MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (VERSI LENGKAP) CHAPTER 49
Chapter 49
Januari 2015
22:40 WIB
IBU
Waktu seakan berhenti. Kendaraan yang lalu lalang terlihat berjalan sangat pelan. Semua yang ada di sekitar, seperti bergerak lambat. Hanya satu yang saya lihat mengalir sangat cepat yaitu darah saya. Entah sudah berapa lama saya tidak melihat darah saya sendiri, dan sekarang saya harus melihatnya muncrat di mulut seorang anak kecil. Anak kecil yang masih terlihat senang menggigit, dan tidak ada tanda-tanda untuk melepaskan tangan kiri saya. Giginya tidak bertaring, tapi rahangnya menggigit sangat kuat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, saya kumpulkan semuanya di kaki kanan ini. Segera saya layangankan tendangan tepat ke perut anak kecil itu. Anak itupun terhenyak dan menarik mulutnya tanpa melepaskan gigitannya di tangan saya
Ugggghhhhhhaaaaaaaaaaaaaah
Suara teriakan yang keluar bersamaan dengan menyemburnya darah segar dari tangan saya. Saya merasa separuh daging di antara ibu jari dan jari telunjuk saya hilang, dan itu sangat, sangat sakit. Kedua lutut ini pun jatuh ke tanah, sembari memegang tangan kiri saya yang mulai mati rasa. Tidak dapat saya lihat dengan jelas seperti apa lukanya, pandangan saya buram karena air mata.
“Sakiit, sakiiiiiit, sakiiiiiiiiit, sekaliiiii”
Saya berusaha untuk tetap berpikir jernih, entah kenapa rasa takut saya kali ini tidak membuat saya pingsan. Mungkin karena perih dan ngilu di sekujur tubuh, memaksa tubuh saya tetap terjaga. Kali ini saya arahkan mata saya ke anak itu, anak berbaju merah yang sekarang berdiri di tengah jalan memegang perutnya. Cahaya terang yang entah dari mana, menyinari wajahnya yang masih tersenyum sambil menahan sakit.
“Siiiii siiiapaaaaa anak iiituuuu??”
Saya memaksa otak untuk berpikir, tapi rasa sakit sudah terlebih dahulu mengusainya. Cahaya terang yang entah dari mana itu semakin luas menerangi jalan, sosok anak kecil itu pun semakin jelas tergambar. Kecil, lebih kecil dari enam anak pak jawi, lebih kecil dari Faza dan Aim, memakai baju merah dan celana hitam seperti anak kecil pada umunya. Pelan-pelan dia melepaskan tangannya yang dari tadi memegang perut, mungkin rasa sakit akibat tendangan saya sudah hilang. Wajahnya kini tampak lebih tenang menatap saya dan berkata
Kembalikan Ibu…..
Saya semakin tidak mengerti, anak ini berbicara persis seperti mahluk hitam yang hampir membunuh saya. Tapi dia hanya anak kecil, anak kecil yang normal, tidak ada tanda-tanda cacat seperti anak pak jawi, baik di tangannya, kakinya, mulut bahkan wajahnya….
“Wajahnya??”
Wajah yang familiar, seperti pernah saya lihat. Kecuali mulutnya yang tertutupi darah saya, yang perlahan-lahan mulai berubah. Saya bisa melihat karena sekarang cahaya itu semakin terang menerangi wajahnya yang perlahan berubah mengerikan, mulutnya yang kecil itu memanjang ke depan, kulitnya menghitam, dan matanya memerah. Tidak ada lagi sosok anak kecil tadi di tubuhnya, semua berganti menjadi mahluk hitam, berbulu, dengan mulut yang panjang dan mata merah menyala. Kalau memang mahluk ini yang dilihat Erik dan Sugik, maka mereka salah. Ini sama sekali tidak mirip seekor lembu.
Dan sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, mahluk hitam itu berteriak.
KEMBALIKAN IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU
Teriakannya meme kikkan telinga saya, debu-debu dan sampah di jalanan terhempas lebih jauh dari sebelumnya. Kali ini cahaya terang itu semakin dekat menyinari wajahnya yang menyeramkan, hingga terlihat sangat-sangat jelas di mata saya. Sampai akhirnya
BRUAAAAAAAK!
Sebuah mobil melaju cepat dan menabrak mahluk itu, mobil kijang merah yang ternyata adalah sumber dari cahaya terang tadi tiba-tiba ngerem mendadak. Kedua penumpangnya turun dari mobil, mereka terlihat bingung karena merasa menabrak sesuatu tapi tidak ada siapapun di sana.
TIDAK ADA SIAPAPUN??
Bagaimana bisa?? Sosok hitam itu masih di sana, tepat di depan mereka. Dia tergeletak di aspal dan masih hidup. Saya tidak bisa membayangkan mahluk seperti ini mati hanya gara-gara tertabrak mobil. Dan benar! Perlahan mahluk itu bangkit, di tengah merahnya nyala lampu belakang mobil. Jika biasanya lampu merah adalah isyarat berhenti, tapi bagi saya ini adalah isyarat untuk mulai, mulai berlari, lagi.
Semua doa, semua ayat, semua amalan pengusir jin, setan, hantu, dedemit dan apapun itu saya baca sambil terus berlari. Saya merasakan sakit di bagian dada, seakan jantung ini tidak kuat kalau harus memompa darah dan nyali saya sekaligus. Tapi tidak ada alasan untuk berhenti, saya harus terus berlari walaupun harus melewati mati.
Di depan, saya mendengar keramaian warga, mereka kumpulan bapak-bapak yang sedang begadang. Mereka yang melihat saya berlari pun segera bangkit dari duduknya dan melemparkan kartu domino mereka
“Cong Danil??? Bede nape nak???” (Nak Danil, ada apa nak??)
Warga yang saat itu ada empat orang pun segera mengerumuni saya dan menjejal saya dengan banyak pertanyaan, tapi bukan itu yang saya butuh. Saya segera mendorong dua orang warga yang menghalangi jalan saya, kemudian berlari ke posko tempat mereka nongkrong. Saya pun menyambar kendi dan meneguk semua kopi panasnya sampai habis. Seakan tidak puas, saya memukul-mukul kendi yang ujungnya masih di mulut saya itu, kemudian membuangnya karena sudah kosong. Warga tadi lagi-lagi menghampiri saya, kali ini dengan wajah sangat khawatir.
“Aaaaaair, Aaaaaaaaiiiir”
Mereka segera mengambil kendi kosong tadi, dan mengisinya dengan air kran, kemudian memberikannya pada saya, lengkap dengan gelasnya. Saya pun mengambil kendinya, membuang tutup kendi dan gelasnya, kemudian menyiramkan airnya ke badan saya. Rasa dingin dan perih bergantian menjalar dari ujung kepala sampai badan saya.
Empat orang warga ini masih menunggu saya mengatur nafas, mereka tahu ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Ya!! Ini sama sekali bukan waktu yang tepat untuk berbicara, karena sekarang saya hanya bisa tertawa. Tertawa keras sekalii, karena keadaan ini membuat saya gila. Saya tidak lagi dapat mendengar warga itu berbicara, kuping saya hanya bisa mendengarkan suara tawa saya sendiri. Tawa depresi karena setelah saya pikir saya akan selamat di dekat warga, di belakang warga justru mahluk itu sedang berdiri, dan kali ini jelas, Tubuhnya menjadi lebih besar. Mahluk itu Menatap saya dengan mata merahnya. Tapi anehnya empat warga bodoh itu tidak merasakan apapun. Mereka masih saja menggoyang-goyangkan tubuh saya, membacakan adzan di telinga saya, tapi percuma. Yang saya tahu hanyalah, saya harus berlari sekali lagi
TAAAAAAAAAAAAAA***************
Lagi-lagi saya mendorong mereka minggir, berlari menuju rumah dengan tubuh yang berantakan dan batin saya yang mulai gila. Saya tahu saya ketakutan tapi kali ini saya berlari sambil terbahak-bahak.
Saya sudah sampai di rumah. Tempat teraman bagi saya untuk saat ini. Meskipun saya tidak yakin, pintu kayu ini, dan bahkan gedung tebal pun dapat menghalangi mahluk itu. Saya meraba celana, jaket, baju dalam dan semua tempat di tubuh saya untuk mencari kunci sambil mengumpat dan sesekali melihat ke belakang. Dan saat kuncinya sudah di tangan saya, saya masih saja kesulitan untuk membuka pintu rumah saya
“BERHENTI GEMETAR TANGAN SIALAN!!!!”
Pintu pun terbuka, segera saya masuk dan membanting daun pintunya. Saya mendorong meja, menarik kursi, menyusun perabotan bahkan mendorong lemari ke arah pintu. Ini adalah blokade terbaik saya saat ini. Meskipun saya tahu, kalau pun mahluk itu harus mengejar saya sampai ke rumah, dia tidak akan lewat pintu.
Saya pun duduk, di lantai ruang tamu, karena semua kursi dan meja sudah menumpuk di balik pintu. Rumah saya, istana saya, disini saya adalah rajanya, saya tidak boleh kalah dari siapapun di rumah saya sendiri.
Bzzzzzzzzz
Tiba-tiba lampu di rumah saya mati satu persatu. Lampu luar, ruang tamu, koridor, dan bahkan mungkin ruang lainnya juga mati saya tidak tahu. Yang saya tahu, saat ini di ruang tamu, tepat di mana saya duduk selonjoran. Saya merasakan kehadiran seseorang, saya bisa melihat kaki-kaki kecil telanjang berdiri mengelilingi saya. Bau apek ini, seperti bau Faza yang sudah seharian bermain dan belum juga mandi. Jari-jari kaki yang kukunya hitam, kecuali sepasang kaki yang bahkan tidak ada jarinya, dan juga sepasang tangan yang entah kenapa ada di bawah. Perlahan mendekati saya. Saya tahu siapa yang sedang saya hadapi
“Pergi!”
Mereka masih mendekat
“Ini rumah saya!”
Suara langkah kaki, dan suara lantai berdecit semakin terasa mendekati saya
“Kalian tidak bisa mengganggu saya disini”
Tapi percuma kali ini kaki kecil mereka, dan satu kaki buntung itu sudah berada sejengkal di depan saya. Saya masih menunduk dengan kaki yang masih selonjoran. Mereka pun mengucapkan sesuatu, bersamaan dengan suara yang sama
-KEMBALIKAN IBU KAMI
"HWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!"
SAYA BANGKIT DARI TEMPAT SAYA DUDUK………..
SAYA KEPALKAN TANGAN……….
DAN SAYA PUN MEMUKUL MEREKA………….
MENENDANG! MENJAMBAK RAMBUTNYA! MENGGIGIT MEREKA
SATU PERSATU…..
Tapi tidak satupun dari mereka mengaduh, mereka masih mengucapkan kata-kata yang sama “KEMBALIKAN IBU KAMI”
Saya masih saja mengamuk, sambil berteriak. Hingga saya pun merasa kelelahan dan berhenti. Percuma!!!! Sedari tadi saya mengamuk kanan dan kiri, tapi tidak sekali pun saya merasa menyentuh sesuatu. Seakan saya hanya memukul udara. Tapi mereka masih disana, di sekeliling saya, masih dengan kata-kata yang sama, KEMBALIKAN IBU KAMI
“ANJ******************NG”
Saya berlari masuk ke kamar bapak, menutup pintu kamar, dan mendorong tas bapak yang berat itu ke pintu sebagai penghalang. Tapi di balik pintu, mereka masih berbicara dengan kata-kata yang sama, sambil menggedor-gedor pintunya.
“PERGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!”
Teriak saya dengan suara terisak, saya menangis seperti anak kecil, keadaan ini membuat saya depresi. Tapi mereka masih tidak berhenti, menggedor pintu kamar semakin keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba saya melihat sesuatu tergeletak di lantai.
Sorban, kain, baju, tongkat, dan barang-barang bapak berceceran karena tas yang saya buka waktu itu, belum sempat saya tutup. Saya meraba satu persatu barang bapak, tidak ada satupun barang yang bisa dijadikan senjata. Entah karena gila atau depresi, yang saya harap untuk temukan adalah pisau, golok, atau apapun yang bisa membantai mereka, tak peduli mereka adalah anak kecil. Tapi sayangnya, hanya tongkat kayu ini yang bisa saya andalkan. Tongkat kayu yang tidak begitu panjang, dan bercabang empat.
Kali ini saya pun berdiri, berjalan pelan ke arah pintu kamar bapak, yang saat ini sudah berhenti digedor. Bahkan saya sudah tidak mendengar suara anak-anak itu lagi. Saya turunkan tas besar bapak yang menyangga pintu, saya buka pintu kamar itu perlahan. Kemudian kepala saya yang keluar lebih dulu itu pun menolah kanan kiri, tapi tidak melihat siapapun. Saya berjalan pelan sambil memegang tongkat kayu itu, dengan pikiran yang sudah kalap…..
“Siapapun yang saya temui, Iblis yang apapun bentuknya, sapi, kambing, anak kecil sekalipun akan saya retakkan tengkorak kepalanya”
Saya sudah berada di ruang tamu, dan tidak ada siapapun disitu. Bahkan setelah disini saya baru sadar, bahwa lampu rumah sudah hidup kembali, semuanya. Ada sedikit rasa lega di batin saya, karena mungkin mereka sudah pergi. Tapi kemudian saya mendengar suara
Suara langkah kaki?? Bukan!! Ini terlalu pelan
Suara kaki ngesot??? Bukan!! Ini sama sekali tidak berdecit
Suara apapun itu kali ini saya menghadap ke arah koridor rumah yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga itu. Karena suara itu berasal dari situ.
Dan perlahan lahan saya bisa melihat. Sepasang kaki, sepasang tangan, merangkak mendekati saya. Tangan hitam yang sangat kecil, mungil, bahkan pergelangan tangannya pun hanya selebar tiga dua jari saya. Jari yang saat ini sudah sangat lemas, sehingga genggaman saya pun lepas, melepaskan senjata terakhir saya yang tadinya akan saya hantamkan pada siapapun, dan apapun yang datang mengganggu, tapi tidak untuk yang satu ini!!!! Saya tidak bisa!!
Krak!!
Senjata terakhir saya pun, tergeletak di lantai
Sudah cukup!!
Saya menyerah.
Bunuh saja saya! Koyak saja tubuh saya!
Karena tidak ada satu pun manusia normal yang mampu
Memukul dan melukai sosok yang terus mendekati saya itu
Sosok yang mulai tertawa
Tawa yang harusnya diidam-idamkan semua orang tua
Tawa seorang bayi yang baru belajar merangkak
Hanya saja bayi ini berkulit hitam
Bermata merah
Berambut putih
Berkuku tajam
Dia sudah di kaki saya
Memegang betis
Dan mengakat wajahnya ke arah wajah saya
Saya pun menundukkan wajah saya dengan perlahan
Bayi hitam itu bersuara dengan suara yang menyeramkam
“KAKAK... BALIKIN MAMA KAK”
.::Cerita Selanjutnya::.
Januari 2015
22:40 WIB
IBU
Waktu seakan berhenti. Kendaraan yang lalu lalang terlihat berjalan sangat pelan. Semua yang ada di sekitar, seperti bergerak lambat. Hanya satu yang saya lihat mengalir sangat cepat yaitu darah saya. Entah sudah berapa lama saya tidak melihat darah saya sendiri, dan sekarang saya harus melihatnya muncrat di mulut seorang anak kecil. Anak kecil yang masih terlihat senang menggigit, dan tidak ada tanda-tanda untuk melepaskan tangan kiri saya. Giginya tidak bertaring, tapi rahangnya menggigit sangat kuat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, saya kumpulkan semuanya di kaki kanan ini. Segera saya layangankan tendangan tepat ke perut anak kecil itu. Anak itupun terhenyak dan menarik mulutnya tanpa melepaskan gigitannya di tangan saya
Ugggghhhhhhaaaaaaaaaaaaaah
Suara teriakan yang keluar bersamaan dengan menyemburnya darah segar dari tangan saya. Saya merasa separuh daging di antara ibu jari dan jari telunjuk saya hilang, dan itu sangat, sangat sakit. Kedua lutut ini pun jatuh ke tanah, sembari memegang tangan kiri saya yang mulai mati rasa. Tidak dapat saya lihat dengan jelas seperti apa lukanya, pandangan saya buram karena air mata.
“Sakiit, sakiiiiiit, sakiiiiiiiiit, sekaliiiii”
Saya berusaha untuk tetap berpikir jernih, entah kenapa rasa takut saya kali ini tidak membuat saya pingsan. Mungkin karena perih dan ngilu di sekujur tubuh, memaksa tubuh saya tetap terjaga. Kali ini saya arahkan mata saya ke anak itu, anak berbaju merah yang sekarang berdiri di tengah jalan memegang perutnya. Cahaya terang yang entah dari mana, menyinari wajahnya yang masih tersenyum sambil menahan sakit.
“Siiiii siiiapaaaaa anak iiituuuu??”
Saya memaksa otak untuk berpikir, tapi rasa sakit sudah terlebih dahulu mengusainya. Cahaya terang yang entah dari mana itu semakin luas menerangi jalan, sosok anak kecil itu pun semakin jelas tergambar. Kecil, lebih kecil dari enam anak pak jawi, lebih kecil dari Faza dan Aim, memakai baju merah dan celana hitam seperti anak kecil pada umunya. Pelan-pelan dia melepaskan tangannya yang dari tadi memegang perut, mungkin rasa sakit akibat tendangan saya sudah hilang. Wajahnya kini tampak lebih tenang menatap saya dan berkata
Kembalikan Ibu…..
Saya semakin tidak mengerti, anak ini berbicara persis seperti mahluk hitam yang hampir membunuh saya. Tapi dia hanya anak kecil, anak kecil yang normal, tidak ada tanda-tanda cacat seperti anak pak jawi, baik di tangannya, kakinya, mulut bahkan wajahnya….
“Wajahnya??”
Wajah yang familiar, seperti pernah saya lihat. Kecuali mulutnya yang tertutupi darah saya, yang perlahan-lahan mulai berubah. Saya bisa melihat karena sekarang cahaya itu semakin terang menerangi wajahnya yang perlahan berubah mengerikan, mulutnya yang kecil itu memanjang ke depan, kulitnya menghitam, dan matanya memerah. Tidak ada lagi sosok anak kecil tadi di tubuhnya, semua berganti menjadi mahluk hitam, berbulu, dengan mulut yang panjang dan mata merah menyala. Kalau memang mahluk ini yang dilihat Erik dan Sugik, maka mereka salah. Ini sama sekali tidak mirip seekor lembu.
Dan sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, mahluk hitam itu berteriak.
KEMBALIKAN IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU
Teriakannya meme kikkan telinga saya, debu-debu dan sampah di jalanan terhempas lebih jauh dari sebelumnya. Kali ini cahaya terang itu semakin dekat menyinari wajahnya yang menyeramkan, hingga terlihat sangat-sangat jelas di mata saya. Sampai akhirnya
BRUAAAAAAAK!
Sebuah mobil melaju cepat dan menabrak mahluk itu, mobil kijang merah yang ternyata adalah sumber dari cahaya terang tadi tiba-tiba ngerem mendadak. Kedua penumpangnya turun dari mobil, mereka terlihat bingung karena merasa menabrak sesuatu tapi tidak ada siapapun di sana.
TIDAK ADA SIAPAPUN??
Bagaimana bisa?? Sosok hitam itu masih di sana, tepat di depan mereka. Dia tergeletak di aspal dan masih hidup. Saya tidak bisa membayangkan mahluk seperti ini mati hanya gara-gara tertabrak mobil. Dan benar! Perlahan mahluk itu bangkit, di tengah merahnya nyala lampu belakang mobil. Jika biasanya lampu merah adalah isyarat berhenti, tapi bagi saya ini adalah isyarat untuk mulai, mulai berlari, lagi.
Semua doa, semua ayat, semua amalan pengusir jin, setan, hantu, dedemit dan apapun itu saya baca sambil terus berlari. Saya merasakan sakit di bagian dada, seakan jantung ini tidak kuat kalau harus memompa darah dan nyali saya sekaligus. Tapi tidak ada alasan untuk berhenti, saya harus terus berlari walaupun harus melewati mati.
Di depan, saya mendengar keramaian warga, mereka kumpulan bapak-bapak yang sedang begadang. Mereka yang melihat saya berlari pun segera bangkit dari duduknya dan melemparkan kartu domino mereka
“Cong Danil??? Bede nape nak???” (Nak Danil, ada apa nak??)
Warga yang saat itu ada empat orang pun segera mengerumuni saya dan menjejal saya dengan banyak pertanyaan, tapi bukan itu yang saya butuh. Saya segera mendorong dua orang warga yang menghalangi jalan saya, kemudian berlari ke posko tempat mereka nongkrong. Saya pun menyambar kendi dan meneguk semua kopi panasnya sampai habis. Seakan tidak puas, saya memukul-mukul kendi yang ujungnya masih di mulut saya itu, kemudian membuangnya karena sudah kosong. Warga tadi lagi-lagi menghampiri saya, kali ini dengan wajah sangat khawatir.
“Aaaaaair, Aaaaaaaaiiiir”
Mereka segera mengambil kendi kosong tadi, dan mengisinya dengan air kran, kemudian memberikannya pada saya, lengkap dengan gelasnya. Saya pun mengambil kendinya, membuang tutup kendi dan gelasnya, kemudian menyiramkan airnya ke badan saya. Rasa dingin dan perih bergantian menjalar dari ujung kepala sampai badan saya.
Empat orang warga ini masih menunggu saya mengatur nafas, mereka tahu ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Ya!! Ini sama sekali bukan waktu yang tepat untuk berbicara, karena sekarang saya hanya bisa tertawa. Tertawa keras sekalii, karena keadaan ini membuat saya gila. Saya tidak lagi dapat mendengar warga itu berbicara, kuping saya hanya bisa mendengarkan suara tawa saya sendiri. Tawa depresi karena setelah saya pikir saya akan selamat di dekat warga, di belakang warga justru mahluk itu sedang berdiri, dan kali ini jelas, Tubuhnya menjadi lebih besar. Mahluk itu Menatap saya dengan mata merahnya. Tapi anehnya empat warga bodoh itu tidak merasakan apapun. Mereka masih saja menggoyang-goyangkan tubuh saya, membacakan adzan di telinga saya, tapi percuma. Yang saya tahu hanyalah, saya harus berlari sekali lagi
TAAAAAAAAAAAAAA***************
Lagi-lagi saya mendorong mereka minggir, berlari menuju rumah dengan tubuh yang berantakan dan batin saya yang mulai gila. Saya tahu saya ketakutan tapi kali ini saya berlari sambil terbahak-bahak.
Saya sudah sampai di rumah. Tempat teraman bagi saya untuk saat ini. Meskipun saya tidak yakin, pintu kayu ini, dan bahkan gedung tebal pun dapat menghalangi mahluk itu. Saya meraba celana, jaket, baju dalam dan semua tempat di tubuh saya untuk mencari kunci sambil mengumpat dan sesekali melihat ke belakang. Dan saat kuncinya sudah di tangan saya, saya masih saja kesulitan untuk membuka pintu rumah saya
“BERHENTI GEMETAR TANGAN SIALAN!!!!”
Pintu pun terbuka, segera saya masuk dan membanting daun pintunya. Saya mendorong meja, menarik kursi, menyusun perabotan bahkan mendorong lemari ke arah pintu. Ini adalah blokade terbaik saya saat ini. Meskipun saya tahu, kalau pun mahluk itu harus mengejar saya sampai ke rumah, dia tidak akan lewat pintu.
Saya pun duduk, di lantai ruang tamu, karena semua kursi dan meja sudah menumpuk di balik pintu. Rumah saya, istana saya, disini saya adalah rajanya, saya tidak boleh kalah dari siapapun di rumah saya sendiri.
Bzzzzzzzzz
Tiba-tiba lampu di rumah saya mati satu persatu. Lampu luar, ruang tamu, koridor, dan bahkan mungkin ruang lainnya juga mati saya tidak tahu. Yang saya tahu, saat ini di ruang tamu, tepat di mana saya duduk selonjoran. Saya merasakan kehadiran seseorang, saya bisa melihat kaki-kaki kecil telanjang berdiri mengelilingi saya. Bau apek ini, seperti bau Faza yang sudah seharian bermain dan belum juga mandi. Jari-jari kaki yang kukunya hitam, kecuali sepasang kaki yang bahkan tidak ada jarinya, dan juga sepasang tangan yang entah kenapa ada di bawah. Perlahan mendekati saya. Saya tahu siapa yang sedang saya hadapi
“Pergi!”
Mereka masih mendekat
“Ini rumah saya!”
Suara langkah kaki, dan suara lantai berdecit semakin terasa mendekati saya
“Kalian tidak bisa mengganggu saya disini”
Tapi percuma kali ini kaki kecil mereka, dan satu kaki buntung itu sudah berada sejengkal di depan saya. Saya masih menunduk dengan kaki yang masih selonjoran. Mereka pun mengucapkan sesuatu, bersamaan dengan suara yang sama
-KEMBALIKAN IBU KAMI
"HWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!"
SAYA BANGKIT DARI TEMPAT SAYA DUDUK………..
SAYA KEPALKAN TANGAN……….
DAN SAYA PUN MEMUKUL MEREKA………….
MENENDANG! MENJAMBAK RAMBUTNYA! MENGGIGIT MEREKA
SATU PERSATU…..
Tapi tidak satupun dari mereka mengaduh, mereka masih mengucapkan kata-kata yang sama “KEMBALIKAN IBU KAMI”
Saya masih saja mengamuk, sambil berteriak. Hingga saya pun merasa kelelahan dan berhenti. Percuma!!!! Sedari tadi saya mengamuk kanan dan kiri, tapi tidak sekali pun saya merasa menyentuh sesuatu. Seakan saya hanya memukul udara. Tapi mereka masih disana, di sekeliling saya, masih dengan kata-kata yang sama, KEMBALIKAN IBU KAMI
“ANJ******************NG”
Saya berlari masuk ke kamar bapak, menutup pintu kamar, dan mendorong tas bapak yang berat itu ke pintu sebagai penghalang. Tapi di balik pintu, mereka masih berbicara dengan kata-kata yang sama, sambil menggedor-gedor pintunya.
“PERGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!”
Teriak saya dengan suara terisak, saya menangis seperti anak kecil, keadaan ini membuat saya depresi. Tapi mereka masih tidak berhenti, menggedor pintu kamar semakin keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba saya melihat sesuatu tergeletak di lantai.
Sorban, kain, baju, tongkat, dan barang-barang bapak berceceran karena tas yang saya buka waktu itu, belum sempat saya tutup. Saya meraba satu persatu barang bapak, tidak ada satupun barang yang bisa dijadikan senjata. Entah karena gila atau depresi, yang saya harap untuk temukan adalah pisau, golok, atau apapun yang bisa membantai mereka, tak peduli mereka adalah anak kecil. Tapi sayangnya, hanya tongkat kayu ini yang bisa saya andalkan. Tongkat kayu yang tidak begitu panjang, dan bercabang empat.
Kali ini saya pun berdiri, berjalan pelan ke arah pintu kamar bapak, yang saat ini sudah berhenti digedor. Bahkan saya sudah tidak mendengar suara anak-anak itu lagi. Saya turunkan tas besar bapak yang menyangga pintu, saya buka pintu kamar itu perlahan. Kemudian kepala saya yang keluar lebih dulu itu pun menolah kanan kiri, tapi tidak melihat siapapun. Saya berjalan pelan sambil memegang tongkat kayu itu, dengan pikiran yang sudah kalap…..
“Siapapun yang saya temui, Iblis yang apapun bentuknya, sapi, kambing, anak kecil sekalipun akan saya retakkan tengkorak kepalanya”
Saya sudah berada di ruang tamu, dan tidak ada siapapun disitu. Bahkan setelah disini saya baru sadar, bahwa lampu rumah sudah hidup kembali, semuanya. Ada sedikit rasa lega di batin saya, karena mungkin mereka sudah pergi. Tapi kemudian saya mendengar suara
Suara langkah kaki?? Bukan!! Ini terlalu pelan
Suara kaki ngesot??? Bukan!! Ini sama sekali tidak berdecit
Suara apapun itu kali ini saya menghadap ke arah koridor rumah yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga itu. Karena suara itu berasal dari situ.
Dan perlahan lahan saya bisa melihat. Sepasang kaki, sepasang tangan, merangkak mendekati saya. Tangan hitam yang sangat kecil, mungil, bahkan pergelangan tangannya pun hanya selebar tiga dua jari saya. Jari yang saat ini sudah sangat lemas, sehingga genggaman saya pun lepas, melepaskan senjata terakhir saya yang tadinya akan saya hantamkan pada siapapun, dan apapun yang datang mengganggu, tapi tidak untuk yang satu ini!!!! Saya tidak bisa!!
Krak!!
Senjata terakhir saya pun, tergeletak di lantai
Sudah cukup!!
Saya menyerah.
Bunuh saja saya! Koyak saja tubuh saya!
Karena tidak ada satu pun manusia normal yang mampu
Memukul dan melukai sosok yang terus mendekati saya itu
Sosok yang mulai tertawa
Tawa yang harusnya diidam-idamkan semua orang tua
Tawa seorang bayi yang baru belajar merangkak
Hanya saja bayi ini berkulit hitam
Bermata merah
Berambut putih
Berkuku tajam
Dia sudah di kaki saya
Memegang betis
Dan mengakat wajahnya ke arah wajah saya
Saya pun menundukkan wajah saya dengan perlahan
Bayi hitam itu bersuara dengan suara yang menyeramkam
“KAKAK... BALIKIN MAMA KAK”
.::Cerita Selanjutnya::.