Chapter 55
Januari 2015
21:40
ADIK
Kopi pahit tanpa gula. Selera kakek tua itu sama persis dengan saya, buat saya kopi susu hanya untuk anak kecil. Tapi gara-gara kakek tua ini, saya malah ngerasa kalau kopi pahit hanya untuk orang tua. Saya kangen sama Ibu, kangen masakan beliau. Minggu-minggu ini saya jarang makan, karena entah kenapa saya trauma dengan nasi bungkus. Belum lagi pekerjaan rumah yang menumpuk, terutama tadi sore. Saya harus ngepel dan ngerapiin ruang tamu, terus bayar tukang buat perbaiki pintu.
Setelah menyuguhkan kopi untuk bapak dan tamunya, saya pun ikut nimbrung di ruang tamu. Banyak yang ingin saya bicarakan sama bapak, tapi sepertinya bapak masih asyik ngobrol dengan tamunya itu. Sampai akhirnya….
“Oh ya! Ini anak saya yang paling tua, sudah hampir sarjana tapi belum punya pacar, huahahahahaha”
“Hahahaha, saya masih ingat waktu saya muda dulu, saya sempet naksir sama anak kepala suku. Dan demi dia, saya rela ninggalin tiga pacar saya huhahahahahaha”
Saya sangat kesal, tapi saya hanya bisa ikut tertawa. Hanya saja tertawa saya lebih keras dari mereka
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA LUCU!!!!”
Mereka pun diam, entah karena merasa tidak enak, atau memang tertawa saya membuat mereka kaget. Bapak mencoba mencairkan suasana dengan memperkenalkan kakek itu
Oh yaa nil, kenalkan ini bapak Arman Azikin. Beliau Adik kandung dari Pak Ahsan Azikin, coba liat mirip kan???
Arman Azikin?? Ahsan Azikin??? Siapa yang bapak maksud itu? Kenapa bapak bicara seolah-olah saya kenal dengan keluarga Azikin ini. Mirip? Memang sepintas kakek ini mirip seseorang, tapi siapa???
Aaaah aduuh bapak lupa, maksud bapak Pak Arman ini adik kandung dari “Pak Jawi”
Saya kaget bukan main. Pantas saja orang ini terasa familiar, beliau memang sepintas mirip pak jawi. Hanya saja, jenggot dan kumisnya sudah memutih. Saya hampir tidak percaya kalau beliau adalah adiknya, karena siapapun yang melihat pasti merasa Pak Arman lebih tua dari Pak Jawi. Dan lagi, ini pertama kalinya saya mendengar nama asli Pak Jawi. Pak Arman pun tersenyum melihat saya kaget
“Huhhuhuhuh Pak Jawi??? Yaaa yaaa nama yang pantas buat abang saya. Hanya saja saya tidak menyangka Almarhum menggunakan nama itu disini. Padahal di kampung saya, nama itu adalah sebuah penghinaan terhadap Almarhum”
Speechless. Melihat pak arman seperti melihat pak jawi hidup kembali. Tapi saya masih tidak tahu maksud kedatangannya kesini. Mungkin Pak Arman adalah orang yang dimaksud maulida. Orang yang rela bapak jemput jauh-jauh kesini. Dan apapun alasannya, pastilah pak arman punya urusan yang sangat penting, dan pasti itu menyangkut pak jawi.
Perjalanan jauh dengan kapal laut ke sini, pasti sangat melelahkan bagi beliau. Tapi beliau masih saja segar bugar seperti tidak ada rasa letih sedikitpun. Saya masih tidak berani bertanya apapun, lebih tepatnya saya tidak tahu apa yang harus saya tanyakan. Beliau masih ngobrol membicarakan perjalanannya barusan, tentang macet, tentang kecelakaan, tentang ombak besar dan lain-lain, sampai akhirnya bapak menyarankan untuk istirahat. Pak arman beranjak dari tempat dia duduk, saya membantu membawakan tas dan jubah hijau yang beliau kenakan. Kami mempersilahkan Pak arman istirahat di kamar Avin. Beliau kelihatan senang sekali, entah karena apa. Tapi yang jelas, beliau tersenyum melihat banyak foto personil JKT48 di kamar Avin.
Saya pun kembali ke kamar. Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya hari ini. Tentang keadaan TKP, tentang sumur di rumah Pak Edi, tentang Pak Arman dan maksud kedatangannya, dan…….. saya teringat anak-anak pak jawi yang saya lihat di jendela barusan. Untuk memastikan saya tidak menghayal, saya naik ke atas kasur, saya buka jendela kamar dan melihat ke bawah. Tidak ada tanda-tanda orang berdiri disitu. Tapi saat saya menutup jendela lagi, saya bisa melihat dengan jelas. Bekas wajah dan tangan mereka di jendela yang berembun karena dinginnya malam. Saya semakin mempertanyakan, kesehatan otak saya.
”Apakah saya masih waras?? Atau semua kejadian ini sudah membuat saya Gila”
Tiba-tiba handphone saya berdering, telepon dari Dini. Saya segera menutup kelambu, dan meraih handphone. Sejenak saya terdiam, apakah ini waktu yang tepat untuk ngobrol?? Berhubung kopi hitam barusan menghilangkan kantuk saya, nafsu saya untuk tidur pun hilang, akhirnya saya terima telepon dari Dini
“Assalamualaikum mas daaaaniiiiiill”
Chapter 56
Januari 2015
08.00 WIB
LINGKARAN HITAM
Suasana kampus hari ini sepi. Hanya beberapa kelas yang terlihat sedang aktif perkuliahan, termasuk kelas saya. Beberapa mahasiswi kepergok sedang melihat saya diam-diam, mungkin karena saya kuliah dengan badan penuh luka. Sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi di kelas saya adalah alumni santri, jadi banyak dari mereka berasal dari luar provinsi bahkan dari luar pulau, termasuk cewe yang sedang menghampiri saya ini.
“Devi Irawati” cantik, tinggi dan cerdas. Meskipun kami kuliah di jurusan yang sama, tapi kami berbeda konsentrasi. Saya Multimedia, dan dia Programming, jadi wajar kalau jarang ketemu apalagi ngobrol. Tapi entah kenapa hari ini dia mendatangi tempat duduk saya.
“Kak Danil, itu leher sama tangannya kenapa??”
Tanya Devi. Saya pun mencari alasan yang tepat, dan tentu saja alasan yang bohong tapi masuk akal. Tidak bisa saya bayangkan, kalau saya harus menceritakan kejadian sebenarnya sama orang yang tidak tahu apa-apa ini.
“Ummmmm ini saya jatuh soalnya habis maen basket”
Jawab saya sambil melambai-lambaikan tangan kiri saya. Devi menunjuk leher dan dagu saya.
“Terus kalau itu????”
Saya cepat-cepat memutar otak mencari alasan yang masuk akal. Karena tidak mungkin leher ini luka karena bermain basket. “Dicekik pelatih”????? ah tidak mungkin saya memberi alasan bodoh seperti itu. Mungkin karena melihat saya bingung, devi pun tidak melanjutkan pertanyaannya.
“Oh ya kak, laptop kakak ada filmnya gak??? Aku boring nih, biasanya kalau mahasiswa MM banyak film atau video lucunya, copyin donk”
Pinta devi sambil menyodorkan flashdisk. Saya mengiyakan permintaannya dan mencari beberapa film yang mungkin cocok untuk selera cewe, tapi sayangnya di laptop saya tidak ada film seperti itu. Saya pun hanya mengirimkan film berjudul “Human Centipede, The Exorcist, Insidious, The Godfather, Wrong Turn, The Descent, dan Texas Chainsaw Masacre”. Muncul pikiran iseng di benak saya, gimana kagetnya dia nanti karena beberapa film yang saya kirim bergenre Gore. Usai mengopy film tersebut, devi pun berterimakasih dan pamit pergi. Tapi sebelum pergi dia berkata
“Kakak hati-hati ya, soalnya kalau di desa saya, lingkaran hitam yang hanya di sebelah mata itu pertanda buruk”
Dia pun pergi meninggalkan saya yang langsung mencari cermin. Karena tidak ada, saya pun mengaktifkan Webcam di laptop saya, dan benar. Ada lingkaran mata hitam yang jelas sekali, tapi hanya di mata sebelah kiri saya. Saya hanya berharap omongan devi itu tidak jadi kenyataan, karena ini bukan kampung dia.
Chapter 57
Januari 2015
21:00 WIB
DISKUSI TERAKHIR
Seperti biasa setiap pulang kuliah, saya selalu mampir ke Distro milik Adi. Dan beruntungnya saya, karena teman-teman saya ada disana semua. Mereka kaget melihat keadaan saya, saya pun menceritakan kejadian yang saya alami beberapa hari ini. Hanya pada mereka bertiga saya bisa terbuka. Dan baru kali ini saya melihat mereka bertiga benar-benar ketakutan. Selama ini hanya saya dan erik yang menyaksikan orang lain terluka di depan mata kami karena anak pak jawi. Tapi kali ini mereka bisa melihat dengan jelas luka di badan saya, yang saya ceritakan berasal dari anak ketujuh, anak kandung pak jawi.
Uci yang biasanya langsung tanggap pun terlihat kebingungan. Dia masih saja belum bisa menemukan titik terang dari motif pak edi yang seakan-akan menutupi setiap kejadian yang disebabkan oleh anak pak jawi. Tidak hanya itu, alasan pak edi selalu menyalahkan arwah pak jawi pun sangat tidak masuk akal. Walaupun dalih pak edi adalah ketenangan warga, bukankah dengan isu arwah gentayangan warga jadi semakin tidak tenang. Dan lagi-lagi otak cerdasnya menghasilkan pemikiran baru.
“Sob, kamu masih ingat dengan tiga orang yang diserang keenam anak pak jawi itu???”
Tanya Uci pada saya. Saya dan erik pun mengangguk.
“Apakah kamu melihat kehadiran anak ketujuh??”
Saya dan erik pun geleng-geleng.
“Terus saat kamu di serang oleh mahluk itu, apakah kamu juga melihat keenam anak pak jawi??”
Saya dan erik pun geleng-geleng. Saya gak tahu kenapa dari tadi erik ikut geleng-geleng, jadi saya jewer saja telinganya.
“Gue bingung. Ada banyak misteri yang gak bisa gue temuin jawaban logisnya. Pertama, siapa anak ketujuh??? Kedua, sejak kapan anak ketujuh itu muncul?? Bukankah selama ini yang kita dan warga tahu, anak pak jawi yaaa ada enam itu. Kalau memang selama ini anak ketujuh bersembunyi, dia sembunyi dimana?? Terus kenapa baru muncul sekarang??”
Benar kata uci. Kenapa dia baru muncul sekarang?? Kalau memang untuk membalas kematian pak jawi, kenapa baru sekarang?? Pak jawi dikabarkan meninggal dalam kebakaran waktu itu, setelah itu keadaan desa normal dan tidak ada kejadian apapun. Tapi beberapa bulan kemudian, tragedi teriakan anak-anak itu terjadi di desa. Kenapa anak ketujuh itu menunggu beberapa bulan untuk balas dendam?? Entahlah, semakin banyak yang kami tahu, semakin kami merasa tidak tahu apa-apa.
“Lembu hitam”
Sahut Erik.
“Kalau mahluk hitam yang menyerang danil itu lembu hitam yang aku lihat, berarti selama ini, pak jawi menggendong anak ketujuhnya kalau siang. Kalau malam, bisa jadi dia tidur di sumur itu. Kalau aku gak salah ingat, bunyi lonceng yang waktu itu, tepat terdengar setelah adzan maghrib. Itu tanda kalau malam sudah datang, dan saat itu juga ane ngelihat lembu hitam itu turun dari punggung pak jawi”
“Erik benar!! Setelah kami mencoba kabur, saya melihat sosok anak kecil di dekat sumur, dimana lembu hitam yang dilihat erik itu pergi.
Tapi kalau Mahluk hitam yang menyerang saya sih, sepintas memang mirip lembu hitam, Karena moncongnya panjang. Tapi dia sama sekali tidak bertanduk. Hmmmmmm Mungkin benar kata maulida, anak pak jawi yang satu itu, bukanlah manusia”
Teman-teman saya tercengang dengan apa yang saya katakan. Yaaa mereka tahu kalau semua keanehan ini tidak mungkin disebabkan oleh manusia, tapi mereka masih saja kaget. Tiba-tiba mereka bertiga bertanya hampir bersamaan….
“Maulida siapa??”
Chapter 58
Januari 2015
23.00 WIB
BENANG KUNING
Saya dalam perjalanan pulang ke rumah, ngantuk dan pusing masih ada di kepala saya yang tertutup helm ini. Diskusi dengan teman-teman barusan, masih menyisakan sakit di kepala saya. Bukan hanya tentang anak ketujuh pak jawi, tapi tentang keenam anak beliau. Entah kenapa saya tidak pernah melihat mereka lagi. Kalau memang mereka bersembunyi, sembunyi dimana?? Enam anak kecil cacat seperti mereka, tidak akan bisa bersembunyi lama dari keramaian warga. Mereka butuh tempat berteduh, butuh makan, dan butuh seseorang yang bisa merawat mereka. Dan apa maksud kedatangan mereka tadi malam….
Jangan-jangan……….?????
Suara ban motor saya yang ngerem mendadak itu membuat ayam yang tidur di pohon mangga di pinggir jalan itu kaget. Saya tertegun selama beberapa detik, sebelum akhirnya memarkir motor saya di pinggir jalan, di bawah tiang lampu. Saya lepas helm saya, dan berjalan menuju seseorang yang menjadi alasan saya ngerem mendadak. Orang itu adalah
ANAK KETUJUH PAK JAWI
Dia masih terdiam mematung di tengah jalan, menatap saya yang perlahan menghampirinya. Saya sudah lelah dengan rasa takut, saya butuh jawaban!! Saya harus tahu, siapa yang seharusnya warga hadapi. Dan disinilah kami, di tengah jalan yang sepi. Jalan yang masih jauh dari rumah. Kali ini saya yang memulai percakapan terlebih dahulu
“Kamu?? Kamu anak pak jawi. Saya pernah melihat foto kamu di rumah beliau”
Anak kecil itu tidak beraksi apa-apa, berkedip pun tidak. Saya mulai bicara lagi
“Ok! Sekarang mau kamu apa??? Kenapa kemarin kamu menyerang saya???”
Lagi-lagi anak itu tidak bergeming sedikitpun.
“JAWAB ANAK SIALAN!!! Apa yang kamu mau???”
Becak, dan motor datang dari dua arah yang berbeda. Klakson mereka yang nyaring itu, adalah teguran bagi saya yang dari tadi berdiri di tengah jalan. Dan umpatan mereka itu, umpatan kesal karena merasa saya telah menghalangi jalannya. Anehnya, mereka berdua hanya melihat ke arah saya, itu artinya mereka tidak bisa melihat anak di depan saya ini. Saya sadar saya tidak bisa berlama-lama disini, cepat atau lambat mobil atau kendaraan lain akan lewat, mengingat ini belum tengah malam. Anak kecil itu akhirnya buka mulut, namun kali ini dengan suara anak kecil, suara anak laki-laki.
“Tolong, selamatkan saya kak!! Pulangkan saya kak!!”
Hati saya tersentak. Apa yang saya lihat sekarang sangat berbeda dengan sebelumnya, Kali ini anak ini menangis, air mata itu, air mata anak kecil yang ketakutan. Anak itu perlahan mendekati saya sembari tetap menangis dan berkata
“Tolong pulangkan saya kak, saya gak mau lama-lama disini kak”
Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tahu sosok apa yang ada di balik tubuh anak kecil ini. Tapi melihat seorang anak kecil menangis, meminta tolong, rasa takut saya pun berubah menjadi iba.
TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN!!!!
Suara klakson mobil mengagetkan saya. Mobil itu tidak hanya berhenti. Tapi pengemudinya juga keluar, bapak-bapak keturunan tiong hoa itu memarahi saya habis-habisan. Saya hanya mengangguk-angguk meminta maaf, dan bapak itu pun pergi sambil tetap ngomel-ngomel. Sementara anak itu, dia sudah tidak ada di jalan.
“Tolong saya kak”
Saya terhenyak kaget, karena sekarang dia berada di samping saya. Memegang ujung jaket saya, dengan masih memasang wajah sedihnya. Saya pun memberanikan diri, menunduk, mensejajarkan kepala saya dan kepalanya. Entah kenapa saya seperti melihat adik saya sendiri. Air mata anak itu, menetes ke tangan saya, dan rasanya hangat. Tapi tiba-tiba, lampu jalan mati satu persatu.
Lampu di belakang saya mati, Anak itu mulai berhenti menangis…….
Lampu tempat saya memarkir motor mati, anak itu mulai tersenyum…………
Lampu di tempat saya dan anak itu berada mati, anak itu pun mulai tertawa…………
HIHIHIHIHIHIHIHIHI
Tapi saat lampu di depan kami mati. Tiba-tiba saya mendengar suara langkah kaki yang cepat sekali, suasana saat itu sedang sepi, karena memang tidak ada pemukiman warga disitu. hanya langkah kaki dan suara tawa anak itu yang saya dengar. Suara tawa yang entah karena apa, tiba-tiba berhenti dan berubah menjadi suara orang yang sedang tercekik.
HEGH!!!
Suasana yang gelap itu mengganggu pandangan saya, tapi karena jarak yang cukup dekat, saya bisa melihat seutas tali kuning sedang melingkari leher anak itu, tali yang sangat tipis itu lebih mirip benang berwarna kuning. Benang itu mencekik lehernya sangat keras, sampai mulut anak itu menganga seperti meregang nyawa, dan bagian hitam matanya juga hilang. Dan satu persatu lampu jalan itu kembali hidup, bersamaan dengan dua motor yang melintas, seakan waktu berjalan kembali. Cahaya terang lampu akhirnya memperlihatkan sosok yang berada di belakang anak kecil itu, sosok perempuan bercadar merah dengan kepalan tangan kanannya yang dililit benang kuning, dengan kerasnya mencekik leher anak itu.
“Mmmaaa maulida???”
Maulida masih mencekik leher anak itu, benang tipis itu entah kenapa kuat sekali. Tidak hanya itu, leher anak itu memerah dan samar-samar terlihat seperti sedang terbakar. Saya tahu apa yang terjadi, saya tahu siapa sosok dibalik tubuh anak kecil itu, tapi melihat anak kecil disiksa seperti ini hati nurani saya tidak bisa berbohong, saya merasa sedih. Saya pun berusaha menghentikan maulida.
“Lepaskan anak itu!!! Kamu gak lihat apa?? Dia kesakitan, kalau diterusin, dia bisa mati??”
Maulida melotot melihat saya. Dan dibalik cadar merahnya itu, dia berkata
“Anak kecil yang mana????”
Gawat!! Maulida sudah tidak lagi melihat dia sebagai anak kecil, mungkin karena profesinya yang sama seperti bapak, hatinya sudah membatu ama yang namanya mahluk ghaib. Tapi saya tidak!! Saya menghampiri maulida, menarik bahunya dari belakang dan
BUGH!!!
Kakinya menekuk ke belakang , dengan sangat keras tumitnya menghantam tepat di Baby Maker saya. Dunia serasa berputar melawan arah, entah kenapa saya tiba-tiba membayangkan telur ayam yang pecah. Sambil tetap menahan sakit di bagian bawah, saya perhatikan anak itu sekarang sudah lepas dari cengkraman maulida. Mungkin gerakan maulida barusan memberikan celah bagi anak itu untuk pergi. Tapi tidak jauh, karena ternyata lehernya masih terikat dengan benang kuning yang ujungnya melilit tangan kanan maulida.
Maulida menarik benang itu, sehingga leher anak itu pun tercekik, seperti Samwise gamgie menarik leher Gollum di film The Lord of the Ring. Lagi lagi saya menghampiri maulida, kali ini dengan siaga melindungi bagian tadi.
“Lepaskan!!! Kamu perempuan, gimana bisa kamu bersikap kasar sama anak kecil??”
Maulida menoleh ke arah saya, tatapan matanya seolah sangat membenci perkataan saya.
Sementara maulida lengah, anak kecil itu menoleh ke belakang, wajahnya sudah menghitam, matanya pun berubah merah. Anak itu melompat kearah maulida, dan berusaha menerkamnya.
JEDUG!!!
Seakan tanpa ampun, maulida menedang anak kecil itu! Anak itu pun melayang dan jatuh di semak-semak. Sambil tetap melihat ke semak-semak, maulida berkata…..
“Saya benci anak kecil”
GILA?? Dia cewe, suatu saat bakal jadi ibu. Saya gak bisa bayangin kalau dia punya tiga anak dan tiga-tiganya dia ikat kaya gitu.
Maulida menarik benang kuningnya yang mulai lemas keluar dari semak-semak. Tapi yang maulida dapat hanya simpul lingkaran kosong, karena anak itu sudah menghilang entah kemana. Maulida kelihatan sangat marah, dia menatap saya seolah saya maling yang sudah mencuri mangsanya. Sementara saya?? Saya hanya bisa diam dan menutupi tempat sakral saya dengan kedua tangan.
“Saya sudah peringatkan kamu, berhenti bertindak bodoh!!”
Lagi-lagi seorang cewe yang lebih muda dari saya mengomeli saya seakan saya anak kecil. Entah kenapa saya merasa saya ini cowo yang payah, gak bisa berantem, penakut, gampang pingsan, dan gak tegaan sama anak kecil. Tapi anak kecil barusan, dia benar-benar menangis, dia benar-benar minta tolong. Saya hanya melamun sambil melihat tangan saya yang masih basah, basah karena air mata anak itu. Akhirnya kami berdua pulang.
.::Cerita Selanjutnya::.