Misteri Anak - Anak Pak Jawi 50

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (VERSI LENGKAP) CHAPTER 50

Chapter 50
Januari 2015
06.00 WIB


UMPAN

Panas……..
Dingin………….
Semakin panas………..
Semakin dingin………………..

Saya merasakan itu semua bergantian di wajah dan tubuh saya. Panas di pipi kanan, berganti ke pipi kiri dan mendadak seluruh badan saya menjadi dingin. Itu terjadi berulang-ulang sampai akhirnya

MERAH???

Saya membuka mata dan yang saya lihat hanyalah, warna merah dan basah. 

“Masih belum sadar juga??”

Warna merah itupun hilang, seiring dengan ember merah yang diangkat dari kepala saya. Dan tampaklah jelas ruang tamu saya yang berantakan, lebih berantakan lagi karena kursi dan lemarinya sekarang berserakan di ruang tamu, dan lebih parahnya lagi daun pintu di rumah saya, mendadak hilang.

Tapi setelah melihat orang ini, saya jadi tahu jawabannya. Ya! Si cewe bercadar merah dan kali ini benar-benar memakai cadar tapi berwarna hitam. Saya tidak menyangka kalau cewe seperti ini punya selera fashion juga, kerudungnya selalu ganti. Hanya saja bajunya kali ini, adalah baju yang sama dengan yang dipakai bapak jika hendak pergi bekerja.

“Plak!”

“Aw!! Sakit tahu!!”

“PLAK!!”

“SAKIT!!”

“Oh sukurlah kalau sakit, berarti kamu sudah sadar”

Saya bisa merasakan pipi saya perih sekali, entah berapa kali dia menampar saya hanya untuk membuat saya sadar. Harusnya sih, gak perlu sekeras itu. Gerutu saya dalam hati.

Setelah menyingkirkan ember, dan menarik kursi tamu ke depan saya, dia pun duduk diatas, sementara saya masih di bawah, selonjoran dengan rambut basah, dan pakaian yang juga basah.

“Membangunkan orang pingsan, harusnya gak sekejam itu!!!!!”

Protes saya. 

“Pingsan??? Kamu mau bilang orang yang duduk tegap, mata terbuka, mulut komat-kamit dan masih bernafas itu pingsan??”

Saya pun kaget! Jadi selama ini saya tidak pingsan?? Lalu kejadian semalam, anak-anak pak jawi dan juga bayi itu, itu hanya hayalan?? Saya melihat ke kanan dan ke kiri saya, mencar tongkat kayu bapak dan ternyata ada. Tongkat itu menggantung di dinding ruang tamu.

“Tongkat itu, ada alasan kenapa cabangnya ada empat. Jadi jangan kamu biarkan tergeletak di lantai lagi, ngerti??”

Ucap cewe bercadar itu, karena tahu saya sedang menatap tongkat itu. Saya jadi tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang hanya hayalan dari pikiran saya yang stress.

“Ummm anu, sampean…”

“Maulida!!! Panggil saya maulida”

Akhirnya dia memberitahukan namanya, tapi hanya namanya. Saya belum tahu siapa dia sebenarnya, kali ini saya beranikan diri untuk bertanya lagi

“Siapa sebenarnya umm sampean ini??? Maaf bukan apa-apa, saya hanya harus tahu agar bisa menentukan gimana harusnya saya bersikap sama sampean”

“Hadeh!! Semua orang sama saja! Sikap mereka pada orang lain, tergantung status dan strata sosial. Saya sudah beri tahu nama saya, dan masa bodoh!!! Saya gak peduli dengan bagaimana kamu bersikap, gak ngaruh”

NJIR!! Nih cewe dibaikin malah ngelunjak. Mulai sekarang saya gak akan lagi sungkan sama dia.

“Sekarang ceritakan sama saya, apa yang terjadi semalam??”

Maulida memulai pertanyaan yang sama sekali tidak ingin saya jawab. Saya tidak mau mengingat sedetikpun kejadian tadi malam. Tapi saya butuh jawaban, dan mungkin maulida bisa membantu saya. Lagipula tidak ada yang menjamin, kejadian yang sama tidak akan terulang lagi malam ini

“Sayaaa saya melihat mahluk itu…. Saya melihat anak itu…….”

Maulida tidak menunjukkan sedikitpun ekspresi terkejut. Entah karena wajahnya tertutup, atau karena sebenarnya dia sudah tahu.

“Teruskan!”

Saya pun melanjutkan cerita saya panjang lebar, walaupun harus beberapa kali tersendat karena otak saya masih tidak mampu membuang semua trauma singkat itu.

“Semua persis seperti yang kamu katakan, sesuatu yang lebih buruk akan terjadi, dan itu sudah terjadi tadi malam pada saya”

Kata-kata saya barusan mengakhiri cerita saya yang panjang. Kali ini maulida mengubah posisi duduknya dan menundukkan kepalanya ke wajah saya.

“Kamu salah!!! Yang kamu alami tadi malam bukanlah apa yang saya takutkan”

Ucapan maulida itu membuat saya kaget setengah mati. 

“Maksudnya?????”

Maulida kembali mengubah posisi duduknya, kali ini dia menyandarkan bahunya di sandaran kursi, dia pun mulai berbicara.

“Saya sudah pernah memperingatkan untuk tidak melakukan hal bodoh. Tapi pacar kamu itu, hampir tiap malam dia memberikan anak-anak itu makan, sudah seperti ibunya sendiri. Dan kamu tahu apa akibat dari itu semua??? Ya! Anak-anak itu tidak akan melepaskan ibunya begitu saja, tidak saat mereka juga kehilangan sosok ayah. Dan kamu sudah memisahkan Ibu barunya dari mereka”

Saya mengerti maksud maulida, dugaan saya semalam benar. Kue itu untuk mereka berenam. Tidak, lebih tepatnya mereka bertujuh.

“Anak itu……… anak yang mengejar saya itu, anak yang bisa berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan itu….”

“Itu anak kandung Pak Jawi! Mungkin lebih tepatnya, Dulunya adalah anak kandung Alm Pak Jawi”

Jawab maulida tanpa menunggu pertanyaan saya selesai.

“Dulunya??? Maksud kamu??”

“Entahlah, tapi seorang manusia biasa tidak akan punya anak seperti itu. Kecuali mereka bersekutu dengan bangsa Jin. Dan siapapun yang melakukan hal tersebut, pasti akan menerima resiko yang setimpal, termasuk tidak akan bisa hidup tenang selamanya.”

Serius. Kata-kata maulida barusan memang menjelaskan siapa anak misterius tersebut, tapi bagaimanapun juga dia menjelaskannya dengan hal yang lebih tidak masuk akal. Anak pak jawi, anak kandung pak jawi, dulunya anak kandung pak jawi???? Saya jadi semakin bingung. Saya pun bertanya lagi…..

“Tunggu dulu!!!! Kalau memang anak itu… maksud saya, mahluk itu mengejar saya karena saya menyuruh dini pergi. Itu artinya dia tidak marah karena sumur itu diratakan warga???”

Maulida terdiam…….. kemudian dia turun dari kursinya, dan duduk bersimpuh dihadapan saya. Di lantai yang basah ini.

“Ya!! Siapapun akan marah jika orang asing mengambil rumah mereka, siapapun akan murka jika orang asing meruntuhkan hunian terakhir mereka, tapi kalau dengan ditutupnya sumur itu mereka masih diam dan tidak terjadi apa-apa di desa ini, itu artinya……….”

Saya menjawab dengan bibir yang bergetar

“Itu bukanlah rumah terakhir mereka??”

Mata maulida berkedip dan sedikit mengecil, seolah bibirnya sedang tersenyum di balik cadar itu. Dia mengambil sebuah tas hitam dan menumpahkan isinya di hadapan saya yang ternyata adalah

Seikat rumput kering, kuning dengan benang kusut yang juga berwarna kuning

“Aaaapa ini??? Rumput?? Ini rumput yang sama dengan yang digantung warga di pintu rumah mereka!!”

Ucap saya kaget.

“Ya!! Saya menghabiskan waktu semalaman untuk mencabut ini semua dari pintu rumah warga. Dan kamu tahu apa yang saya temukan?”

Saya tidak suka cara maulida bertanya, seakan-akan jawabannya adalah sesuatu yang sangat mengerikan, Sebuah kenyataan yang mungkin tidak sanggup saya terima. Tapi saya ingin tahu, saya pun bertanya

“Aaaa apaa???”

“Dari semua ruma di kompleks ini, hanya ada dua rumah yang tidak digantung rumput. Pertama rumah kamu, yang kedua adalah

RUMAH PAK EDI

Lagi??? Nama pak edi selalu muncul di bagian-bagian terburuk dalam percakapan saya akhir-akhir ini. Saya masih belum mengerti, jadi saya menahan diri untuk tidak berkomentar. Maulida pun melanjutkan ceritanya

“Pak Edi adalah orang yang mengusulkan agar warga menggantung rumput ini di pintu rumah mereka, dengan tujuan mencegah arwah pak jawi masuk. Warga percaya arwah pak jawi masih gentayangan dan mengganggu mereka. Karena itu mereka setuju menggantung rumput ini.”

“Dan, apakah itu berhasil???”

Tanya saya.

“Ya! Seperti yang kamu lihat, sudah lama tidak terjadi kejadian aneh di kampung ini. Itu artinya solusi pak edi berhasil. Tapi sebagai seorang pencetus ide, kenapa pak edi sendiri tidak menggantung rumput yang sama di rumahnya???”

Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak tahu. Siapa sebenarnya pak edi?? Apa sebenarnya yang dia mau??? Kenapa tindakannya kali ini seakan-akan................

DIA SENGAJA MEMANCING MAHLUK ITU KE RUMAHNYA

.::Cerita Selanjutnya::.