MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (VERSI LENGKAP) CHAPTER 35, 36, 37, 38
Chapter 35
Januari 2015
03.00
FAJAR
“Cukkoooooooo………… cukkoooooooooooo………”
Suara alarm di ruang tamu, menggema ke sepanjang koridor. Bersamaan dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran di masjid.
“Emh!”
Saya mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadaran yang masih berceceran di lantai. Kemudian mencoba melihat ke segala penjuru rumah yang masih gelap, ke ruang tamu, ke pintu dapur, ke koridor, ke depan TV………
-Kakak-
“HUAH!!!!”
Sial!! Meskipun cuma bayangan, tapi kagetnya beneran. Saya bangun sambil memegang tembok, kemudian melihat ke lantai koridor dan meraba celana…..
“Syukurlah, kering”
Alarm di ruang tamu berhenti berbunyi, saya pun menuju kamar. Saya sempat terdiam ragu untuk membuka pintu kamar sendiri, membayangkan apa yang tadi malam saya lihat. Tapi sekarang tidak ada siapapun disana, hanya tempat tidur yang berantakan, dan bantal saya yang masih di lantai
“Srak!”
Saya buang bantal itu, bantal yang jadi senjata pamungkas saya itu sekarang mendekam di keranjang cucian.
/~/Brrtttttttt brttttttttt, brtttttttttt brttttttt/~/
Handphone saya bergetar, yang setelah saya cek ada 4 missed call dan satu pesan, dari Uci
“Gue udah di rumah sob, ntar kumpul di distro, Ok??”
TOK! TOK! TOK!
Suara pintu rumah di ketok, bapak saya sudah pulang, segera saya menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Krek!”
Saya pun bingung dan heran, karena sosok yang berdiri di depan saya ini bukan bapak. Tapi cewe yang kemarin sore saya lihat ada di mobil Pickup. Cewe berkerudung yang masih memakai penutup mulut itu membawa tas bapak dan memberikannya pada saya.
“Ugh!!”
Tas ini lebih berat dari kelihatannya, tapi cewe ini membawanya seakan-akan gak ada isinya. Dia menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit, dan tanpa mengucap sepatah kata pun cewe itu pergi.
“Lhooo?? Hei!! Kenapa bapak gak pulang??
Jangankan menjawab, menoleh saja tidak. Cewe itu pulang mengendarai pickup yang sama seperti kemarin, hanya saja saya tidak melihat bapak.
“Mungkin kerjaannya belum selesai”
Pikir saya. Sementara itu, di depan rumah pak suryo saya melihat mobil avanza putih di parkir, pertanda keluarga beliau sudah datang. Mungkin setelah dua hari tidak ada lagi kejadian aneh di kompleks ini, mereka menganggap keadaan sudah aman. Atau mungkin juga mereka percaya, rumput di pintu rumah mereka bisa menghalangi terror dari anak pak jawi. Saya masih penasaran, siapa yang punya ide untuk menggantung rumput di pintu rumah??? Entahlah! saya pun masuk.
Selesai menutup dan kali ini tidak lupa mengunci pintu, saya menarik tas berat ini ke kamar bapak, saya tidak berani dan tidak kuat membawanya ke gudang, tidak pada jam segini. Akhirnya setelah susah payah, saya berhasil menyeret tas besar dan berat itu ke kamar bapak, lalu kemudian muncullah rasa penasaran di benak saya.
“Apa sih yang ada di balik tas ini???”
Tas yang berbentuk kotak seperti kulkas ini sudah lama sekali menarik perhatian saya, tapi saya tidak pernah berani membukanya.
Tapi hari ini………
hari ini beda, saya merasa ada yang bisa saya pelajari dari melihat isi tas bapak. Akhirnya dengan tekad yang bulat saya pun jongkok, membuka satu persatu tali simpul yang mengelilingi tas itu
“Sial! Desainnya kuno banget. Kenapa gak diganti resleting aja, lebih simple”
Gerutu saya karena rasa penasaran saya harus tertunda gara-gara membuka tali simpul yang banyak sekali. Dan pada saat saya membuka tali simpul yang terakhir, tas itu pun terbuka menjadi dua bagian dan menampakkan isinya yang hanyalah sebuah peti kayu besar.
Saya meraba-raba permukaan peti itu yang terbuat dari kayu mahoni, dan di plitur dengan sangat indah. Serta ukiran-ukiran aneh di seluruh permukaan peti, membuat peti itu terlihat seperti barang antik.
Klak! Klak Klak!
Saya pun membuka peti itu, dan di dalamnya ada beberapa barang bapak. Baju, sorban, tongkat kayu yang bercabang empat, bambu yang bentuknya mengukir seperti anyaman rotan, beberapa botol kecil ramuan, atau jamu, atau minuman entah apa saya tidak tahu! Serta beberapa barang yang saya tidak tahu nama dan fungsinya.
“Ini doank????”
Saya pun menyerah, karena tidak ada yang bisa saya pelajari dari benda-benda ini. Setelah membereskan tas bapak, saya sholat subuh dan kembali tidur.
Chapter 36
Januari 2015
09.00
TEORI
“Sekarang kita kesampingkan dulu pembahasan tentang siapa dan darimana asal anak-anak pak jawi, karena tanpa informasi atau data kependudukan, kita sama aja jalan di tempat”
Semua mengangguk tanda setuju dengan yang Uci katakan.
“Sekarang, kita bahas fenomena pencabikan di rumah pak jawi yang terjadi beberapa hari setelah lebaran itu. Gue bertugas menampung pertanyaan, atau pemikiran kalian setelah itu kita cari tahu bersama jawabannya”
Lagi-lagi semua mengangguk setuju dengan usul Uci, namun kali ini sambil berpikir. Seperti biasa, dia yang paling cerdas diantara kami berempat . Adi pun mengacungkan tangan! Dan memulai pertanyaannya….
“Aku mulai dulu nih! Aku masih penasaran sama korban pencabikan yang katanya ada tiga orang itu. Dari info yang aku denger, mereka bertiga masih hidup, dan sampai sekarang sehat wal afiat”
“Adi bener! Kalau apa yang terjadi di sana waktu itu sesuai dengan apa yang dideskripsikan Danil dan Erik, maka kemungkinan mereka hidup sangat kecil. Karena dengan banyaknya daging mereka yang terkoyak, pastinya banyak juga darah mereka yang hilang. Sedangkan polisi dan warga baru menemukan mayat mereka beberapa jam setelah kejadian, tepatnya tengah malam saat rumah pak jawi terbakar”
Uci pun menambahkan. Kami berempat hanya saling pandang satu sama lain, kemudian sepakat untuk menjawabnya
Saya yang pertama memulai
“Ketiga korban memang selamat, tapi mereka mengalami trauma hebat yang bahkan sampai sekarang belum juga sembuh sehingga polisi pun bingung karena tidak ada lagi sumber informasi atau saksi, mengingat kejadian itu terjadi saat warga semua tengah sholat maghrib”
“Saksi?? Bukannya kamu bilang kalau pak edi ngasih peringatan sama kita untuk tutup mulut, soalnya ada warga yang melihat kita keluar dari gang kadal pas habis kejadian??”
Erik yang biasanya jarang nyambung, kali ini juga ikut serius membahas.
Setelah berpikir sejenak, saya pun mulai berbicara lagi.
“Jujur saya sempat menaruh curiga sama pak edi, cara dia menyuruh saya diam seperti bukan untuk melindungi saya, lebih ke melindungi diri sendiri . Dan juga bisa saja saksi yang melihat saya dan erik adalah pak edi sendiri, tapi untuk apa?? Apa untungnya menyembunyikan kejadian itu buat pak edi??”
Lagi-lagi kami terdiam dan berpikir, sebelum akhirnya adi menjawab
“Reputasi!!! Menjelang pilkades 2016, pak edi gak mau banyak orang yang tahu kalau ada warga kanibal yang tinggal di RT yang di pimpinnya, sedangkan pak edi tidak melakukan apa-apa sampai jatuh korban. Itu akan mempersulit dirinya yang mungkin berambisi jadi kades”
Saya menyela adi, karena tidak setuju dengan pendapatnya
“Percuma!! Memang tidak ada bukti anak pak jawi yang melakukan, tapi semua warga percaya kalau anak pak jawi yang menyerang pak muhadi CS, dan menyebabkan kebaran pada rumahnya. Berita ini bahkan sudah masuk Koran. Jadi reputasi apa yang mau dilindungi pak edi???”
Kali ini kami terdiam cukup lama, karena kami sudah menemukan titik buntu.
“OK!!! Masalah pak edi cukup sampai disini dulu, sekarang kita bahas soal lembu hitam yang erik lihat di punggung pak jawi (Pffffffftt)”
Entah kenapa sampai di pembahasan ini Uci dan adi senyum-senyum menahan tawa, mungkin mereka merasa apa yang dilihat erik sangat tidak masuk akal. Kakek tua, bungkuk yang menggendong lembu besar?? Yang bener aja. Mungkin begitu pikir mereka. Tapi erik akhirnya angkat bicara
“Terserah mau percaya apa enggak! Kalian berdua gak ada di TKP waktu itu. Aku ngelihat walaupun samar karena genangan air itu kena tetes gerimis, lembu hitam itu perlahan turun dari punggung pak jawi, dan berjalan menuju belakang rumahnya. Seketika itu juga pak jawi yang bungkuk menjadi kembali tegak dan…… bunyi lonceng itu terdengar”
Ada yang menarik perhatian saya dari penjelasan erik barusan, saya pun bertanya
“Jadi, kamu melihat lembu itu sebelum lonceng berbunyi???”
“Iyaa dan, setelah lonceng berbunyi genangan air di sekitar sudah sudah amblas diinjak anak-anak pak jawi yang kanibal itu”
Jawab erik. Yang kembali membuat kami terdiam, tapi kali ini dengan ekspresi muka masam.
“Aapaa, asal dari lonceng itu adalah dari lembu hitam?? Sehingga anak-anak pak jawi mengamuk?? Kamu ngelihat lembu itu pakai kalung lonceng gak?”
Tanya uci yang kemudian hanya dijawab dengan gelengan kepala erik, dan lagi-lagi kami menemui titik buntu. Kami jadi balik lagi ke dugaan awal kalau anak-anak pak jawi adalah jelmaan siluman sapi. GILAAAAAA!!! Kami berempat kuliah bukan untuk percaya sama takhayul tapiii, sejak awal semua yang terjadi di sini memang tidak masuk akal
“Kalau memang mereka jelmaan siluman sapi, kenapa mereka bertingkah seperti karnivora???”
Tanya adi
“Kalian salah kaprah! Anak-anak pak jawi tidak memakan daging pak muhadi cs, mereka hanya menggigit, mengoyak, kemudian memuntahkannya. Ya! Saya masih bisa ingat dengan jelas, di balik tawa senang mereka, mereka seakan jijik melakukannya, hanya saja seseorang memaksa mereka melakukan itu….. well itu hanya pendapat saya”
Dan pendapat saya tersebut akhirnya jadi penutup diskusi kami pagi itu, banyak yang ingin didiskusikan, tapi waktu tidak memungkinkan.
Lagi pula hari ini tidak ada hasil yang di dapat selain saling berspekulasi. Tapi saya menghargai usaha dan solidaritas mereka. Mereka tidak tinggal di komplek yang sama dengan saya, tapi mereka peduli dengan apa yang terjadi di sana, dan itu cukup membuat merasa, bahwa saya tidak sendirian.
Chapter 37
Januari 2015
12:30 WIB
KKN
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu rumah yang diketok itu, membuat saya harus mengakhiri percakapan saya dengan ibu. Segera setelah menutup telepon, saya membukakan pintu. Dan disana berdiri dua orang perempuan dan satu laki-laki yang ketiganya memakai almamater berwarna kuning
”Assalamualaikum, ini benar rumahnya ustadah wardah???”
Tanya cewek berkerudung putih itu, Saya pun menjawab
“Waalaikumsalam Iyaa benar, ada kepentingan apa ya mbak, mas???
“Mmmmm begini mas, kami anak KKN dari Unikon Mas (Nama kampus disamarkan), kami mau minta tolong sama ustadah untuk mengisi kegiatan di posko kami”
Sahut si cowo. Karena dirasa pembicaraan ini akan panjang, Saya mempersilahkan mereka duduk.
“Wah kebetulan Ibu saya lagi ada di jember, jadi gak bisa hadir”
Mereka saling pandang satu sama lain dengan tatapan kecewa
“Kira-kira kapan ya ustadah datang???”
Kali ini cewe berkerudung biru yang bertanya
“Hmmmmm saya juga gak tahu, emangnya kegiatan apa dan kapan???”
Tanya saya.
“jadi gini mas, kami mengadakan pesantren kilat untuk anak-anak yatim di desa ini, kami pengen ustadah yang jadi narasumbernya, kegiatannya nanti sore, tapii kalau ustadah gak bisa yaaa gak apa-apa mas, kira-kira siapa di sekitar sini yang bisa ya???”
“Hmmmmm, di selatan ada ustad ahmad, beliau dosen di pesantren, dan juga guru ngaji di kampung ini. Mungkin saja beliau bisa”
Jawab saya, memberikan solusi
“Waah makasih mas, dimana rumahnya???”
Tanya cewe berkerudung putih. Saya pun menggerak-gerakkan gari saya di meja, seolah menggambarkan peta jalan yang harus mereka tempuh untuk sampai di rumah ustad ahmad.
“Di selatan, rumah nomor 3 di gang sunda, rumah yang ada pohon kelapanya”
Merekapun saling pandang, dan mengangguk.
“Kalau begitu kami pamit mas, kami juga masih harus pergi ke kantor PLN, soalnya posko yang kami tempati belum ada jalur PLN nya mas”
Ucap si cowo,
“Gak ada PLN??? Emang posko mereka dimana?”
Tanya saya dalam hati. Mereka pun berdiri, dan bersiap untuk pamit. Merasa bertanggung jawab, karena sebenarnya mereka membutuhkan ibu saya, saya pun menawarkan bantuan.
“Atau gini aja! Biar saya yang jemput ustad ahmad, beliau sudah sepuh dan gak mungkin jalan sendiri. Nanti biar saya yang antar ke posko kalian”
Mendengar tawaran saya, mereka pun senang
“Waaah makasih banyak mas, kebetulan kami hanya ada satu motor dan itu dipake buat beli perlengkapan, sekali lagi makasih banyak mas”
Mereka senang, saya pun senang bisa membantu.
“Ah gak apa-apa itung-itung saya mewakili ibu saya yang gak bisa ikut berpartisipasi, Oh ya! Posko kalian dimana????”
Dan selanjutnya, jawaban mereka cukup membuat saya kaget
“Di gang kadal, rumah paling ujung mas”
Chapter 38
Januari 2015
15,00
DINI
“Krang!”
Usai mendongkrak motor saya, saya pun membantu ustad ahmad yang sudah sepuh itu untuk berjalan. Dalam hati saya sempet ngomel
“Harusnya kalau kegiatannya sekarang, dua atau tiga hari sebelumnya mereka sudah memberi tahu nara sumber, bukan dadakan gini!! Dasar bocah!!!”
Kemudian dua anak KKN datang menghampiri kami berdua, menyambut kedatangan Ustad Ahmad dan membantunya menuju posko.
“Posko???”
Saya berdiri disini, tepat di tempat dimana saya bersumpah untuk tidak kembali lagi, tapi disinilah saya!
Banyak yang berubah dari rumah pak jawi, yang sedikit banyak membuat saya marah.
Warga menebang semua pohon mangga tempat anak pak jawi bermain. Mereka merubuhkan dan mencabut pagar rumah pak jawi, kemudian menggantinya dengan pagar beton. kandang sapi milik pak jawi pun lenyap berganti pohon ketapang yang menjulang tinggi. Dan yang membuat tempat ini sangat berbeda dari sebelumnya adalah……
Rumah Pak Jawi yang sekarang dibangun kembali menjadi rumah gedung sederhana yang anak-anak KKN sebut “POSKO”
“Mas??”
Cewe berkerudung putih yang tadi kerumah itu menghampiri saya.
“Mari silahkan masuk mas”
Cewe itu mempersilahkan saya masuk. Kemana??? Ke Posko atau ke rumah Pak Jawi???. Saya pun menolak.
“Oh enggak, makasih saya Cuma mau lihat – lihat aja, oh ya! Petugas PLN nya gimana??? Kok belum datang????”
Cewe itu menghela nafas nya seakan kecewa
“Yaaaa itu maaas, mereka baru bisa kesini besok, soalnya kami kesorean tadi ke sananya. Akhirnya terpaksa malam ini kami gelap-gelapan”
Saya gak bisa ngebayangin nginep di tempat ini tanpa ada listrik, walaupun Cuma semalem. Kemudian suara ramai dari anak-anak peserta pesantren kilat ini memecah suasana. Mereka semua datang dengan penuh bahagia, ada yang naik sepeda sendiri, ada yang masih diantar orang tuanya. Hampir semua anak tetangga saya hadir termasuk Aim. Saya jadi ingat faza, Ibu saya bilang mereka baru pulang minggu depan karena bapak masih belum ngijinin mereka pulang. Ibu juga bilang, kalau saya gak usah khawatir soal bapak, beliau masih ada kerjaan yang sangat penting di luar pulau.
Anak-anak ini berjalan melewati saya dan cewe itu yang sampai sekarang saya belum tahu namanya
“Ayo, ayo semua cepat masuk ke Posko sana!!! Bentar lagi pembukaan mau dimulai”
Seru cewe itu sambil memberi aba-aba pada anak-anak untuk masuk. Dari cara dia berinteraksi dengan anak kecil, sangat Nampak sekali kalau cewe ini keibu-ibuan, hmmm calon istri yang baik, gumam saya sambil tersenyum, senyum singkat yang harus segera saya sembunyikan karena cewe itu tiba-tiba melihat ke arah saya
“Saya suka anak kecil mas, saya punya tiga adek dan dua ponakan yang masih kecil di rumah. Saya sedih karena sekarang harus jauh dari mereka, tapi saya senang karena ternyata di kampung ini juga banyak anak kecilnya”
Wah belum kenal lama, cewe ini sudah curhat?? Yaaa udah saya ladenin
“Jadi karena itu kamu bikin kegiatan ini???”
Cewe ini mengangguk mantap
“Hu um, awalnya saya kasihan karena ternyata di desa ini juga banyak anak yatim. Bukan Cuma gak punya orang tua, mereka juga gak punya rumah”
Heh??? Gak punya rumah??
Tanya saya dalam hati. Saya heran, di desa ini sih ada anak yatim, tapi kalau anak jalanan atau gelandangan sih…. Kayanya gak ada, pikir saya.
“Iyaa mas, ada nih tiga sampai lima anak yang sering kesini. Mereka bilang, bapaknya baru saja meninggal dan sekarang diasuh oleh kakaknya. Kondisi mereka memprihatinkan kurus dan, maaf cacat. Makanya setiap mereka kesini, saya selalu memberi mereka makanan. Dari situ saya punya ide buat ngadain pesantren kilat. Tapiiii kok mereka gak ikut ya??? Padahal saya sudah sebar semua undangan”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saya bengong melihat wajah cewe ini, bukan karena wajahnya yang cantik, tapi karena apa yang diucapkannya barusan. Saya yakin se yakin-yakinnya anak-anak yang dia maksud adalah anak-anak pak jawi dan berbuat baik pada mereka berarti harus siap menanggung resikonya.
Saya melihat ke posko yang sekarang ramai dengan anak-anak kecil. Membayangkan cewe ini, harus menginap di tempat yang asing baginya, tanpa adanya penerangan, dan harus mendapatkan kunjungan dari anak-anak pak jawi yang mungkin akan meneror dia dan anak KKN lainnya. Mungkin ini pertama kalinya bagi anak-anak itu, meneror orang lain, Di rumahnya sendiri.
Salah seorang temannya yang berada di posko memanggil cewe ini, dia pun berpamitan
“Maaf ya mas, saya tinggal dulu. Sekali lagi makasih mas, oh ya nama saya Andini, panggil saja Dini”
Cewe itu bergegas pergi meninggalkan saya yang masih setengah bengong, sambil masih melihat ke arah posko saya berbisik….
Jaga diri baik-baik, “Dini”
.::Cerita Selanjutnya::.
Januari 2015
03.00
FAJAR
“Cukkoooooooo………… cukkoooooooooooo………”
Suara alarm di ruang tamu, menggema ke sepanjang koridor. Bersamaan dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran di masjid.
“Emh!”
Saya mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadaran yang masih berceceran di lantai. Kemudian mencoba melihat ke segala penjuru rumah yang masih gelap, ke ruang tamu, ke pintu dapur, ke koridor, ke depan TV………
-Kakak-
“HUAH!!!!”
Sial!! Meskipun cuma bayangan, tapi kagetnya beneran. Saya bangun sambil memegang tembok, kemudian melihat ke lantai koridor dan meraba celana…..
“Syukurlah, kering”
Alarm di ruang tamu berhenti berbunyi, saya pun menuju kamar. Saya sempat terdiam ragu untuk membuka pintu kamar sendiri, membayangkan apa yang tadi malam saya lihat. Tapi sekarang tidak ada siapapun disana, hanya tempat tidur yang berantakan, dan bantal saya yang masih di lantai
“Srak!”
Saya buang bantal itu, bantal yang jadi senjata pamungkas saya itu sekarang mendekam di keranjang cucian.
/~/Brrtttttttt brttttttttt, brtttttttttt brttttttt/~/
Handphone saya bergetar, yang setelah saya cek ada 4 missed call dan satu pesan, dari Uci
“Gue udah di rumah sob, ntar kumpul di distro, Ok??”
TOK! TOK! TOK!
Suara pintu rumah di ketok, bapak saya sudah pulang, segera saya menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Krek!”
Saya pun bingung dan heran, karena sosok yang berdiri di depan saya ini bukan bapak. Tapi cewe yang kemarin sore saya lihat ada di mobil Pickup. Cewe berkerudung yang masih memakai penutup mulut itu membawa tas bapak dan memberikannya pada saya.
“Ugh!!”
Tas ini lebih berat dari kelihatannya, tapi cewe ini membawanya seakan-akan gak ada isinya. Dia menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit, dan tanpa mengucap sepatah kata pun cewe itu pergi.
“Lhooo?? Hei!! Kenapa bapak gak pulang??
Jangankan menjawab, menoleh saja tidak. Cewe itu pulang mengendarai pickup yang sama seperti kemarin, hanya saja saya tidak melihat bapak.
“Mungkin kerjaannya belum selesai”
Pikir saya. Sementara itu, di depan rumah pak suryo saya melihat mobil avanza putih di parkir, pertanda keluarga beliau sudah datang. Mungkin setelah dua hari tidak ada lagi kejadian aneh di kompleks ini, mereka menganggap keadaan sudah aman. Atau mungkin juga mereka percaya, rumput di pintu rumah mereka bisa menghalangi terror dari anak pak jawi. Saya masih penasaran, siapa yang punya ide untuk menggantung rumput di pintu rumah??? Entahlah! saya pun masuk.
Selesai menutup dan kali ini tidak lupa mengunci pintu, saya menarik tas berat ini ke kamar bapak, saya tidak berani dan tidak kuat membawanya ke gudang, tidak pada jam segini. Akhirnya setelah susah payah, saya berhasil menyeret tas besar dan berat itu ke kamar bapak, lalu kemudian muncullah rasa penasaran di benak saya.
“Apa sih yang ada di balik tas ini???”
Tas yang berbentuk kotak seperti kulkas ini sudah lama sekali menarik perhatian saya, tapi saya tidak pernah berani membukanya.
Tapi hari ini………
hari ini beda, saya merasa ada yang bisa saya pelajari dari melihat isi tas bapak. Akhirnya dengan tekad yang bulat saya pun jongkok, membuka satu persatu tali simpul yang mengelilingi tas itu
“Sial! Desainnya kuno banget. Kenapa gak diganti resleting aja, lebih simple”
Gerutu saya karena rasa penasaran saya harus tertunda gara-gara membuka tali simpul yang banyak sekali. Dan pada saat saya membuka tali simpul yang terakhir, tas itu pun terbuka menjadi dua bagian dan menampakkan isinya yang hanyalah sebuah peti kayu besar.
Saya meraba-raba permukaan peti itu yang terbuat dari kayu mahoni, dan di plitur dengan sangat indah. Serta ukiran-ukiran aneh di seluruh permukaan peti, membuat peti itu terlihat seperti barang antik.
Klak! Klak Klak!
Saya pun membuka peti itu, dan di dalamnya ada beberapa barang bapak. Baju, sorban, tongkat kayu yang bercabang empat, bambu yang bentuknya mengukir seperti anyaman rotan, beberapa botol kecil ramuan, atau jamu, atau minuman entah apa saya tidak tahu! Serta beberapa barang yang saya tidak tahu nama dan fungsinya.
“Ini doank????”
Saya pun menyerah, karena tidak ada yang bisa saya pelajari dari benda-benda ini. Setelah membereskan tas bapak, saya sholat subuh dan kembali tidur.
Chapter 36
Januari 2015
09.00
TEORI
“Sekarang kita kesampingkan dulu pembahasan tentang siapa dan darimana asal anak-anak pak jawi, karena tanpa informasi atau data kependudukan, kita sama aja jalan di tempat”
Semua mengangguk tanda setuju dengan yang Uci katakan.
“Sekarang, kita bahas fenomena pencabikan di rumah pak jawi yang terjadi beberapa hari setelah lebaran itu. Gue bertugas menampung pertanyaan, atau pemikiran kalian setelah itu kita cari tahu bersama jawabannya”
Lagi-lagi semua mengangguk setuju dengan usul Uci, namun kali ini sambil berpikir. Seperti biasa, dia yang paling cerdas diantara kami berempat . Adi pun mengacungkan tangan! Dan memulai pertanyaannya….
“Aku mulai dulu nih! Aku masih penasaran sama korban pencabikan yang katanya ada tiga orang itu. Dari info yang aku denger, mereka bertiga masih hidup, dan sampai sekarang sehat wal afiat”
“Adi bener! Kalau apa yang terjadi di sana waktu itu sesuai dengan apa yang dideskripsikan Danil dan Erik, maka kemungkinan mereka hidup sangat kecil. Karena dengan banyaknya daging mereka yang terkoyak, pastinya banyak juga darah mereka yang hilang. Sedangkan polisi dan warga baru menemukan mayat mereka beberapa jam setelah kejadian, tepatnya tengah malam saat rumah pak jawi terbakar”
Uci pun menambahkan. Kami berempat hanya saling pandang satu sama lain, kemudian sepakat untuk menjawabnya
Saya yang pertama memulai
“Ketiga korban memang selamat, tapi mereka mengalami trauma hebat yang bahkan sampai sekarang belum juga sembuh sehingga polisi pun bingung karena tidak ada lagi sumber informasi atau saksi, mengingat kejadian itu terjadi saat warga semua tengah sholat maghrib”
“Saksi?? Bukannya kamu bilang kalau pak edi ngasih peringatan sama kita untuk tutup mulut, soalnya ada warga yang melihat kita keluar dari gang kadal pas habis kejadian??”
Erik yang biasanya jarang nyambung, kali ini juga ikut serius membahas.
Setelah berpikir sejenak, saya pun mulai berbicara lagi.
“Jujur saya sempat menaruh curiga sama pak edi, cara dia menyuruh saya diam seperti bukan untuk melindungi saya, lebih ke melindungi diri sendiri . Dan juga bisa saja saksi yang melihat saya dan erik adalah pak edi sendiri, tapi untuk apa?? Apa untungnya menyembunyikan kejadian itu buat pak edi??”
Lagi-lagi kami terdiam dan berpikir, sebelum akhirnya adi menjawab
“Reputasi!!! Menjelang pilkades 2016, pak edi gak mau banyak orang yang tahu kalau ada warga kanibal yang tinggal di RT yang di pimpinnya, sedangkan pak edi tidak melakukan apa-apa sampai jatuh korban. Itu akan mempersulit dirinya yang mungkin berambisi jadi kades”
Saya menyela adi, karena tidak setuju dengan pendapatnya
“Percuma!! Memang tidak ada bukti anak pak jawi yang melakukan, tapi semua warga percaya kalau anak pak jawi yang menyerang pak muhadi CS, dan menyebabkan kebaran pada rumahnya. Berita ini bahkan sudah masuk Koran. Jadi reputasi apa yang mau dilindungi pak edi???”
Kali ini kami terdiam cukup lama, karena kami sudah menemukan titik buntu.
“OK!!! Masalah pak edi cukup sampai disini dulu, sekarang kita bahas soal lembu hitam yang erik lihat di punggung pak jawi (Pffffffftt)”
Entah kenapa sampai di pembahasan ini Uci dan adi senyum-senyum menahan tawa, mungkin mereka merasa apa yang dilihat erik sangat tidak masuk akal. Kakek tua, bungkuk yang menggendong lembu besar?? Yang bener aja. Mungkin begitu pikir mereka. Tapi erik akhirnya angkat bicara
“Terserah mau percaya apa enggak! Kalian berdua gak ada di TKP waktu itu. Aku ngelihat walaupun samar karena genangan air itu kena tetes gerimis, lembu hitam itu perlahan turun dari punggung pak jawi, dan berjalan menuju belakang rumahnya. Seketika itu juga pak jawi yang bungkuk menjadi kembali tegak dan…… bunyi lonceng itu terdengar”
Ada yang menarik perhatian saya dari penjelasan erik barusan, saya pun bertanya
“Jadi, kamu melihat lembu itu sebelum lonceng berbunyi???”
“Iyaa dan, setelah lonceng berbunyi genangan air di sekitar sudah sudah amblas diinjak anak-anak pak jawi yang kanibal itu”
Jawab erik. Yang kembali membuat kami terdiam, tapi kali ini dengan ekspresi muka masam.
“Aapaa, asal dari lonceng itu adalah dari lembu hitam?? Sehingga anak-anak pak jawi mengamuk?? Kamu ngelihat lembu itu pakai kalung lonceng gak?”
Tanya uci yang kemudian hanya dijawab dengan gelengan kepala erik, dan lagi-lagi kami menemui titik buntu. Kami jadi balik lagi ke dugaan awal kalau anak-anak pak jawi adalah jelmaan siluman sapi. GILAAAAAA!!! Kami berempat kuliah bukan untuk percaya sama takhayul tapiii, sejak awal semua yang terjadi di sini memang tidak masuk akal
“Kalau memang mereka jelmaan siluman sapi, kenapa mereka bertingkah seperti karnivora???”
Tanya adi
“Kalian salah kaprah! Anak-anak pak jawi tidak memakan daging pak muhadi cs, mereka hanya menggigit, mengoyak, kemudian memuntahkannya. Ya! Saya masih bisa ingat dengan jelas, di balik tawa senang mereka, mereka seakan jijik melakukannya, hanya saja seseorang memaksa mereka melakukan itu….. well itu hanya pendapat saya”
Dan pendapat saya tersebut akhirnya jadi penutup diskusi kami pagi itu, banyak yang ingin didiskusikan, tapi waktu tidak memungkinkan.
Lagi pula hari ini tidak ada hasil yang di dapat selain saling berspekulasi. Tapi saya menghargai usaha dan solidaritas mereka. Mereka tidak tinggal di komplek yang sama dengan saya, tapi mereka peduli dengan apa yang terjadi di sana, dan itu cukup membuat merasa, bahwa saya tidak sendirian.
Chapter 37
Januari 2015
12:30 WIB
KKN
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu rumah yang diketok itu, membuat saya harus mengakhiri percakapan saya dengan ibu. Segera setelah menutup telepon, saya membukakan pintu. Dan disana berdiri dua orang perempuan dan satu laki-laki yang ketiganya memakai almamater berwarna kuning
”Assalamualaikum, ini benar rumahnya ustadah wardah???”
Tanya cewek berkerudung putih itu, Saya pun menjawab
“Waalaikumsalam Iyaa benar, ada kepentingan apa ya mbak, mas???
“Mmmmm begini mas, kami anak KKN dari Unikon Mas (Nama kampus disamarkan), kami mau minta tolong sama ustadah untuk mengisi kegiatan di posko kami”
Sahut si cowo. Karena dirasa pembicaraan ini akan panjang, Saya mempersilahkan mereka duduk.
“Wah kebetulan Ibu saya lagi ada di jember, jadi gak bisa hadir”
Mereka saling pandang satu sama lain dengan tatapan kecewa
“Kira-kira kapan ya ustadah datang???”
Kali ini cewe berkerudung biru yang bertanya
“Hmmmmm saya juga gak tahu, emangnya kegiatan apa dan kapan???”
Tanya saya.
“jadi gini mas, kami mengadakan pesantren kilat untuk anak-anak yatim di desa ini, kami pengen ustadah yang jadi narasumbernya, kegiatannya nanti sore, tapii kalau ustadah gak bisa yaaa gak apa-apa mas, kira-kira siapa di sekitar sini yang bisa ya???”
“Hmmmmm, di selatan ada ustad ahmad, beliau dosen di pesantren, dan juga guru ngaji di kampung ini. Mungkin saja beliau bisa”
Jawab saya, memberikan solusi
“Waah makasih mas, dimana rumahnya???”
Tanya cewe berkerudung putih. Saya pun menggerak-gerakkan gari saya di meja, seolah menggambarkan peta jalan yang harus mereka tempuh untuk sampai di rumah ustad ahmad.
“Di selatan, rumah nomor 3 di gang sunda, rumah yang ada pohon kelapanya”
Merekapun saling pandang, dan mengangguk.
“Kalau begitu kami pamit mas, kami juga masih harus pergi ke kantor PLN, soalnya posko yang kami tempati belum ada jalur PLN nya mas”
Ucap si cowo,
“Gak ada PLN??? Emang posko mereka dimana?”
Tanya saya dalam hati. Mereka pun berdiri, dan bersiap untuk pamit. Merasa bertanggung jawab, karena sebenarnya mereka membutuhkan ibu saya, saya pun menawarkan bantuan.
“Atau gini aja! Biar saya yang jemput ustad ahmad, beliau sudah sepuh dan gak mungkin jalan sendiri. Nanti biar saya yang antar ke posko kalian”
Mendengar tawaran saya, mereka pun senang
“Waaah makasih banyak mas, kebetulan kami hanya ada satu motor dan itu dipake buat beli perlengkapan, sekali lagi makasih banyak mas”
Mereka senang, saya pun senang bisa membantu.
“Ah gak apa-apa itung-itung saya mewakili ibu saya yang gak bisa ikut berpartisipasi, Oh ya! Posko kalian dimana????”
Dan selanjutnya, jawaban mereka cukup membuat saya kaget
“Di gang kadal, rumah paling ujung mas”
Chapter 38
Januari 2015
15,00
DINI
“Krang!”
Usai mendongkrak motor saya, saya pun membantu ustad ahmad yang sudah sepuh itu untuk berjalan. Dalam hati saya sempet ngomel
“Harusnya kalau kegiatannya sekarang, dua atau tiga hari sebelumnya mereka sudah memberi tahu nara sumber, bukan dadakan gini!! Dasar bocah!!!”
Kemudian dua anak KKN datang menghampiri kami berdua, menyambut kedatangan Ustad Ahmad dan membantunya menuju posko.
“Posko???”
Saya berdiri disini, tepat di tempat dimana saya bersumpah untuk tidak kembali lagi, tapi disinilah saya!
Banyak yang berubah dari rumah pak jawi, yang sedikit banyak membuat saya marah.
Warga menebang semua pohon mangga tempat anak pak jawi bermain. Mereka merubuhkan dan mencabut pagar rumah pak jawi, kemudian menggantinya dengan pagar beton. kandang sapi milik pak jawi pun lenyap berganti pohon ketapang yang menjulang tinggi. Dan yang membuat tempat ini sangat berbeda dari sebelumnya adalah……
Rumah Pak Jawi yang sekarang dibangun kembali menjadi rumah gedung sederhana yang anak-anak KKN sebut “POSKO”
“Mas??”
Cewe berkerudung putih yang tadi kerumah itu menghampiri saya.
“Mari silahkan masuk mas”
Cewe itu mempersilahkan saya masuk. Kemana??? Ke Posko atau ke rumah Pak Jawi???. Saya pun menolak.
“Oh enggak, makasih saya Cuma mau lihat – lihat aja, oh ya! Petugas PLN nya gimana??? Kok belum datang????”
Cewe itu menghela nafas nya seakan kecewa
“Yaaaa itu maaas, mereka baru bisa kesini besok, soalnya kami kesorean tadi ke sananya. Akhirnya terpaksa malam ini kami gelap-gelapan”
Saya gak bisa ngebayangin nginep di tempat ini tanpa ada listrik, walaupun Cuma semalem. Kemudian suara ramai dari anak-anak peserta pesantren kilat ini memecah suasana. Mereka semua datang dengan penuh bahagia, ada yang naik sepeda sendiri, ada yang masih diantar orang tuanya. Hampir semua anak tetangga saya hadir termasuk Aim. Saya jadi ingat faza, Ibu saya bilang mereka baru pulang minggu depan karena bapak masih belum ngijinin mereka pulang. Ibu juga bilang, kalau saya gak usah khawatir soal bapak, beliau masih ada kerjaan yang sangat penting di luar pulau.
Anak-anak ini berjalan melewati saya dan cewe itu yang sampai sekarang saya belum tahu namanya
“Ayo, ayo semua cepat masuk ke Posko sana!!! Bentar lagi pembukaan mau dimulai”
Seru cewe itu sambil memberi aba-aba pada anak-anak untuk masuk. Dari cara dia berinteraksi dengan anak kecil, sangat Nampak sekali kalau cewe ini keibu-ibuan, hmmm calon istri yang baik, gumam saya sambil tersenyum, senyum singkat yang harus segera saya sembunyikan karena cewe itu tiba-tiba melihat ke arah saya
“Saya suka anak kecil mas, saya punya tiga adek dan dua ponakan yang masih kecil di rumah. Saya sedih karena sekarang harus jauh dari mereka, tapi saya senang karena ternyata di kampung ini juga banyak anak kecilnya”
Wah belum kenal lama, cewe ini sudah curhat?? Yaaa udah saya ladenin
“Jadi karena itu kamu bikin kegiatan ini???”
Cewe ini mengangguk mantap
“Hu um, awalnya saya kasihan karena ternyata di desa ini juga banyak anak yatim. Bukan Cuma gak punya orang tua, mereka juga gak punya rumah”
Heh??? Gak punya rumah??
Tanya saya dalam hati. Saya heran, di desa ini sih ada anak yatim, tapi kalau anak jalanan atau gelandangan sih…. Kayanya gak ada, pikir saya.
“Iyaa mas, ada nih tiga sampai lima anak yang sering kesini. Mereka bilang, bapaknya baru saja meninggal dan sekarang diasuh oleh kakaknya. Kondisi mereka memprihatinkan kurus dan, maaf cacat. Makanya setiap mereka kesini, saya selalu memberi mereka makanan. Dari situ saya punya ide buat ngadain pesantren kilat. Tapiiii kok mereka gak ikut ya??? Padahal saya sudah sebar semua undangan”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Saya bengong melihat wajah cewe ini, bukan karena wajahnya yang cantik, tapi karena apa yang diucapkannya barusan. Saya yakin se yakin-yakinnya anak-anak yang dia maksud adalah anak-anak pak jawi dan berbuat baik pada mereka berarti harus siap menanggung resikonya.
Saya melihat ke posko yang sekarang ramai dengan anak-anak kecil. Membayangkan cewe ini, harus menginap di tempat yang asing baginya, tanpa adanya penerangan, dan harus mendapatkan kunjungan dari anak-anak pak jawi yang mungkin akan meneror dia dan anak KKN lainnya. Mungkin ini pertama kalinya bagi anak-anak itu, meneror orang lain, Di rumahnya sendiri.
Salah seorang temannya yang berada di posko memanggil cewe ini, dia pun berpamitan
“Maaf ya mas, saya tinggal dulu. Sekali lagi makasih mas, oh ya nama saya Andini, panggil saja Dini”
Cewe itu bergegas pergi meninggalkan saya yang masih setengah bengong, sambil masih melihat ke arah posko saya berbisik….
Jaga diri baik-baik, “Dini”
.::Cerita Selanjutnya::.