Misteri Anak - Anak Pak Jawi 45,46,47,48

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (VERSI LENGKAP) CHAPTER 45, 46, 47, 48


Chapter 45
Januari 2015
23.00


PERINGATAN TERAKHIR
Saya terdiam mematung, masih dibalut rasa penasaran, siapa sebenarnya sosok perempuan yang sedang duduk di depan saya ini. Pikiran buntu ini hanya bisa menebak-nebak dari apa yang sudah saya lihat. Perempuan ini, bukan warga desa biasa. Mungkinkah para petinggi di pesantren sudah turun tangan? 

“Njenengan, jangan-jangan……..”

“Saya harus pergi!”

Perempuan itu pun beranjak dari tempat duduknya, seolah tidak mau menjawab pertanyaan Saya. Saya pun bergegas membukakan pintu. Tapi sebelum perempuan ini pergi, ada yang harus saya tanyakan, dan kali ini saya berhak untuk tahu.

“Bapak sayaaaaaa dimana beliau sekarang??”

Sambil memasang sendalnya perempuan itu berkata

“Kak tuan pergi ke suatu tempat, untuk menjemput seseorang”

Saya penasaran, Siapa? Siapa yang bapak jemput? Ibu kah?? Tidak! Ibu bilang bapak pergi ke luar pulau, dan ketika saya menelfon ibu, beliau dan adik-adik saya masih di jember.

Cewe itupun pergi meninggalkan saya yang masih berdiri di pintu. Kedatangannya malam ini, walaupun singkat tapi memberikan banyak jawaban, dan juga banyak pertanyaan. 

“Apa sebenarnya yang sedang terjadi di desa ini?”




Chapter 46
Januari 2015
16.00


BODOH!


“Halo??”
“Mas???? Mas Danil??”
“Iya Dini, ada apa??”
“Mas cepat kesini mas! Aku sama temen-temen gak tahu harus gimana??”
“Maksud kamu??”
“Mereka datang mas, kami sudah memperingatkan tapi… Ah pokoknya kesini Mas!”
“Ok! Ok! Saya kesitu sekarang”


Sesampainya di Posko….


Sekali bodoh, tetap bodoh………….
Apa yang ada di pikiran orang-orang ini?? Kenapa mereka selalu mencari masalah?? Belum cukupkah terror yang menimpa anak-anak mereka?? Belum cukupkah asap tebal itu menguras isi perut dan lambung mereka?? Mereka hanya bisa merusak. Mereka tidak bisa membedakan antara melawan dan memprovokasi.

Memikirkan kedunguan ini, tidak akan ada habisnya. Saya dan yang lainnya hanya bisa menyaksikan tindakan warga yang mungkin akan membahayakan nyawa kami, nyawa mereka, nyawa anak-anak mereka. Apa yang akan terjadi malam ini tidak ada yang tahu. Yang kami tahu hanyalah,

Warga sudah menghancurkan tempat terakhir peninggalan Pak Jawi

Dengan menimbun dan meratakan sumur itu

“Dini, kamu harus pergi hari ini juga. Segera sebelum malam datang!”

Saya memberikan perintah yang sama pada peserta KKN lainnya. Semuanya setuju, karena semuanya tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Enggak!!!!”

Teriak Dini

“Kami sudah buat proker yang matang, masa baru beberapa minggu kami harus pindah?? Apa yang akan kami katakan pada dosen nanti??”
Dini menolak, Dini masih ingin tinggal. Meskipun Dia tahu dan dia menyaksikan sendiri apa yang sumur tua itu bisa lakukan. Mungkinkah dia juga ingin melihat apa yang penunggunya bisa lakukan??

“Dini! Kamu masih punya bulan depan, bulan selanjutnya, bulan selanjutnya lagi, kamu bahkan punya semua bulan dalam satu tahun kedepan. Tapi kalau kamu memilih mengorbankan semuanya hanya demi satu malam yang naas nanti, kamu akan kehilangan semuanya”

“Tapi Mas!”

“Pikirkan teman-teman kamu! Kamu ketua mereka, keselamatan mereka adalah tanggung jawab kamu”

Dini menoleh ke arah teman-temannya. Mereka semua menunduk serempak, dengan tatapan memohon. Memohon agar kali ini Dini mengikuti perintah saya. Dini pun menunduk seperti berat sekali untuk pergi dari sini, dari tempat terkutuk ini. Kali ini saya beranikan diri memegang pundaknya, karena saya tahu dini tidak akan membanting saya. Saya pun berkata…

“Jember – situbondo, jarak yang dekat sekali. Kamu bisa kesini kapanpun kamu mau, saya bisa kesana kapanpun saya mau. Semuanya sangat mungkin, asalkan malam ini kamu gak ada disini”

“Tapi gimana sama Mas Danil dan temen-temen lainnya yang ada di desa ini??? Mas ikut kami ya!! Orang tua Mas kan ada di jember, jadi Mas bisaa….”

“Saya gak bisa!! Saya harus menunggu orang itu pulang”

“Siapa???”

“Bapak saya”

Tidak ada yang bisa Dini lalukan. Dia terdiam sejenak, mengangkat kepalanya, kemudian memerintahkan anggotanya untuk segera berkemas-kemas. Saya pun ikut membantu. Sore ini, suara palu, suara tumpahan pasir, suara canda tawa warga menjadi lagu perpisahan Dini dan teman-temannya. Ditutupnya sumur itu tidak hanya akan mengusir pemiliknya, tapi juga kenangan Dini di sini.


MALAM PUN TIBA


Chapter 47
Januari 2015
21.00 WIB


DON’T LOOK BACK

Mobil APV putih sudah terparkir di halaman, Satu persatu koper dan barang-barang mereka pun dimasukkan. Saya menghampiri Adi….

“Antar mereka dengan selamat, langsung ke rumahnya masing-masing, Hati-hati bawa mobil!! Kamu gak mau berurusan sama polisi lagi kan? Dan juga jangan lupa…”

“Ok bang!! OK!! Aku pasti anterin mereka dengan selamat, terutama Mbak Dini, iya kan????”

Ucap Adi sambil nyengir sampai semua barisan gigi depannya kelihatan. Dia baru mingkem setelah saya tepok kepalanya.

Satu persatu anak KKN itu naik ke mobil APV yang akan membawa mereka pulang, meninggalkan posko ini. Mahasiswa yang saya tonjok kemarin menghampiri saya dan meminta maaf, begitu juga dengan kedua temannya. Kami saling bersalaman, mengucapkan perpisahan. Kecuali Dini, dia sudah ada di mobil lebih dulu. Saya menahan diri untuk tidak menghampirinya, karena saya juga tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Dini saat ini. Mungkin silent goodbye adalah hal yang tepat untuk saat ini.

Mesin mobil dinyalakan. Satu persatu dari mereka membuka kaca mobil hanya agar saya bisa melihat lambaian tangan mereka. Saya pun melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan sampai mobil itu pun tak terlihat lagi. Tiba-tiba HP saya berdering…

“Beeeep!!! Beeeep!!”

Satu pesan dari Dini yang isinya “:P”

Saya hanya tersenyum dan memilih tidak membalasnya. Saya akan membalasnya besok, dengan sebuah kabar kalau saya sudah berhasil melewati malam ini.

Suasana rumah Pak jawi malam itu sudah semakin sepi, satu persatu warga yang tadi menutup sumur pun pulang, saya pun berniat untuk pulang, tapi kemudian saya sadar kalau saya gak bawa motor. 

“Njiiir, aku kesini kan ikut mobil, terpaksa jalan nih. Mana gang ini serem lagi”

Di sebelah rumah pak jawi, tepat dimana dulu salah satu dari enam pohon mangga itu tumbuh, saya melihat sebuah bungkusan. Awalnya saya pikir itu adalah bekal warga yang tadi gotong royong nutup sumur. Tapi karena penasaran, saya pun menghampirinya
Sebuah kotak kue besar yang mungkin tidak akan habis jika dimakan 2 atau tiga orang. Semakin penasaran, saya pun membuka kotak kue itu yang memang ternyata Masih ada kuenya. Perasaan saya sudah mulai tidak enak, karena tiba-tiba saya teringat cerita Dini tentang anak-anak yang sering datang kesini, anak-anak yang tidak punya orang tua, anak-anak yang sering Dini kasih makan. Ah tidak mungkin, pasti ini bekal mereka yang ketinggalan, atau juga mungkin juga bekal warga yang gak sempet dimakan. Saya pun membuka kotak kue tersebut, kue lemper jumbo yang di desa ini hanya Mila yang jual. Ada tujuh lemper di dalam kotak itu, dan hanya satu yang sudah dimakan.

Segera saya menoleh ke sekeliling rumah pak jawi, timur, barat, selatan dan semua arah. Tapi tidak ada siapapun di situ kecuali seorang warga yang sudah siap-siap pulang dengan membawa sekop. 

Saya pun berpikir 

“Jadi, selama ini Dini masih sering ketemu dengan mereka. Atau lebih tepatnya, mereka yang sering menemui Dini. Tapi kenapa Dini gak cerita. Teman-temannya pun gak ada yang lapor ke saya”

Tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan kue ini, saya pun memberikannya pada warga yang mau pulang tersebut dan Beliau kelihatan sangat senang sekali. Saya masih melihat rumah pak jawi yang sudah tidak seperti dulu lagi, mungkin ini terakhir kalinya saya melihat rumah ini. Saya tidak akan pernah kesini lagi, saya pun melangkahkan kaki untuk pulang, sembari memasang kedua Earphone di telinga dan Musik pun dimulai



Chapter 48
Januari 2015
22.00 WIB


MUSIK

Hey! Keep on rolling
Baby I want to explode
Oh yes, need you darling
With the growling exhaust note
I'm a love addict
Come light my fire
A love addict
I'm already a love addict

Yeah just free your mind
Yeah let's get it on now

……………
Clack!!

Saya melepaskan earphone di telinga saya

Saya benci musim gugur, musim dimana saya harus membersihkan daun-daun mangga kering yang berjatuhan di halaman rumah. Meskipun tidak di pungkiri, ada kesan tersendiri melihat daun-daun itu berguguran, andai semua masalah yang menimpa saya berguguran satu persatu, seperti daun ini. Tapi malam ini beda, daun yang dari tadi berguguran mengiriringi langkah saya pulang ini semuanya masih terlihat hijau segar. Seperti belum waktunya jatuh, kecuali kalau

Di atas saya, ada yang memaksanya jatuh

Krasak!! Krasaak!!! KRASAK!!

Takut tapi harus, saya pun melihat ke atas. Pohon-pohon yang berjejer rapi dari ujung ke ujung gang kadal itu daunya berjatuhan banyak sekali. Saya tahu ada yang tidak beres disini. Apalagi sekarang suara berisik di atas pohon itupun semakin jelas terdengar

“Ada apa ini? Ada apa di atas sana??”

Haruskah saya mulai berlari? Atau menunggu sesuatu muncul dibalik gelapnya daun-daun pepohonan malam itu. Meskipun saya tahu, apapun yang saya lihat disana pastilah hal yang buruk. Inikah maksud ucapan Gadis bercadar itu kemarin??

Saya memasang pendengaran saya sebaik mungkin.

Satu……
Dua………
Tiga………

Ada tiga suara dari tiga pohon yang berbeda. Tanpa melihat pun saya bisa merasakan, sesuatu melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. 

“Monyet??”

Entahlah apapun itu yang jelas kaki saya sama sekali menolak untuk diajak berlari. Terlalu banyak misteri di hidup saya belakangan ini, sehingga saya haus akan jawaban. Dan entah kenapa saya merasa, saya akan menemukan sebuah jawaban dengan berdiam diri di sini, walaupun nyawa taruhannya.

Suara itu pun berhenti terdengar. 

Puk……
Puk………….
Puk……………………


Gerimis?? Bukan!! Sesuatu mentes di leher bagian belakang saya, saya pun merabanya tanpa menoleh ke atas. Cair, kental, dan bau. Bau yang familiar, karena sering saya cium di bantal tidur saya saat bangun pagi.

Badan saya pun bergidik, saya tidak berani melihat ke atas. Saya tidak mau tahu apa yang sedang menunggu saya di atas sana, yang saya tahu hanyalah jawaban atas pertanyaan saya tadi

“Ini waktunya lari”

Srakkk!! Brukk!!

Secara mengejutkan sesuatu jatuh dari atas pohon, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah jatuhnya tepat di punggung saya. Sehingga saya harus membungkuk kesakitan, menahan tekanan di punggung dan kaki saya 

Aaaaaaaah!!!!!!!!!!

Tangan??? ………..
Tangan yang hitam …………….
sedikit berbulu ………………..

merangkul pundak saya, sedangkan di pundak sebelah kanan saya perlahan demi perlahan benda bundar berbulu yang ternyata adalah kepala itu, mendekatkan mulutnya ke telinga saya. 

Darah saya pun berdesir keras, sekeras detak jantung saya. Angin dari hidungnya terlalu keras untuk sebuah nafas, dan cairan dari mulutnya semakin deras membasahi pundak saya yang sudah semakin lemas. Saya tidak berani menoleh karena entah kenapa

Mulutnya terasa panjang sekali

Mulut panjang itu menyentuh telinga saya dan berbisik

KEMBALIKAN IBU

Hwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Saya mendorong tubuh saya yang memang berat di belakang ini dan menghantamkannya ke pagar, berkali-kali

“LEPAS!!” 

“BRAK!!”

“LEPAAAS!!!”

“BRAK!!”

“LEPAAAAAAAS!!”

Pagar itu pun ambruk, tapi apapun yang ada di punggung saya ini masih tetap melekat erat. Saya pun kehilangan keseimbangan dan jatuh terlentang

Bugh!!

Barulah mahluk itu melepaskan saya, tapi sejak kapan????? Seakan tidak memberikan kesempatan bagi saya untuk berpikir, mahluk ini entah dari mana datangnya tiba tiba jatuh menindih tubuh saya dari atas. Saya pun terhenyak menahan sakit di pinggul saya. Dia pun berteriak

KEMBALIKAN IBUUUUUUUUUUUUU

Itu adalah teriakan yang sangat nyaring dari mulut yang sangat besar itu, hingga daun-daun yang berserakan di samping saya pun sedikit terhempas. Saya berusaha berontak tapi entah kenapa, saya tidak bisa menggerakkan seujung jari pun. Hanya mulut saya yang masih bisa saya kendalikan, akhirnya saya pun berkata

“SssssseTAAAAAAAN”

Sekuat itukah mahluk ini?? Hanya dengan satu tangannya, dia melempar saya cukup jauh. Dapat saya rasakan luka goresan di perut, dagu, bahkan di bagian bawah. Rasa sakit yang luar biasa ini menggantikan rasa takut saya, sehingga masih ada kesadaran diri saya untuk melawan. Atau lebih tepatnya untuk kabur. 

Saya berusaha bangkit dengan rasa perih di bagian depan tubuh saya, karena saya harus nyosor di tanah dengan posisi tengkurep. Dan sambil menahan perih saya melihat sosok itu berjalan mendekati saya

Mahluk itu, dia kecil sekali! Tidak sebanding dengan kekuatan dan beratnya. Saya tidak punya banyak waktu memperhatikan bagian wajah dari mahluk itu saya pun segera berlari.

Berlari dengan luka lecet di selangkangan, dan kerasnya permukaan celana jeans yang saya pakai, itu sangatlah menyiksa. Beberapa kali saya memperlambat diri karena tidak kuat dengan sakitnya. Tapi saya tetap harus keluar dari situasi ini

Dug!

Tapi sialnya, lagi-lagi saya harus terjatuh. Kaki saya tersandung sesuatu. Dan setelah saya perhatikan itu adalah sekop, sekop milik warga yang tadi saya kasih kue. Bagaimana saya bisa tahu??

Karena sekop itu masih menempel di tangan warga yang saat ini sudah menjadi mayat. Kondisinya sangat mengenaskan. Saya pun dapat melihat lemper-lemper itu berserakan di tanah.

Saya yang jatuh tersungkur pun berbalik dan ternyata, mahluk itu sudah ada di depan saya. Dan saat dia berusaha menindih saya lagi. Saya layangkan sekop itu ke wajahnya,

JEDANG!

Bunyi hantaman itu, bunyi yang tidak wajar. Bunyinya Seakan sekop saya menghantam batu yang keras. Pukulan saya itu tidak membuatnya bergerak sedikitpun, tapi cukup membuatnya kaget. Dan ini kesempatan saya untuk lari …. Lagi…..

Persetan dengan selangkangan saya yang perih!
Persetan dengan kulit jempol kaki saya yang tergesek sepatu.
Saya harus lari, saya harus keluar dari sini, dari gang ini, dari situasi ini

TIDAK SAKIT, TIDAK SAKIT, TIDAK SAKIIIIIIIIIIIIIIIIT

Itu sugesti terburuk yang saya berikan pada otak saya, agar sejenak saja melupakan rasa sakit. 
Saya sudah melihat tiga rumah berjejer di samping saya, itu artinya saya sudah di ujung gang kadal, saya terus berlari mendekati cahaya lampu di ujung gang itu yang semakin lama semakin dekat.

Melihat motor dan becak yang lewat, serta suara tv dari rumah warga, saya pun sedikit merasa aman. Dan akhirnya

Saya pun keluar dari gang kadal

“Haaaaaaaaaaaah, ahhhhhhhhhhaa uhuk uhuk”

Saya bingung harus mengatur nafas atau batuk terlebih dahulu. Saya melihat ke belakang…………………
Mahluk itu sudah tidak ada, saya bisa merasa sedikit lega. 

Hahahahahahahaha, huhahaahahahahah

Suara tawa saya, tawa yang harus saya keluarkan untuk melepaskan stress dan rasa sakit. Meskipun becak yang lalu lalang itu melihat saya seakan saya orang gila. 

Anak kecil yang ada di samping saya pun menatap saya seolah heran, Ini om-om abis ngapain sih.

Tapi urusan saya belum selesai. Saya harus segera melaporkan ini pada warga. Merasa tempat ini tidak aman, saya pun menggandeng anak kecil yang lagi asyik makan kue ini ikut.

“Rumah kamu dimana”

Anak itu tidak menjawab, karena masih mengunyah kuenya. Saya pun bertanya sekali lagi sambil melihat ke arahnya

“Rumah kamu dimana cil??”

Lagi-lagi anak kecil ini masih sibuk mengunyah kuenya. Saya melihat jam di tangan saya yang hampir putus itu, sudah menunjukkan angka 22:40. Saya pun menghentikan langkah saya dan berpikir 

“Anak siapa ini??? Kenapa dia jam segini ada di luar??”

Cepat-cepat saya melirik ke arah anak yang dari tadi menunduk sibuk mengunyah kue lempernya

“Kue….”
“Lemper??”


Setelah kuenya mencapai gigitan terakhir, dia menatap saya sambil tersenyum dengan senyum yang aneh yang membuat saya mendadak sesak nafas….. dan akhirnya anak itu membuka mulutnya…..

CRUNCH!!!!!
.::Cerita Selanjutnya::.