MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI CHAPTER 51, 52, 53, 54
Chapter 51
Januari 2015
06.45 WIB
SAKSI
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum”
Suara salam itu memecah ketegangan yang baru saja terjadi karena obrolan saya dan maulida. Di depan pintu, dua orang berbadan besar sedang berdiri. Yang satu gemuk dan tinggi sekali, jaket kulit hitam, rambut botak dan kumis yang tipis. Sedangkan yang satu lagi kurus, berambut ikal, berkulit hitam memakai kemeja bergaris, dan sedang jongkok mengetok pintu, karena memang pintunya sedang tergeletak di lantai. Saya pun menjawab salam, seraya mencoba bangkit. Maulida bersembunyi dibalik kursi tempatnya duduk tadi, yang memang bersebrangan dengan pintu di ruang tamu. Tidak satu pun rumput yang bercecer di lantai, entah sejak kapan maulida memungutnya.
“Waalaikumsalam”
Saya berdiri dengan sisa-sisa sakit di sekujur badan. Hanya saja, luka di tangan kiri, dada dan bahkan di bagian bawah saya tanpa saya sadari sudah di obati, bahkan sebagian sudah diperban. Mungkin ini kerjaan maulida selama saya pingsan, dia mengobati hampir setiap luka di tubuh sayah, termasuk selangkangan.
“Eh??”
Saya melihat maulida dengan wajah canggung bercampur malu, sementara dia melotot seakan memberi isyarat
“Udah jalan aja kampret!! Ngapain nengok kesini???”
Saya berjalan tertatih menuju pintu. Sesampainya di sana, ternyata ada dua orang warga lagi yang menunggu di halaman, dua orang itu yang saya temui semalam ketika melarikan diri dari mahluk itu. Orang berjaket hitam itu memulai percakapan
“Saudara Danil Ahmad???”
“Iya! Saya!”
“Anda bisa ikut kami sebentar??”
“Kemana? Ada apa?
Kini giliran Orang yang memakai kemeja garis itu berbicara
“Ada sesuatu yang kami ingin saudara lihat, sekaligus kami minta kesaksian saudara”
“Kesaksian apa??”
“Sebaiknya saudara ikut kami dulu, kita bisa diskusikan ini di sana”
Saya hanya mengangguk, saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi apapun itu, pasti ada sangkut pautnya dengan kejadian semalam. Dan dua orang ini pastilah anggota polisi. Saya pun mengambil jaket dan celana jeans saya yang mengggantung di tembok, saya tidak mau berpikir siapa yang membukanya.
Chapter 52
Januari 2015
06:30 WIB
ANCAMAN
Garis putih, digambar di tanah menyerupai tubuh manusia. Tepat dimana tadi malam seorang warga yang pulang dari rumah pak jawi itu terkapar. Ini bukan kali pertama ada korban jatuh, sebelumnya tiga orang warga juga menjadi korban terror anak pak jawi, dan anehnya korban kali ini pun ternyata masih hidup. Sangat tidak mungkin kalau lagi-lagi jamu pak jawi yang menyelamatkannya, karena maulida bilang Pak Jawi sudah meninggal. Atau mungkin maulida sendiri yang mengobatinya?
“Jadi bagaimana menurut Saudara?”
Polisi botak itu memulai interogasinya. Berbagai dugaan dia paparkan, mulai dari waktu kejadian, saksi mata, kondisi kesehatan korban, dan senjata yang dipakai pelaku. Entah kenapa ketika pembahasan mulai mengarah pada senjata, ada yang janggal dari pemaparan Pak polisi. Menurut hasi visum, satu-satunya luka di tubuh korban adalah luka benturan di kepala bagian belakang, selain itu hanyalah luka gores ringan karena tergesek permukaan pagar, hingga polisi pun mengambil kesimpulan bahwa korban yang diketahui bernama Trisno, entah karena suatu hal, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh, hingga kepalanya membentur pagar dan pingsan seketika. Ketika saya dimintai pendapat, tentu saja saya bingung setengah mati, karena…
Ini sangat berbeda dari yang saya lihat semalam
Atau mungkin, rasa takut saya yang menyebabkan saya berhalusinasi. Untuk memastikan saya masih waras atau tidak, saya pamit untuk melihat-lihat TKP, polisi pun mengijinkan dengan syarat ditemani oleh salah satu aparat. Saya berjalan ke tempat dimana saya mendorong mahluk itu ke pagar hingga ambruk, dan saya tidak bisa percaya apa yang saya lihat
“Pagar itu masih disitu! Tidak ada tanda-tanda patah, tidak ada tanda-tanda rusak. Bahkan tanah dimana saya sempat koprol dengan si hitam itu, rata seperti tidak ada kejadian apa-apa.
“Aaaaapaa apaan ini??? Apaakah saya hanya berhalusinasi?? Kalau iya! Sejak kapan??”
Entahlah, saya tidak bisa membedakan lagi mana yang nyata dan mana yang hayalan. Tapi saya harus tetap tenang, saya tidak boleh membiarkan orang lain melihat wajah cemas saya. Saya kembali pergi ke TKP. Sekarang disana sudah semakin ramai, pak kades dan beberapa orang penting pun datang. Bahkan saya melihat beberapa pria bersarung dan bersorban, seperti utusan dari pesantren. Tapi yang menarik perhatian saya bukanlah mereka, melainkan pria tinggi, berkulit hitam, memakai kemeja orange. Pria yang entah kenapa sekarang terlihat seperti tokoh antagonis, dari semua analisa, bukti, dan gerak-geriknya yang misterius itu, pantaslah kalau sekarang saya mulai menaruh curiga pada orang ini, ya pada Pak Edi.
“Lhoooo sampean ada disini dek??”
Sapa pak edi yang kemudian menghampiri saya. Polisi botak itu sepertinya masih ingin menanyakan alasan saya berlari ketakutan semalam, tentu saja karena ada empat warga yang melihat saya. Tapi lagi-lagi pak edi yang tidak dimintai komentarnya tiba-tiba ikut nimbrung
“Mungkin Dek Danil ini sudah melihat sesuatu yang belakangan ini menghantui warga”
“Oh ya? Apa itu Pak edi?”
Polisi itu bertanya. Pak Edi pun menjawab dengan mantap
“Arwah gentayangan Pak Jawi”
BAJ*NGAN!! Orang ini masih saja menyalahkan Pak Jawi. Entah kenapa setelah maulida bilang bahwa pak jawi yang mengobati Pak muhadi dan kawan-kawan, saya semakin mantap bahwa beliau itu orang baik. Tapi kenapa orang ini kelihatan benci sekali dengan pak jawi? Saya harus tahu jawabannya! Saya harus tahu siapa sebenarnya musuh warga! Saya harus tahu apakah yang saya lihat tadi malam nyata, atau hanya hayalan. Dan untuk bisa mendapatkan jawaban dari itu semua, saya harus mengorek rahasia pak edi, apapun caranya.
“Benar pak! Saya lari terbirit-birit gara-gara melihat sosok laki-laki tua, bungkuk, memakai pakaian serba putih, terbang di atas pohon”
Ucap saya membenarkan omongan Pak edi. Sambil menggerutu, polisi itu pun berkomentar
“Kalau semua polisi percaya hantu, pastilah penjara isinya hantu semua, alias kosong”
Kali ini polisi yang memakai kemeja bergaris angkat bicara.
“Luka di tangan kamu, leher, dan kaki, itu gara-gara apa coba??”
Pertanyaan Pak polisi itu menyadarkan saya akan sesuatu. Saya pun melihat bekas luka di tangan kiri saya, bekas luka yang diperban ini, rasa ngilu yang masih terasa ini, ini semua Nyata!!! Itu artinya semalam saya tidak sedang menghayal mahluk itu benar-benar ada. Lantas kenapa keadaan TKP ini sangat berbeda???? Atau jangan-jangan…….
Saya melihat ke arah pak edi, yang ternyata dia juga sedang melihat saya. Entah apapun maksud dari tatapannya itu, yang bisa saya rasakan hanyalah ANCAMAN
Chapter 53
Januari 2015
07:30
FOTO KELUARGA
Rumah pak Edi. Setelah beliau membantu saya mencari alasan penyebab luka ini, yang katanya adalah “Luka karena maen basket” beliau pun mengajak saya ke rumahnya. Karena tidak ada lagi yang polisi mau dari saya, setelah beberapa pertanyaan mereka pun mengijinkan. Dan disinilah saya sekarang, Rumah yang pernah beberapa kali saya datangi dengan berbagai alasan yang berbeda. Mulai dari laporan kepindahan, sampai kunjugan saya dan sugik waktu itu.
Rumah pak edi kecil, hampir tidak memiliki halaman. Di depan rumahnya hanya ada tanaman bonsai berjejer, dan burung pak edi yang di gantung Ehm! Maksud saya, love bird. Pagar rumahnya terbuat dari beton yang di cat merah, sama dengan cat rumahnya. Di samping kiri rumahnya ada kerupuk yang dijemur diatas sebuah…… entahlah seperti tempat duduk yang terbuat dari semen, tapi berbentuk melingkar dan cukup untuk ditiduri dua orang.
Setelah mempersilahkan duduk, pak edi pun memulai ceramahnya
“Saya tidak tahu itu luka karena apa? Saya juga tidak tahu kamu dikejar apa? Yang saya tahu, kampung ini sudah aman sejak Pak Jawi meninggal, dan apapun yang kamu lihat tadi malam itu bisa meresahkan warga kalau sampai mereka dengar”
Itulah logika pak edi, setidaknya itulah yang beliau ingin saya percaya. Tapi menutupi kenyataan yang mengerikan, dengan kebohongan yang mengerikan, hasilnya pastilah mengerikan. Ketika saya dan warga merasa tidak tahu apa-apa, entah kenapa pak edi terlihat seperti tahu segalanya.
Tiba-tiba seorang wanita keluar dari pintu yang mungkin adalah pintu dapur, membawa nampan, kemudian meletakkan dua cangkir kopi, dan beberapa kue kering di meja.
“Nyara, dhe’er lek. Gule tak andik jejen” (Monggo dimakan nak, maaf kami gak punya kue)
Saya tersenyum dan berterimakasih
“Ampon jek pot repot buk, anika pon sae. Sakalangkong” (Sudah gak usah repot-repot buk, ini aja cukup, makasih)
Ibu itu pun tersenyum dan kembali masuk, hanya saja kali ini beliau lupa menutup pintu. Pak Edi pun kembali dengan ceramahnya. Kali ini beliau menasehati saya agar tidak terlalu terobsesi dengan hal-hal ghaib dan bla bla bla. Saya biarkan dia berbicara kesana kemari, sementara saya juga melayangkan pandangan saya kesana dan kemari. Sampai akhirnya saya melihat sebuah foto keluarga, Pak Edi, Istrinya yang barusan, dan seorang anak perempuan yang memakai seragam SD. Pastilah itu foto keluarga yang sudah sangat lama, karena Pak Edi dan Buk Edi pun terlihat masih muda. Tapi anaknya?? Kok saya gak pernah lihat anaknya ya??
“Dek??? Denger gak??”
“Eh oh iya pak, iya, saya bakal lebih hati-hati lagi kedepannya”
Akhirnya percakapan pun ngelantur ke arah politik, dampak minimarket, dan lain-lain. Sampai akhirnya saya pun permisi pulang.
Entah berapa lama saya menghabiskan waktu ngobrol dengan orang tua, yang topiknya sudah pasti boring. Saya yang tadinya berniat mengorek informasi dari pak edi, ternyata gagal total. Orang itu hanya berhenti bicara ketika menghisap rokoknya saja, sambil tangannya sibuk milin tembakau dan kertas rokok.
Di jalan, anak-anak madrasah sudah pada pulang, karena ini sudah jam 10 lewat. Mereka asyik bermain bola, meskipun bola yang digunakan kelihatan terlalu berat untuk mereka. Saya memasang sandal dan berpamita untuk yang terakhir kali pada pak edi dan bu edi. Tapi tiba-tiba
BLUSSSH!
Bola kulit milik anak-anak itu nyasar dan jatuh tepat di atas jemuran kerupuk pak edi. Kerupuk itupun amblas seketika
AMBLAS???
Bukan hanya kerupuknya, bolanya juga hilang. Anak-anak itu segera berlarian menuju tempat bolanya jatuh, di atas kerupuk pak edi yang ternyata dijemur di atas sebuah sumur. Bangunan bata dan semen yang dibentuk melingkar itu ternyata adalah sumur, yang sengaja atau tidak, ditutupi oleh jemuran kerupuk. Dan ketika bola itu jatuh tepat diatasnya, lubangnya pun keliatan.
Pak edi kelihatan marah sekali! Anak-anak itu pun berlarian karena takut. Sementara saya, saya pura-pura tidak peduli, dan melanjutkan langkah saya untuk pulang.
Chapter 54
Januari 2015
21.30
PULANG
Saya masih di tempat tidur, telanjang dada di bawah selimut. Dengan tubuh yang berkeringat, dan nafas yang ngos-ngosan, bukan karena habis berolah raga, tapi karena apa yang saya lihat di mimpi saya. Saya melihat mereka berenam, anak-anak pak jawi, di tengah sebuah padang rumput, menahan sakit, dan meminta pertolongan. Ini pertama kalinya saya memimpikan mereka, saya senang.
Bagi saya, Mimpi buruk adalah petualangan. Saya suka sensasi bangun dengan keringat dingin, tubuh gemetar dan wajah ketakutan. Ada rasa syukur di balik semua mimpi buruk, sementara ada kecewa dibalik semua mimpi indah. Semuanya karena alasan yang sama "hanya mimpi".
Tapi ada alasan kenapa saya tidak segera bangkit dari tempat tidur. Alasannya adalah Karena sekarang di jendela kamar saya, jendela kamar yang lupa saya tutup kelambunya itu. Seseorang tengah memandang saya, melotot, menempelkan kedua telapak tangannya ke kaca, dan menekan wajahnya. Nafas yang keluar dari hidungnya membuat kaca itu sekilas Nampak basah.
Saya terkejut. Bukan karena orang itu, tapi karena saya tidak merasa takut. Mungkin pengalaman saya kemarin malam jauh lebih mengerikan daripada malam ini. Itulah yang ada dipikiran saya, sebelum akhirnya, di jendela yang satunya juga muncul sebuah wajah, tapi kali ini hanya separuh yang tampak. Orang itu juga menekan wajahnya ke jendela, dan menggaruk-garuk kaca dengan kukunya.
Saya tahu siapa mereka! Jarak jendela kamar saya, ke lantai itu lumayan tinggi. Pemilik wajah yang pertama ini adalah si tinggi, sedangkan yang selanjutnya adalah si juling. Tidak ada yang tidak bisa mengenali matanya yang khas itu.
Kali ini dengan suara yang tidak lagi gemetar seperti biasanya, saya menghardik mereka berdua
“Mau apa kalian?”
Secara serempak, mereka menggerakkan bibirnya, berbisik mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba
TOK! TOK! TOK!
Suara pintu diketok itu, mengalihkan pandangan saya dari jendela. Dan saat saya menoleh kembali, mereka sudah tidak ada.
“Apa maksud mereka mendatangi saya??”
Tidak mau membuat orang di balik pintu itu menunggu, saya pun bergegas menuju ruang tamu. Saya tahu siapa yang datang, pasti Maulida. Ini kesempatan bagus, karena ada yang harus saya diskusikan dengan dia. Tapi setelah saya buka pintu, ternyata sosok tinggi besar, kekar, dengan rambut putihnya tersenyum
“Assalamualaikoooooooooooooooooooooom”
Ya! Bapak saya pulang, bahkan cara dia mengucapkan salam pun bikin saya illfeel.
“Waalaikumsalam”
Bapak pun masuk ke rumah, tapi kali ini tidak sendirian. Seseorang datang bersama bapak. Orang yang sudah sepuh, yang berjalan saya harus menggunakan tongkat. Dan saat bapak menghidupkan lampu ruang tamu, tampaklah wajah orang tua ini. Wajahnya seperti tidak asing bagi saya.
“Mari-mari pak, silahkan duduk”
Bapak saya mempersilahkan orang tua itu duduk, saya pun bersalaman mencium tangannya. Sembari masih berpikir, siapa orang ini??? Dan sepertinya…
SAYA PERNAH BERTEMU DENGAN DIA SEBELUMNYA
Januari 2015
06.45 WIB
SAKSI
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum”
Suara salam itu memecah ketegangan yang baru saja terjadi karena obrolan saya dan maulida. Di depan pintu, dua orang berbadan besar sedang berdiri. Yang satu gemuk dan tinggi sekali, jaket kulit hitam, rambut botak dan kumis yang tipis. Sedangkan yang satu lagi kurus, berambut ikal, berkulit hitam memakai kemeja bergaris, dan sedang jongkok mengetok pintu, karena memang pintunya sedang tergeletak di lantai. Saya pun menjawab salam, seraya mencoba bangkit. Maulida bersembunyi dibalik kursi tempatnya duduk tadi, yang memang bersebrangan dengan pintu di ruang tamu. Tidak satu pun rumput yang bercecer di lantai, entah sejak kapan maulida memungutnya.
“Waalaikumsalam”
Saya berdiri dengan sisa-sisa sakit di sekujur badan. Hanya saja, luka di tangan kiri, dada dan bahkan di bagian bawah saya tanpa saya sadari sudah di obati, bahkan sebagian sudah diperban. Mungkin ini kerjaan maulida selama saya pingsan, dia mengobati hampir setiap luka di tubuh sayah, termasuk selangkangan.
“Eh??”
Saya melihat maulida dengan wajah canggung bercampur malu, sementara dia melotot seakan memberi isyarat
“Udah jalan aja kampret!! Ngapain nengok kesini???”
Saya berjalan tertatih menuju pintu. Sesampainya di sana, ternyata ada dua orang warga lagi yang menunggu di halaman, dua orang itu yang saya temui semalam ketika melarikan diri dari mahluk itu. Orang berjaket hitam itu memulai percakapan
“Saudara Danil Ahmad???”
“Iya! Saya!”
“Anda bisa ikut kami sebentar??”
“Kemana? Ada apa?
Kini giliran Orang yang memakai kemeja garis itu berbicara
“Ada sesuatu yang kami ingin saudara lihat, sekaligus kami minta kesaksian saudara”
“Kesaksian apa??”
“Sebaiknya saudara ikut kami dulu, kita bisa diskusikan ini di sana”
Saya hanya mengangguk, saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi apapun itu, pasti ada sangkut pautnya dengan kejadian semalam. Dan dua orang ini pastilah anggota polisi. Saya pun mengambil jaket dan celana jeans saya yang mengggantung di tembok, saya tidak mau berpikir siapa yang membukanya.
Chapter 52
Januari 2015
06:30 WIB
ANCAMAN
Garis putih, digambar di tanah menyerupai tubuh manusia. Tepat dimana tadi malam seorang warga yang pulang dari rumah pak jawi itu terkapar. Ini bukan kali pertama ada korban jatuh, sebelumnya tiga orang warga juga menjadi korban terror anak pak jawi, dan anehnya korban kali ini pun ternyata masih hidup. Sangat tidak mungkin kalau lagi-lagi jamu pak jawi yang menyelamatkannya, karena maulida bilang Pak Jawi sudah meninggal. Atau mungkin maulida sendiri yang mengobatinya?
“Jadi bagaimana menurut Saudara?”
Polisi botak itu memulai interogasinya. Berbagai dugaan dia paparkan, mulai dari waktu kejadian, saksi mata, kondisi kesehatan korban, dan senjata yang dipakai pelaku. Entah kenapa ketika pembahasan mulai mengarah pada senjata, ada yang janggal dari pemaparan Pak polisi. Menurut hasi visum, satu-satunya luka di tubuh korban adalah luka benturan di kepala bagian belakang, selain itu hanyalah luka gores ringan karena tergesek permukaan pagar, hingga polisi pun mengambil kesimpulan bahwa korban yang diketahui bernama Trisno, entah karena suatu hal, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh, hingga kepalanya membentur pagar dan pingsan seketika. Ketika saya dimintai pendapat, tentu saja saya bingung setengah mati, karena…
Ini sangat berbeda dari yang saya lihat semalam
Atau mungkin, rasa takut saya yang menyebabkan saya berhalusinasi. Untuk memastikan saya masih waras atau tidak, saya pamit untuk melihat-lihat TKP, polisi pun mengijinkan dengan syarat ditemani oleh salah satu aparat. Saya berjalan ke tempat dimana saya mendorong mahluk itu ke pagar hingga ambruk, dan saya tidak bisa percaya apa yang saya lihat
“Pagar itu masih disitu! Tidak ada tanda-tanda patah, tidak ada tanda-tanda rusak. Bahkan tanah dimana saya sempat koprol dengan si hitam itu, rata seperti tidak ada kejadian apa-apa.
“Aaaaapaa apaan ini??? Apaakah saya hanya berhalusinasi?? Kalau iya! Sejak kapan??”
Entahlah, saya tidak bisa membedakan lagi mana yang nyata dan mana yang hayalan. Tapi saya harus tetap tenang, saya tidak boleh membiarkan orang lain melihat wajah cemas saya. Saya kembali pergi ke TKP. Sekarang disana sudah semakin ramai, pak kades dan beberapa orang penting pun datang. Bahkan saya melihat beberapa pria bersarung dan bersorban, seperti utusan dari pesantren. Tapi yang menarik perhatian saya bukanlah mereka, melainkan pria tinggi, berkulit hitam, memakai kemeja orange. Pria yang entah kenapa sekarang terlihat seperti tokoh antagonis, dari semua analisa, bukti, dan gerak-geriknya yang misterius itu, pantaslah kalau sekarang saya mulai menaruh curiga pada orang ini, ya pada Pak Edi.
“Lhoooo sampean ada disini dek??”
Sapa pak edi yang kemudian menghampiri saya. Polisi botak itu sepertinya masih ingin menanyakan alasan saya berlari ketakutan semalam, tentu saja karena ada empat warga yang melihat saya. Tapi lagi-lagi pak edi yang tidak dimintai komentarnya tiba-tiba ikut nimbrung
“Mungkin Dek Danil ini sudah melihat sesuatu yang belakangan ini menghantui warga”
“Oh ya? Apa itu Pak edi?”
Polisi itu bertanya. Pak Edi pun menjawab dengan mantap
“Arwah gentayangan Pak Jawi”
BAJ*NGAN!! Orang ini masih saja menyalahkan Pak Jawi. Entah kenapa setelah maulida bilang bahwa pak jawi yang mengobati Pak muhadi dan kawan-kawan, saya semakin mantap bahwa beliau itu orang baik. Tapi kenapa orang ini kelihatan benci sekali dengan pak jawi? Saya harus tahu jawabannya! Saya harus tahu siapa sebenarnya musuh warga! Saya harus tahu apakah yang saya lihat tadi malam nyata, atau hanya hayalan. Dan untuk bisa mendapatkan jawaban dari itu semua, saya harus mengorek rahasia pak edi, apapun caranya.
“Benar pak! Saya lari terbirit-birit gara-gara melihat sosok laki-laki tua, bungkuk, memakai pakaian serba putih, terbang di atas pohon”
Ucap saya membenarkan omongan Pak edi. Sambil menggerutu, polisi itu pun berkomentar
“Kalau semua polisi percaya hantu, pastilah penjara isinya hantu semua, alias kosong”
Kali ini polisi yang memakai kemeja bergaris angkat bicara.
“Luka di tangan kamu, leher, dan kaki, itu gara-gara apa coba??”
Pertanyaan Pak polisi itu menyadarkan saya akan sesuatu. Saya pun melihat bekas luka di tangan kiri saya, bekas luka yang diperban ini, rasa ngilu yang masih terasa ini, ini semua Nyata!!! Itu artinya semalam saya tidak sedang menghayal mahluk itu benar-benar ada. Lantas kenapa keadaan TKP ini sangat berbeda???? Atau jangan-jangan…….
Saya melihat ke arah pak edi, yang ternyata dia juga sedang melihat saya. Entah apapun maksud dari tatapannya itu, yang bisa saya rasakan hanyalah ANCAMAN
Chapter 53
Januari 2015
07:30
FOTO KELUARGA
Rumah pak Edi. Setelah beliau membantu saya mencari alasan penyebab luka ini, yang katanya adalah “Luka karena maen basket” beliau pun mengajak saya ke rumahnya. Karena tidak ada lagi yang polisi mau dari saya, setelah beberapa pertanyaan mereka pun mengijinkan. Dan disinilah saya sekarang, Rumah yang pernah beberapa kali saya datangi dengan berbagai alasan yang berbeda. Mulai dari laporan kepindahan, sampai kunjugan saya dan sugik waktu itu.
Rumah pak edi kecil, hampir tidak memiliki halaman. Di depan rumahnya hanya ada tanaman bonsai berjejer, dan burung pak edi yang di gantung Ehm! Maksud saya, love bird. Pagar rumahnya terbuat dari beton yang di cat merah, sama dengan cat rumahnya. Di samping kiri rumahnya ada kerupuk yang dijemur diatas sebuah…… entahlah seperti tempat duduk yang terbuat dari semen, tapi berbentuk melingkar dan cukup untuk ditiduri dua orang.
Setelah mempersilahkan duduk, pak edi pun memulai ceramahnya
“Saya tidak tahu itu luka karena apa? Saya juga tidak tahu kamu dikejar apa? Yang saya tahu, kampung ini sudah aman sejak Pak Jawi meninggal, dan apapun yang kamu lihat tadi malam itu bisa meresahkan warga kalau sampai mereka dengar”
Itulah logika pak edi, setidaknya itulah yang beliau ingin saya percaya. Tapi menutupi kenyataan yang mengerikan, dengan kebohongan yang mengerikan, hasilnya pastilah mengerikan. Ketika saya dan warga merasa tidak tahu apa-apa, entah kenapa pak edi terlihat seperti tahu segalanya.
Tiba-tiba seorang wanita keluar dari pintu yang mungkin adalah pintu dapur, membawa nampan, kemudian meletakkan dua cangkir kopi, dan beberapa kue kering di meja.
“Nyara, dhe’er lek. Gule tak andik jejen” (Monggo dimakan nak, maaf kami gak punya kue)
Saya tersenyum dan berterimakasih
“Ampon jek pot repot buk, anika pon sae. Sakalangkong” (Sudah gak usah repot-repot buk, ini aja cukup, makasih)
Ibu itu pun tersenyum dan kembali masuk, hanya saja kali ini beliau lupa menutup pintu. Pak Edi pun kembali dengan ceramahnya. Kali ini beliau menasehati saya agar tidak terlalu terobsesi dengan hal-hal ghaib dan bla bla bla. Saya biarkan dia berbicara kesana kemari, sementara saya juga melayangkan pandangan saya kesana dan kemari. Sampai akhirnya saya melihat sebuah foto keluarga, Pak Edi, Istrinya yang barusan, dan seorang anak perempuan yang memakai seragam SD. Pastilah itu foto keluarga yang sudah sangat lama, karena Pak Edi dan Buk Edi pun terlihat masih muda. Tapi anaknya?? Kok saya gak pernah lihat anaknya ya??
“Dek??? Denger gak??”
“Eh oh iya pak, iya, saya bakal lebih hati-hati lagi kedepannya”
Akhirnya percakapan pun ngelantur ke arah politik, dampak minimarket, dan lain-lain. Sampai akhirnya saya pun permisi pulang.
Entah berapa lama saya menghabiskan waktu ngobrol dengan orang tua, yang topiknya sudah pasti boring. Saya yang tadinya berniat mengorek informasi dari pak edi, ternyata gagal total. Orang itu hanya berhenti bicara ketika menghisap rokoknya saja, sambil tangannya sibuk milin tembakau dan kertas rokok.
Di jalan, anak-anak madrasah sudah pada pulang, karena ini sudah jam 10 lewat. Mereka asyik bermain bola, meskipun bola yang digunakan kelihatan terlalu berat untuk mereka. Saya memasang sandal dan berpamita untuk yang terakhir kali pada pak edi dan bu edi. Tapi tiba-tiba
BLUSSSH!
Bola kulit milik anak-anak itu nyasar dan jatuh tepat di atas jemuran kerupuk pak edi. Kerupuk itupun amblas seketika
AMBLAS???
Bukan hanya kerupuknya, bolanya juga hilang. Anak-anak itu segera berlarian menuju tempat bolanya jatuh, di atas kerupuk pak edi yang ternyata dijemur di atas sebuah sumur. Bangunan bata dan semen yang dibentuk melingkar itu ternyata adalah sumur, yang sengaja atau tidak, ditutupi oleh jemuran kerupuk. Dan ketika bola itu jatuh tepat diatasnya, lubangnya pun keliatan.
Pak edi kelihatan marah sekali! Anak-anak itu pun berlarian karena takut. Sementara saya, saya pura-pura tidak peduli, dan melanjutkan langkah saya untuk pulang.
Chapter 54
Januari 2015
21.30
PULANG
Saya masih di tempat tidur, telanjang dada di bawah selimut. Dengan tubuh yang berkeringat, dan nafas yang ngos-ngosan, bukan karena habis berolah raga, tapi karena apa yang saya lihat di mimpi saya. Saya melihat mereka berenam, anak-anak pak jawi, di tengah sebuah padang rumput, menahan sakit, dan meminta pertolongan. Ini pertama kalinya saya memimpikan mereka, saya senang.
Bagi saya, Mimpi buruk adalah petualangan. Saya suka sensasi bangun dengan keringat dingin, tubuh gemetar dan wajah ketakutan. Ada rasa syukur di balik semua mimpi buruk, sementara ada kecewa dibalik semua mimpi indah. Semuanya karena alasan yang sama "hanya mimpi".
Tapi ada alasan kenapa saya tidak segera bangkit dari tempat tidur. Alasannya adalah Karena sekarang di jendela kamar saya, jendela kamar yang lupa saya tutup kelambunya itu. Seseorang tengah memandang saya, melotot, menempelkan kedua telapak tangannya ke kaca, dan menekan wajahnya. Nafas yang keluar dari hidungnya membuat kaca itu sekilas Nampak basah.
Saya terkejut. Bukan karena orang itu, tapi karena saya tidak merasa takut. Mungkin pengalaman saya kemarin malam jauh lebih mengerikan daripada malam ini. Itulah yang ada dipikiran saya, sebelum akhirnya, di jendela yang satunya juga muncul sebuah wajah, tapi kali ini hanya separuh yang tampak. Orang itu juga menekan wajahnya ke jendela, dan menggaruk-garuk kaca dengan kukunya.
Saya tahu siapa mereka! Jarak jendela kamar saya, ke lantai itu lumayan tinggi. Pemilik wajah yang pertama ini adalah si tinggi, sedangkan yang selanjutnya adalah si juling. Tidak ada yang tidak bisa mengenali matanya yang khas itu.
Kali ini dengan suara yang tidak lagi gemetar seperti biasanya, saya menghardik mereka berdua
“Mau apa kalian?”
Secara serempak, mereka menggerakkan bibirnya, berbisik mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba
TOK! TOK! TOK!
Suara pintu diketok itu, mengalihkan pandangan saya dari jendela. Dan saat saya menoleh kembali, mereka sudah tidak ada.
“Apa maksud mereka mendatangi saya??”
Tidak mau membuat orang di balik pintu itu menunggu, saya pun bergegas menuju ruang tamu. Saya tahu siapa yang datang, pasti Maulida. Ini kesempatan bagus, karena ada yang harus saya diskusikan dengan dia. Tapi setelah saya buka pintu, ternyata sosok tinggi besar, kekar, dengan rambut putihnya tersenyum
“Assalamualaikoooooooooooooooooooooom”
Ya! Bapak saya pulang, bahkan cara dia mengucapkan salam pun bikin saya illfeel.
“Waalaikumsalam”
Bapak pun masuk ke rumah, tapi kali ini tidak sendirian. Seseorang datang bersama bapak. Orang yang sudah sepuh, yang berjalan saya harus menggunakan tongkat. Dan saat bapak menghidupkan lampu ruang tamu, tampaklah wajah orang tua ini. Wajahnya seperti tidak asing bagi saya.
“Mari-mari pak, silahkan duduk”
Bapak saya mempersilahkan orang tua itu duduk, saya pun bersalaman mencium tangannya. Sembari masih berpikir, siapa orang ini??? Dan sepertinya…
SAYA PERNAH BERTEMU DENGAN DIA SEBELUMNYA