Misteri Anak - Anak Pak Jawi 41,42,43

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (VERSI LENGKAP) CHAPTER 41, 42, 43

Chapter 41
Januari 2015
16:15 WIB


ZOMBIE


“Bawa kamiiii leeee, bawaaaa”

“Ikut leeeeeeee”

“Ikut naak”

“Naikin kami juga naaaaak”

Suara orang-orang yang ikut antri terdengar mengaduh di sana-sini, jauh di pintu masuk puskesmas juga terjadi kericuhan, ambulan yang mau keluar pun hanya bisa berjalan sampai gerbang Karena pintu keluar terhalang warga. Sementara kami disini, hanya bisa menunggu kapan antrian ini akan berakhir.

TiiiiiiiiiiiiiiiN TiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiN!!!!

Saya dapat mendengar adi yang biasanya orangnya kalem, kali ini emosi sambil mengumpat.

“Putar balik aja bang!! Kita ke rumah sakit”

Usul salah satu mahasiswa yang ikut

“Bener mas, kalau gini antrian berakhir pun belum tentu kita dilayani”
Tambah dini sambil memberi minum ke salah satu anak yang sudah lemas

“Itu yang ada di pikiran saya dari tadi, tapi coba lihat ke belakang kalian!”

Dini dan kedua temannya menoleh ke belakang, sekarang barulah mereka sadar sedang berada dimana mereka ini. Lautan manusia ini membuat kapal kami mustahil untuk maju dan mustahil untuk mundur. Kami hanya bisa mengikuti kemana ombak membawa kami. Sambil tetap berharap, ombak yang tenang ini, tidak berubah menjadi ganas.

“Ironis, saat kebakaran rumah pak jawi, tidak satu pun warga datang menolong. Sekarang kemana pak jawi saat kalian butuh????”

Saya hanya bisa mengucapkan itu dalam hati, karena saat ini saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa memandangi wajah anak-anak malang ini. Wajah Aim, cucuk Pak Suryo, teman dekat Faza. Mereka sangat akrab, mungkin karena dua-duanya sudah merasakan rasanya kehilangan seorang ayah.

“Ini semua gara-gara aku”

Ucap Dini sambil menangis

“Kalau aku gak ngundang anak-anak ini ke posko, mereka gak akan kena musibah seperti ini”

Suara tangis dini semakin membuat suasana menjadi kelabu. Saya yang sedari tadi berdiri di depan, perlahan-lahan menghampiri Dini. Saya menunduk dan merangkul tubuh mungilnya itu. Dengan suara yang sendu dan menyejukkan, saya berkata “All is well, so don’t worry beibeh”, Dini menatap wajah saya yang juga sedang menatap wajah dia dan…..

“ENGGAK!!”

Teriak saya yang ternyata masih berdiri di tempat semula, memukul-mukul kepala berusaha membuang hayalan saya barusan.

“Ini bukan waktunya membayangkan hal-hal seperti itu. Ini bukan drama korea dimana tokoh utama bisa berpelukan di tengah bahaya yang sedang mengancam. Ya! Ini sama sekali bukan Film romantis yang bisa menyelesaikan konflik hanya dengan kata-kata dan air mata, tapi ini lebih seperti…….

“Resident Evil”

Lagi-lagi saya hanya memukul kepala berusaha membuang hayalan saya yang kekakanak-kanakan.

Dari jauh, terdengar suara sirine ambulan yang dikawal dua mobil polisi. Saya dan teman-teman tidak bisa menahan senyum bahagia kami karena merasa bahwa masalah akan teratasi
Tapi kami salah.

Tiga ambulan yang datang, langsung mengerahkan tim palang merahnya turun ke jalan. Tapi baru beberapa detik orang berbaju putih itu menginjakkan kakinya di aspal, mereka sudah tampak kebingungan.

“Sini nak!!”

“Sini pak!!”

“Tolong saya dulu!!! Saya sudah gak kuat”

“Bawa anak saya pak!!”

“Aiiiiiiiiiiiiiiir”

Mereka pun mendatangi satu persatu warga yang berteriak. Namun keadaan mulai berubah menjadi rusuh, warga saling tarik menarik tandu dan bahkan tim palang merahnya sendiri. Tidak hanya itu, beberapa warga pun terlihat berebutan menaiki ambulan yang hanya ada tiga. Peringatan polisi tidak mereka hiraukan

“Tolong yang tertib bapak, ibu! Tolong yang tertib, kami mengerti kalau….”

“Ueeeeeek!! Brlurrbbb”

Seorang warga muntah tepat di wajah dan baju Polisi itu. Dan sekarang warga yang awalnya lemas, mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk berebut persediaan air ambulan yang sangat terbatas. Beberapa dari mereka terlihat menyembunyikan air yang mereka bawa sendiri, agar tidak di rampas orang lain.

Dang! Dang! Dang!

“Naaak ibu boleh ikut naek nak??”

“Iyaaa nak saya juga”

“Bawa anak saya juga ya nak”

“Nak?? Naaak??? Naaaaaaaaaaaaaak???!!”

Orang-orang yang dari tadi duduk tentram di dekat pick up kami, sekarang ikut-ikutan rusuh. Mereka menggedor-gedor kap hingga terdengar sangat berisik, beberapa warga mencoba untuk naik tapi mereka terjatuh karena tubuh lemas mereka tidak punya tenaga untuk melompat.
Tik…! Tik….! Tik…..!!

Gerimis turun perlahan, menambah semakin pilunya keadaan kami dan warga saat itu, tiba-tiba…

“Aaaaaaaaaaah!!”

Suara dini yang kaget karena tangannya ditarik bapak-bapak

“Naaaak, angkat saya naaak, angkat sayaa naak”

Dini yang ketakutan berusaha menenangkan bapak tersebut

“Taa taaa tapi pak”

ANGKAT SAYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!

JEDUG!!!!!

Setidaknya benturan kepalanya dan helm yang saya hantamkan itu bisa membuat bapak itu tenang.

“Kamu gak apa-apa??”

Dini hanya mengangguk senang karena merasa diselamatkan. Saya pun juga mengangguk senang karena merasa sudah jadi pahlawan. Dengan dibukanya helm yang dari tadi saya pakai, saya bisa menyadari satu hal….


Bau busuk itu sekarang sudah hilang

Tapi itu sama sekali tidak memperbaiki keadaan, disana sini warga semakin beringas. Mereka yang tadinya hampir kehabisan tenaga, sekarang ntah kenapa jadi seperti hidup kembali

BANG!! BANG!!! BANG!!!

Suara Kap mobil yang dipukul warga, membuat anak-anak kecil yang ada di mobil kami merintih kesakitan.

“WOOY!!! BISA DIAM GAK??? ADA ANAK KECIL DISINI……….”

Tapi teriakan mahasiswa itu tidak berpengaruh apa-apa, warga pun semakin beringas. Satu persatu mulai mencoba menaiki pickup, kali ini dengan bantuan warga di bawahnya yang mendorong mereka. Kami mulai ikut panik dan pasrah, tapi……

VROOOOOOOOOOOM VROOOOOOOOOOOM

Suara mobil pickup yang digeber-geber itu menarik perhatian warga yang sekarang tertuju ke arah kami.
Lalu asap hitam muncul dari knalpot mobil, membuat warga yang ada di sekitar mobil menjauh. Asap itu semakin lama semakin memenuhi jalanan

“Woy Di!! Apa-apaaan nih???”

Saya memarahi adi sambil menggedor-gedor kaca mobil, tapi tiba-tiba

BRMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
Pickup yang kami tumpangi berjalan mundur, hampir saja saya jatuh. Pick up kami melesat mundur dengan cepat ditengah kepulan asap knalpot dan rintik hujan juga suara klakson

TIIIIIIIIIIIIN TIIIIIIIIIIIIIIIIIIN

Warga yang awalnya menghalangi jalan satu persatu minggir karena tidak ingin tertabrak. Bahkan polisi yang memberikan aba-aba untuk berhenti pun tidak kami hiraukan. Selangkah lagi kami akan keluar dari kerumunan, kami hanya perlu melewati pengaman jalan yang dipasang salah satu mobil van putih yang entah sejak kapan parkir disana.

Grubak!

Pembatas jalan itupun mental, dan segera pick up kami berbutar arah, cepat sekali sampai bunyi decit bannya terdengar keras

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt Duar!!!

Ujung depan mobil menabrak Van putih itu sampai peyot. Kami, anak-anak dan warga yang ada di atas pick up pun hampir terpental. 

“Woy, pelan-pelan mas!!”

Teriak salah seorang yang keluar dari van putih itu. Van putih peyot yang di bagian sampingnya bertuliskan

“MENTOR TV”

Belum sempat kami bangun dari jatuh akibat benturan tadi, mobil kami pun langsung tancap gas, meninggalkan keramaian warga yang semakin ricuh. Tidak ada yang kami sisakan untuk mereka selain bekas ban mobil di aspal dan asap hitam knalpot yang bisa mereka hirup, serta kenang-kenangan kami di mobil salah satu stasiun TV swasta.

BANG!! BANG!! BANG!!

Saya menggedor-gedor kaca mobil berusaha memarahi adi atas tindakan berbahayanya barusan

“GILA KAMU YA??? GIMANA KALAU TADI KITA NGELINDES WARGA??? KAMPRR…….”

Saya berhenti bicara karena setelah melihat ke spion saya jadi tahu kalau sekarang yang bawa mobil ini bukan adi, tapi cewe bercadar yang kemarin ke rumah mengantarkan barang-barang bapak. Saya pun bisa melihat adi melambaikan tangannya ke arah saya dengan ekspressi heran dan ketakutan.

Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang saya tahu saat ini kami bebas. Kami segera menuju rumah sakit dengan perasaan tenang dan senyum lega.



Chapter 42
Januari 2015
17.00 WIB


KEMBALI LAGI

Mobil pick up hitam yang membawa kami masih melaju dengan kencang. Baru saja kami keluar dari suasana tegang, sekarang harus dibuat tegang lagi oleh cepatnya laju mobil, salip kanan, salip kiri , gak peduli polisi tidur, dan semua itu dilakukan di jalanan desa yang sempit. Belum cukup tegang??? Gimana kalau saya tambahin kalau yang nyupir adalah cewe, lebih muda dari saya yang belum tentu punya sim. Tapi kami hanya bisa diam, sambil tetap menjaga anak-anak dan warga sakit ini, agar kepalnya tidak terbentur. Sementara itu di depan, di samping pak kusir yang sedang bekerja………

“Baang tolong baaaaaaaaaaang”

Malang sekali nasib adi, dia harus duduk bersebelahan dengan supir gila.

Gila???

Ya! Gila! Dan lebih gilanya lagi sekarang supir ini berbelok meninggalkan jalan utama dan masuk ke dalam gang. Gang yang sangat kami kenal, karena baru saja kami mati-matian berusaha keluar dari gang tersebut. Dan bukannya membawa kami ke rumah sakit, supir gila ini justru membawa kami kembali

KE RUMAH PAK JAWII???????

Sontak saya, dini, dan kedua temannya yang sampai tulisan ini dibuat saya tidak tahu namanya, kaget sekaligus heran, hanya bisa melongo melihat posko KKN yang baru saja menuai tragedi penuh darah ini, 

Emmm maksud saya tragedi penuh muntah ini.

Saya langsung lompat dari pickup segera setelah mobil berhenti, saya gedor-gedor pintu supir berniat memberi pelajaran pada supir gila ini

“Woy buka!! Kamu kira kami yang di belakang ini sapi apa??”

Tapi saat pintu terbuka, yang duduk di kursi kemudi adalah adi. Dengan masih setengah bengong adi menunjuk ke pintu sebelah, yang entah bagaimana caranya si cewe bercadar itu bisa keluar lewat sana, dan mengganti posisi supirnnya dengan adi.

Si cewe bercadar ini berjalan menuju tumpukan tas plastik di teras posko yang entah berisi apa. Saya pun menghampirinya dengan emosi yang meledak karena merasa sudah dipermainkan.

“Hei!! Tunggu!!”

Saya memegang pundak cewe itu dan lagi-lagi entah bagaimana caranya tiba-tiba saja dia menangkap tangan saya dan mengirim tubuh saya kembali ke tanah.

Bugh!!

Mungkin memang sudah nasib sial saya hari ini, diangkut seperti sapi, dikecoh seperti keledai, dan dibanting seperti sampah.

“Mas, mas gak apa-apa??”

Tanya dini sambil membantu saya berdiri. Jatuh ke tanah membuat pikiran saya kembali segar, dan sekarang saya bisa melihat dengan jelas keadaan posko saat ini. Keadaan yang sangat jauh berbeda dengan sebelumnya.

Semua warga yang pingsan, dan harus kami tinggal gara-gara mobil gak muat, mereka sekarang sehat wal afiat. Wali murid, Mahasiswa, dan orang cari rumput yang kebetulan lewat juga kembali sadar dan bahkan bisa berdiri tegak seakan tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka.

Dan saat saya bingung dengan banyaknya pertanyaan, saya menemukan sendiri jawabannya setelah melihat warga meminum ramuan hijau pekat yang dibagikan si cewe bercadar menggunakan gelas sisa air mineral.

Hal yang sama pun dilakukan mahasiswa-mahasiswi kepada anak-anak dan warga yang sudah diturunkan dari mobil dan dibaringkan di teras posko. Dan entah sihir apa yang sedang menipu mata saya, tidak butuh lima menit anak-anak itu membuka matanya dan bangkit seolah-olah baru bangun dari tidur mereka.

Dan posko yang sebelumnya ramai oleh suara mual dan basah oleh muntah, sekarang harus ramai oleh suara tangis, dan basah oleh air mata. Air mata haru orang tua yang hampir kehilangan anaknya, dan juga kehilangan nyawanya sendiri. Andai rasa sayang mereka terhadap anak sendiri bisa mereka berikan juga pada anak-anak pak jawi, mungkin malapetaka ini tidak akan terjadi.

Saya bisa mengerti sekarang, mereka, anak-anak pak jawi hanya ingin mengucapkan terimakasih. Dan terbukti hanya dengan menerima rasa terimakasih mereka yang tidak wajar itu, mereka tidak lagi mengganggu kita, seperti yang saya alami dengan lasmini kemarin……

Maksud saya si Peot.

Saya mendekati posko, dan mengambil segelas ramuan hijau pekat yang warna dan baunya sudah tidak asing bagi saya. Tidak mampu membendung rasa penasaran saya, saya pun bertanya pada cewe bercadar itu

“Dari mana kamu dapat jamu ini??”

Srek! 

Si cewe bercadar itu pun mengambil tas platik besar berisi empat botol besar jamu, dan memberikannya pada Adi yang masih menjinakkan traumanya di dalam mobil

“Berikan ini sama pak polisi!”

Perintah si cewe bercadar pada Adi yang bertambah bingung, karena saat itu disana tidak ada polisi.
Sementara saya……

“KURANG AJAAAAAAAAAAAAAAAARR!!! JANGANKAN MENJAWAB PERTANYAAN SAYA, NINJA SIALAN ITU MALAH NGELUYUR NGACANGIN SAYA SEAKAN SAYA GAK DIANGGAP”

Tiba-tiba…..

Wiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuuuuu wiiiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuuu

Polisi datang ke posko, dan dengan sigapnya langsung mengepung mobil pickup milik adi

“Pak supir mobil pickup nopol P293 E, Anda sudah terkepung! Anda sudah melakukan tindak kriminal dengan tuduhan penyerangan pada petugas!! Sekarang silahkan keluar dengan tangan di belakang kepala!!”

Adi yang masih belum selesai dengan bengongnya, masih harus bertambah bengong lagi karena tidak tahu apa yang terjadi. Dengan ekspresi takut dan masih memeluk tas plastik besar berisi jamu, adi berkata

“Bbbbbuuukaan saaaaya supirnya pak”

Malangnya nasib adi, karena sekarang cewe bercadar itu sudah tidak terlihat lagi di sekitar posko, dia datang dan menghilang seperti hantu. Meninggalkan adi yang duduk mewek di kursi supir.



Chapter 43
Januari 2015
09:00


OTAK DIBALIK SEMUANYA

Saya dan adi mengunjungi rumah sakit tempat nenek Uci di rawat. Neneknya menjadi satu dari banyak korban gas beracun yang keluar dari sumur di belakang rumah pak jawi. Gas beracun?? Yaa! Tepat seperti berita di Koran pagi ini yang berbunyi

“Telah terjadi keracunan masal di desa Soko Gede, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo- Jatim. Penyebab keracunan diduga karena reaksi kimia gas beracun dari sumur tua yang tanpa sengaja disulut api, sehingga gas beracun itu pun menyebar ke seluruh desa bla bla bla”

“Gas beracun mata mu!!”

Kata saya sambil membuang Koran itu. Kalau mereka ada disana menyaksikan betapa gak normalnya asap yang keluar dari sumur, mereka pasti gak akan bilang gitu, pikir saya dalam hati.

“Maklum sob, media akan selalu mencari cara agar berita yang disampaikannya terdengar masuk akal. Gak mungkin mereka bilang penyebab keracunan adalah asap yang baunya seperti tai sapi”

Sahut uci yang masih sempat menggunakan logikanya di saat sedang berduka.

“Nenek mu masih mual-mual cak??”

Tanya adi pada Uci

“Mualnya sih udah berhenti sob, bahkan sudah sembuh sebelum masuk rumah sakit. Nenek gue dirawat gara-gara keserempet mobil pickup sialan yang seenaknya sendiri menerobos antrian”

Segera adi dan saya membuang muka, saya gak tahu gimana reaksi Uci kalau dia tahu kami berdua ada di dalam mobil gila itu.

“Oh iya bang, gimana kabar anak KKN yang jadi biang kerok fenomena asap beracun kemarin???”

Adi bertanya untuk mengalihkan pembicaraan. Saya pun menjawab dengan serius, karena memang informasi yang saya temukan cukup serius.

“Saya sempet pergi ke posko kemarin, dan kemarinnya lagi. Saya interogasi mereka bertiga secara pribadi dan pengakuan mereka mengejutkan saya, mereka bilang……”

“Kami sudah dapat ijin, bahkan dianjurkan untuk membuang sampah kami di sumur tua itu mas, agar tidak menumpuk di halaman, Makanya kami buka tutup sumurnya”

Tentu saja saya tidak habis pikir, siapa yang menyuruh tiga orang ini untuk buang sampah di sumur yang semua warga tahu adalah sumur keramat, peninggalan Pak Jawi. Dan setelah saya paksa dan saya ancam, mereka pun memberi tahu saya dan ternyata orangnya adalah

Pak Edi

Adi dan Uci pun sedikit terkejut karena lagi-lagi nama Pak Edi muncul di pembahasan kami.
Uci pun memulai analisa nya.

“Waktu warga memutuskan untuk menebang pohon mangga di rumah pak jawi, waktu warga memutuskan tidak datang saat kebakaran di rumah pak jawi, waktu warga sepakat untuk mengacuhkan anak-anak pak jawi, dan waktu warga sepakat menggantung rumput di depan pintu rumah mereka, pernahkah kamu berpikir…. Siapa pencetus idenya???”

Tidak satupun dari kami bisa menjawabnya, dan uci pun melanjutkan opininya

“Yang jelas, siapapun orangnya, dia pasti orang yang sangat berpengaruh atau memiliki kedudukan tinggi di kampung ini”

.::Cerita Selanjutnya::.