua coba menyindirnya

“Kamu” Dia mulai bicara “Siapa ?” Lanjutnya

Dada gua kembali terasa sesak mendengar ucapannya, Kenapa dia bertanya seperti itu .

“JANGAN BECANDA” Protes gua

“Berisik! Anaku jadi bangun, Cup cup cup jangan nangis ya sayang. Dia Cuma tukang kerupuk”

“………….” Sekarang gua yang diam

Sepertinya gua membangunkan anaknya, gua melirik Mbah yang masih berdiri di pintu kamar. Dia menundukan kepala lalu berjalan meninggalkan kami berdua.

Dian berhenti menimang anaknya, Ada yang beda dari caranya menatap gua. Dian udah gak mengenali gua atau dia benci dengan gua jadi pura-pura gak kenal.

Tujuan gua ke sini dengan harapan bisa membawanya kembali ke Bogor, gua ingin memperbaiki semua kesalahan yang telah gua lakukan dimasalalu. Seandainya Harapan itu angin dan Kenyataan itu Gravitasi, sepertinya gua gak akan bisa terbang karena Gravitasi lebih kuat dari hembusan angin yang coba membawa gua melayang.

Mon... Maaf... gua akan melanggar Janji



Aku Kau dan Sabun Part 95