Waktu terasa berjalan lambat,
kami hanya saling diam. Tatapannya yang dingin tanpa senyuman yang biasa dia
lontarkan setiap kali gua menatapnya, gua ada lagi suara kekakank-kanakannya
memanggil nama gua seperti dulu. Jangankan memanggil, dia bahkan gak mengenali
gua.
Air mata yang dari tadi gua tahan akhirnya tak
dapat terbendung lagi, buru-buru gua mengusa air mata dengan kedua tangan.
Kedua matanya terus memperhatikan gua tanpa mempedulikan apa yang gua rasakan.
Gua gak tahan berlama-lama di sini, gua bangun dan berjalan menuju pintu.
“Ka”
Langkah kaki gua berhenti saat
mendengar suara yang memanggil gua dari belakang, ah gua pasti salah denger.
Gua coba mengabaikannya lalu kembali melangkah, saat hampir mendekati pintu
langkah kaki gua kembali terhenti saat mendengar suara isak tangis. Gua masih
diam di pintu, gua coba mengabaikannya tapi gak bisa. Gua langsung berbalik
badan melihat Dian yang sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya yang dilipat.
Suara tangisannya membuat gua
terenyuh, gua pernah melihat dia nangis beberapa kali tapi ini untuk pertama
kalinya gua melihatnya menangis seperti sedang merasakan kesedihan yang sangat
mendalam. Gua kembali masuk ke dalam kamar, gua mendekati dan duduk
disampingnya. Perlahan gua julurkan tangan kiri dan membelai rambutnya,
tangisannya tiba-tiba terhenti. Dia mengangkat wajahnya dan menatap gua.
Caranya menatap gua sama seperti
saat pertama kali kita bertemu di lapangan sekolah, gua seka air matanya dengan
kedua tangan. Lalu Dia langsung mendepap gua yang masih berdiri disamping
ranjang, gua kembali membelai rambutnya tapi Tangan gua langsung terhenti saat
melihat bayi yang dari tadi dia timang ternyata adalah sebuah boneka yang
terbalut kain batik. Darah gua terasa mengalir disekujur tubuh dengan bulu
kuduk yang berdiri.
Jadi itu
bukan anaknya, Tapi kenapa dia tadi bilang gua membangukan anaknya ? Tunggu!
Gua baru sadar kalau tadi gak mendengar suara tangisan bayi, jadi yang dia
anggap bayi itu adalah boneka. Ah gua bingung, sebenarnya apa yang terjadi di
sini.
“Ka” Kata dia dengan wajah yang masih dibenamkan di
perut gua
“Iya de”
“Kaka kenapa baru ke sini sekarang”
“……..” Gua hanya diam, gua semakin bingung. Dia
yang dari tadi membisu dan gak
Dia melepaskan pelukan, Gua ikut duduk diranjang “Aku
gak kenapa-napa ka” kata dia yang duduk didepan gua.
“Terus kenapa kamu bilang boneka
itu anak kamu ?” Tanya gua sambil menunjuk boneka yang ada dibelakangnya
“KAKA JAHAT”
“……..” Gua langsung diam
“KAKA SAMA AJA KAYA MEREKA”
Gua kernyitkan dahi, “Mereka ?” tanya gua heran
“Aku benci orang-orang diluar,
mereka bilang aku gila huhuhu
” Dia kembali menangis “AKU GAK GILA KA”
lanjutnya dengan setengah berteriak

“………” Gua hanya diam, air mata gua kembali menetes.
Gua gak tau harus bicara apa
“Kaka percayakan aku gak gila ?”
“I iya.. kamu gak gila kok”
“Terus kenapa kaka nangis ?
“Kaka seneng aja ketemu kamu”
“Hehehe” Dia tersenyum menyeringai “Aduh” Lanjutnya
“Kenapa ?
Dia
langsung berbalik badan dan kembali menggendong boneka yang ada dibelakangnya
dengan membelakangi gua “Sayaaang, cup cup cup. Jangan nangis lagi ya” Dia
kembali mengajak boneka tadi bicara.
“De…” Gua memangilnya
“……..”
“De..’ Gua kembali memanggilnya dengan menggoyang-goyang
bahunya,
“Yan”
Gua langsung menoleh ke pintu saat mendengar suara
Embah memanggilnya
“Embah, orang ini siapa sih kok
dia gak pergi-pergi” Protes Dian yang masih membelakangi gua
“………” Embah hanya diam, dia terlihat bingung
menjawabnya,
Dian berbalik badan menatap gua
dengan mata melotot “KAMU DOKTER YA ? PEGI!! AKU BENCI DOKTER!! PERGGIIIIII”
Teriak gua sambil menendang-nendang gua yang masih duduk di ranjang.
Embah masuk ke dalam dan duduk
disamping gua “Yan, dia temen Embah. Jangan galak-galak”
Dian : “Jadi bukan dokter ?”
Embah : “Bukan”
Dian :“Tukang krupuk kan Mbah ? Namanya siapa Mbah
?”
Embah : “Iya tukang krupuk, Kenalan dong”
Dian menatap gua, “Aku Dian, nama kamu siapa ?”
“Bobi” Gua coba meladeninya
“Oh Bobi, dasar tukang krupuk. Enak banget ganti
nama orang, nama aku DIAN, inget ya
DIAN! Bukan DE DE DE”
Gua hanya nyengir bego, “Iya yan, nama anaknya
siapa ?”
Embah langsung tertawa saat mendengar gua
menanyakan anaknya
“Namanya Rahel, Embah sih ketawa,
jadi nangis lagikan” Protes Dian yang kembali menggoyang-goyang boneka yang
digendongnya.
“………….” Gua hanya diam, nama boneka itu membuat
otak gua kembali memutar kejadian beberapa tahun lalu saat kita baru bertemu,
Gua masih ingat dengan jelas saat Rahel menghukum Dian yang gak memakai papan
nama.
Embah bangun dan berdiri
disamping ranjang “Duh Rahel nangis lagi, maafin embah ya. Diyan laper gak ?
Embah mau makan” kata dia kemudian
“Aku gak bisa makan kalo anakku nangis”
Gua ikut bangun dan berdiri
disamping embah “Sini kaka yang gendong, Diyan makan aja” kata gua
“Gak mau, entar kamu masukin anakku ke kaleng
krupuk”
Embah menatap gua dengan kepala
di geleng-geleng, lalu kami pergi keluar kamar untuk makan siang.
Gua duduk di ruang tengan
beralaskan permadani bersama Mbah dan kedua orang tua Dian yang baru pulang
dari ladang, makan di sini hampir sama dengan di rumah walau ada menu
yang paling gua benci yaitu semur
Jengkol
:. Aromanya menggoda tapi entah kenapa gua
sangat membenci makanan yang satu ini.

Gua hanya diam memandangi makanan yang belum gua
sentuh dri tadi, bukan gua gak nafsu makan tapi gua masih kepikiran dengan
Dian.
“Dimakan dong Bob, entar kalo dingin gak enak” Kata
Nyokap Dian
“Hehe iya Bu”
Setelah selesai makan kami masih
duduk di ruang tengah, Nyokap dian bolak balik mengambil bekas makan sedangkan
kami bertiga asik menikmati rokok. Orang tua Dian masih mengenal gua, jadi gak
ada kecanggungan saat kami bicara. Karena rasa penasaran yang terus mengganggu
akhirnya gua coba beranikan diri bertanya.
Gua : “Pak, Kenapa Dian jadi gitu?”
“…………..”
Mereka berdua hanya diam,
ditengah kecanggungan nyokapnya kembali dan duduk di samping gua. “Kok jadi diem-dieman
?” Tanya dia
“Dian kenapa Bu ?” gua langsung melontarkan
pertanyaan yang sama kepada nyokapnya
“…………………” Dia juga ikut diam,
mereka saling berpandangan seolah bingung menjawab pertanyaan gua.
Aku Kau dan Sabun Part 96