Misteri Anak - Anak Pak Jawi 29,30,31,32

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (VERSI LENGKAP) CHAPTER 29, 30, 31, 32

Chapter 29
Januari 2015
00:30


TERIMA KASIH KAKAK

“Kenapa..........................??”

“Kenapa harus saya……………………..??”

-Kakak-

“Jangan!! Jangan mendekat”

-Kakak, kakak, hiihihihihi-

“Entah sejak kapan saya terduduk, saya lupa" 
"Entah sejak kapan kaki saya mati rasa, saya lupa.”

-Kakak???-

“Ini mimpi buruk kan?? Mereka…. Bukannya mereka hanya anak kecil biasa?”

-Kaaaaaaakaaak??-

“Tapi kenapa saya takut???? Kenapa saya harus mundur, setiap kali dia melangkah maju?”

Deg!

Punggung saya terasa dingin, karena menyentuh dinding, pertanda saya sudah tidak bisa mundur lagi.
Disana, di ruang keluarga yang gelap, dia melangkahkan kaki kecilnya yang tak beralas, maju selangkah demi selangkah. Ini seperti tontonan televisi, hanya saja televisinya mati, tapi tontonannya yang hidup.

Sementara disini, saya duduk lemas di depan pintu penghubung koridor dan ruang keluarga. Pintu tak berdaun yang terang benderang karena lampu koridor yang belum dimatikan ini, adalah pertahanan terakhir saya. Mungkin disinilah besok pagi bapak akan menemukan saya yang pingsan dan lemas, atau mayat saya yang tercabik dan kaku.

-Kakak-

“Diam!”

-Kakak, kakak-

“Saya bukan kakak kamu!”

-Kakak, kakak, kakak-

“DIAAAM SETAAAAAAAAAN!!!! PERGI SANA SUSUL BAPAKMU!!”

Tiba-tiba si peot berhenti

…………………………………………………………………………………………………….
Kemudian berjalan lagi, tapi kali ini dengan langkah yang lebih cepat, sambil tetap memanggil saya

-Kakak, kakak, kakak, kakak, kakak, kakak, KAKAK, KAKAAAK-

“AAAAAaaaaaAAaaaaaaaAAAAA”

Teriakan saya yang tak bersuara, hanya desahan nafas dari mulut yang sangat keras hingga terdengar melengking. Dari situ saya sadar, bahwa sedari tadi saya berbicara, hanya bibir saya saja yang bergerak, tapi tidak satupun suara keluar. Sampai akhirnya

Si peot berhenti berlari tepat di depan saya

Membungkukkan badannya

Dan mendekatkan wajahnya

“Hegh”

Saya tersedak hebat, mungkin karena entah berapa banyak ludah yang saya telan sekaligus. Ini adalah rasa ngeri yang lebih hebat dari pada melihat tubuh orang lain terkoyak. 

Dan diantara gebu nafas saya yang semakin terdengar melengking, cahaya lampu dari ruang koridor, melewati pintu penghubung yang tak berdaun, dan akhirnya menerangi wajah si peot yang baru pertama kali ini saya lihat dari jarak yang sangat dekat sekali. Hingga saya menyadari satu hal tentang si peot.


Mulutnya tidak miring ke samping! Hanya saja separuh dari mulutnya yang lebar itu, Dijahit menggunakan rumput


Matanya yang normal mulai mengecil, seiring dengan bibirnya yang semakin melebar mendakan kalau dia sedang tersenyum. Dan dengan mulutnya yang mengerikan itu, dia berkata.....

-Makasih Kakak-

Gubrak *%&%&#(#))#*@!$




Chapter 30
Januari 2015
06:30


KARMAPALA

“Hahahahahahahaha, hiyaaahahahahha huh! Huh! Huhhuhuhhahahahahahahahaha”

Bagaimana perasaan kalian? Jika ditertawakan karena pingsan, jika pingsannya gara-gara seorang anak kecil, dan harus digotong ke kamar oleh bapak kalian, di usia 23 Tahun??

“Hahahahahahahahahhahaha kakak?? Kakak pingsan ya??? Hahahahaha”

Dan bagaimana perasaan kalian jika punya bapak seperti ini??

Saya merasa seperti siswa baru yang lagi dibully sama panitia ospek. Hanya saja, siswa barunya sudah 20 tahun dan kakak ospeknya sudah 50 an, tapi tertawanya masih seperti anak kecil. 

“Kalau sampai tetangga tahu, saya bisa malu banget”

Gerutu saya yang sebal melihat bapak tertawa dari tadi. Masa bodo saya lanjutin ngepel lantai.

“Huhuuhuh tapi…. Pffffff itu anak gak kamu apa-apain kan??”

Tanya bapak yang masih berusaha menelan sisa-sisa tawanya sendiri. Saya pelototin bapak karena bingung dengan maksud dari kata “Apa-apain”

“Enggak!! Boro-boro ngapa-ngapain, lihat mukanya aja saya langsung pingsan”

Jawab saya sembari masih ngepel lantai. Tanpa sengaja saya melihat tas kerja bapak yang tersandar di dinding koridor. Mungkin dia panik ngelihat saya pingsan, jadi gak sempet beresin tasnya.

Saya selalu penasaran dengan isi dari tas bapak. Tas berwarna merah besar yang tingginya hampir sebahu bapak, dan lebarnya lebih lebar dari bahu saya. Tas itu selalu di bawa kalau bapak pergi kerja, dan selalu disimpan di gudang kalau lagi gak dipakai. Dari luar sih gak ada yang spesial dari tas itu, hanya ada tulisan kecil berbunyi “Karmapala”, tulisan yang sama dengan yang ada di bahu kemeja hitam bapak.

Bapak pernah cerita kalau karmapala adalah nama perguruan tempat bapak belajar, bersama dengan almarhum paman (Ayahnya Faza) dan lima murid lainnya yang masih saudara bapak. Ilmu apa yang mereka pelajari, hanya mereka saja yang tahu.

“Emmmm Pak”

Saya memanggil bapak yang sekarang sudah ada di depan tv nonton Avatar.

“Hmmm?”

Jawab beliau seolah-olah serius menyaksikan Aang vs Raja Api Ozai.

“Kenapa bapak gak ambil tindakan?? Kayanya bapak terkesan gak peduli sama fenomena yang terjadi di desa ini??”

Tanya saya dengan sedikit ragu dan sungkan, karena saya memang tidak pernah bertanya apapun yang ada kaitannya dengan profesi bapak.

“Bapak peduli kok, buktinya bapak ikut rapat di balai desa kemarin”

Jawab bapak yang cuma mengangkat jempolnya tanpa sekalipun berpaling dari TV. Mungkin bagi bapak yang hanya lulusan SMP, diundang ke acara rapat itu merupakan sebuah penghargaan tertinggi, karena sebelumnya beliau hanya diundang kondangan saja.

“Tapi pas dulu ada kecelakaan di depan rumah, bapak sama ibu malah pergi masuk ke rumah setelah tahu kalau penyebab kecelakaan itu adalah anak Pak Jawi”

.......................................................................................................................................


Mendengar itu, bapak pun berbalik menghadap saya, kemudian tangan beliau memberi isyarat agar saya ikut duduk di depan TV. Saya pun berhenti ngepel, dan menghampiri beliau. Bapak mengecilkan volume TV nya pertanda siap berbicara.

“Sekarang coba kamu pikir, kenapa Anak pak jawi mendatangi rumah ini tadi malam???

What?? Saya yang bertanya, sekarang saya juga yang dikasih pertanyaan. Dan lagi itu pertanyaan yang bikin saya pusing tujuh keliling, karena sampai sekarang saya gak tahu jawabannya. Saya pun hanya merespond dengan geleng-geleng.

“Kapan terakhir kali kamu ketemu sama anak pak jawi??”

Saya memutar-mutar bola mata saya mengingat-ngingat saat terakhir kali saya ketemu dengan anak pak jawi, tapi yang tiba-tiba muncul di pandangan saya adalah “si peot dengan mulut menyeramkannya yang sedang berlumuran darah, dan mengucapkan kata-kata yang paling saya benci, 

–Kakak-”

Saya geleng-geleng kepala berusaha untuk tidak mengingatnya. Kemudian saya pun menjawab pertanyaan bapak

“Beberapa bulan yang lalu, tepatnya sebelum kebaka…..”

“Bukan!! Bukan!! Bukan itu maksud bapak!!!”

Seru bapak menyela jawaban saya.

“Maksud bapak, kapan terakhir kali kamu ketemu sama anak pak jawi yang tadi malam ke rumah ini, emmmm siapa namanya?? uuuuummmm Lasmini!!!! Ya lasmini!!! Kapan terakhir kali kamu ketemu sama lasmini???”

……………………………


APAAN??? LASMINI??? Dari saking tidak maunya bapak menyebut “Si peot” karena itu adalah nama pemberian warga yang bagi bapak adalah sebuah penghinaan, akhirnya bapak memanggil dia dengan nama Lasmini, Nama tokoh film kolossal yang jadi tontonan wajibnya tiap hari.

Antara illfeel karena nama Lasmini, dan juga ekspresi wajah bapak yang mulai canggung. Saya pun mengingat-ingat kembali, terakhir kali saya bertemu dengan si peot adalah……. Ah ya!! Waktu itu....


Flashback
Chapter 31
Juli 2014
10:30 WIB


UBI REBUS

Saya sedang dalam perjalanan pulang dari toko mbak rid, sambil menggotong tabung elpiji. Waktu itu sudah jam 10:30, waktunya anak-anak madrasah pulang, jadilah saya berpapasan dengan 3 orang siswi madrasah Ibtida’iyah (Sederajat dengan SD) yang sedang berjalan dari arah berlawanan.

Tapi tepat di depan saya, ada seorang anak kecil dengan pakaian lusuh dan rambut panjangnya yang kusam sedang berjalan pelan sekali. Saya merasa kasihan karena kakinya yang tidak pakai sandal itu kelihatan luka-luka, bahkan mungkin dia berjalan pelan sekali karena menahan sakit di kakinya.

Tapi tiba-tiba, 3 orang siswi yang berada di depan saya dan sekaligus di depan anak kecil tadi berbisik satu sama lain sambil melirik anak kecil itu dengan ekspresi jijik dan takut. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tiba-tiba saja mereka lari terbirit-birit, dan karena gang yang sempit, akhirnya mereka menabrak si anak kecil sampai jatuh.

Saya sempat menegur mereka “Eh bing!! Mon ajelen ngabes ra matana!!” 
Yang artinya “Eh dek!! Kalau jalan lihat donk pakai mata!!”

Tapi mereka bertiga hanya menoleh dan mencibir.

Saya pun meletakkan tabung elpiji saya, dan segera menghampiri anak kecil itu yang sedang duduk sambil melihat ubi rebusnya yang jatuh ke tanah. Ubi yang sudah ada bekas gigitannya itu terlihat kotor sekali karena jatuh ke tanah kering. Si anak kecil ini pun berbicara pelan dengan nada yang sedih

“gule lapar paaak eee, gule lapar paaak eee” (saya lapar paaak, saya lapar paaak)

Anak itu terus mengulangi kata-katanya dengan air mata yang menetes membasahi tanah kering yang mengotori ubinya. Kemudian tangannya yang ternyata juga penuh luka itu perlahan-lahan mengambil ubinya yang kotor dan mencoba memakannya tanpa di bersihkan dulu

“Eh!”

Seru saya sambil memegang tangannya! Perlahan Saya pun melepaskan ubi kotor itu dari tangannya, dan membersihkan bagian kotor dari ubi tersebut. 

“Wah kalau sudah kayak gini sih, gak layak dimakan”

Pikir saya dalam hati. Saya pun membuang ubi tersebut dan berniat memberikan uang untuk membeli makanan, tapi reaksi anak kecil ini mengejutkan saya

“Ah ……. Ah………. ah”

Layaknya anak kecil yang akan menangis, anak ini merangkak mengambil lagi ubi kotornya yang sekarang jadi semakin kotor gara-gara saya

“Ya ampun!!! Apa yang sudah saya lakukan!!!”

Saya merasa kasihan sekali melihatnya. Dia berusaha membersihkan ubi kotornya dengan tangannya yang kotor yang membuat ubi itu semakin kotor.

Saya pun meminta maaf dan membantunya membuang bagian kotor dari ubi tersebut. Setelah dirasa cukup bersih, barulah saya berikan lagi.

Anak ini memakannya dengan pelan sekali. Sambil tetap menunduk.

Saya pun tersenyum senang, sedih, kasihan dan sebagainya. Tapi itu semua berubah ketika dia mulai mengangkat kepalanya. Rambut panjangnya menutupi mata kanan dan mulut bagian kanannya, tapi cukup dengan bagian kirinya saja saya bisa tahu siapa yang sedang ada di depan saya ini.

Sambil tersenyum anak kecil yang tidak lain dan tidak bukan adalah si peot ini berkata

-Makasih ya kak-



Chapter 32
Januari 2015
07:00


DIBALIK PENGASINGAN


“Jadiiii begitulah kira-kira, itu terjadi mungkin beberapa hari sebelum rumah pak jawi kebakaran”

Ucap saya mengakhiri cerita panjang saya. Bapak saya mengangguk-angguk seolah-olah cerita saya memberikan pemahaman baru buat beliau. Lalu bapak kembali bertanya,

“Setelah itu, apa kamu sempat bertemu lagi dengan Lasmini????”

Sambil menatap langit-langit saya pun menjawab

“Emmmm enggak, itu terakhir kalinya saya ketemu sama lasmi…..”

“Hm??”

Tiba-tiba bapak mendekatkan wajahnya seakan-akan menunggu saya mengucapkan Lasmini
Saya memilih untuk tidak melanjutkan tapi............

“Hm??”

“Hmmm??”

“Hmmmmm??”

Saya pun kesal dan akhirnya menjawab

“LASMINI, ok?? Lasmini!! Itu terakhir kalinya saya bertemu lasmini seorang diri”

Saya merasa ikut-ikutan gila memanggil si peot dengan nama lasmini, sementara bapak tertawa sumringah karena merasa menang. Menang apa???? Entahlah hanya bapak yang tahu.

“Yaaaa, terlepas dari kabur atau tidaknya kamu setelah ketemu lasmini, bapak bangga karena kamu sudah berbuat baik. Tapi kecewa karena sudah jenggotan tapi masih saja takut sama anak kecil, pantes saja gak ada cewe yang mau sama kamu”

APA HUBUNGANNYA COBA!! Seru saya dalam hati.

“Tapi sekarang kamu tahu akibat dari kebaikan kamu itu kan???”

“Maksud bapak???”

Tanya saya yang bingung dengan pertanyaan bapak

“Hmmmmm, begini……… Kamu sudah berbuat baik sama lasmini dengan membantunya membersihkan makanan favoritnya, tapi apa yang kamu dapat??? Dia mendatangi rumah kamu, memanggil kamu kakak, Membersihkan makanan yang kamu buang, kemudian mengucapkan terimakasih. Tidakkah kamu pikir kalau lasmini adalah anak yang baik??? Anak yang tahu balas budi??”

Saya memikirkan sejenak kata-kata bapak yang menurut saya ada benarnya, tapi andai lasmini tahu kalau saya ikhlas menolongnya, dia gak perlu repot-repot ke rumah saya cuma buat ngagetin saya sampe pingsan.

Dan akhirnya setelah cerita panjang lebar, saya tahu alasan warga memilih mengacuhkan anak-anak pak jawi. 

Jadi…. Dulu sekali,

Sejak mereka muncul di kampung ini, banyak sekali warga yang merasa iba, dan simpati terhadap kondisi anak-anak pak jawi. Pak jawi yang sering menolong warga membuat warga berpikir bahwa anak-anak pak jawi juga pantas untuk di tolong. Hampir setiap hari warga datang memberikan makanan, pakaian, bahkan membuatkan ayunan di halaman rumah pak jawi.

Tapi….

Warga masih belum terbiasa dengan cara balas budi anak-anak pak jawi. Mereka tiba-tiba muncul di rumah mereka, di kamar, di dapur, di kamar mandi. Dimanapun bahkan di tempat yang mustahil bagi mereka untuk masuk, tapi nyatanya mereka disana!! Mereka datang hampir setiap malam, mengagetkan warga, membuat anak-anak mereka yang masih kecil menangis, semua hanya demi mengucapkan sepatah kata


-makasih kakak, makasih bapak, makasih ibu-

Dan mereka hanya mau meninggalkan rumah, saat jam sudah menunjukkan angka 3 dini hari

Merasa kesal dengan kelakuan anak pak jawi, beberapa warga terpaksa ambil tindakan tegas dengan mengusir, membentak, bahkan memukul anak pak jawi yang dianggap melanggar etika karena menerobos masuk rumah orang tanpa ijin.

Dan itu berhasil! Anak-anak pak jawi tidak lagi mendatangi rumah mereka. Tapi warga harus menanggung resiko karena perbuatannya itu.

Beberapa warga mendadak sakit, sakit yang tidak wajar. Ada yang kakinya lumpuh, tangannya lumpuh, mulutnya busuk, anak-anaknya yang tidak bisa berhenti ngiler dan lain-lain. Beruntunglah ada pak jawi yang menyembuhkan mereka. Tapi itu cukup untuk membuat mereka jera.

Bapak pun mengakhiri ceritanya

“Jadi, saat kebaikan tidak bisa kita berikan, dan kejahatan tidak berani kita lakukan, lalu apa yang akan kita pilih?? Ya! Kita akan memilih apa yang warga disini pilih yaitu Diam

Saya pun termenung memikirkan cerita bapak, setelah terdiam cukup lama saya pun pamit untuk melanjutkan mengepel

“Ngomong-ngomong, kamu ngepel apa sih?? Kayanya disitu gak kotor deh!! Cuma tadi pagi emang agak basah dan bau sih”

Saya lanjutkan mengepel dengan cepat agar cepat selesai dan tidak ingin bapak tahu apa yang sedang saya bersihkan ini. Tapi sialnya…….

“Nil?????? Semalem Kamu gak ngompol kan?”

.::Cerita Selanjutnya::.