Misteri Anak - Anak Pak Jawi 67

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI CHAPTER 67

Chapter 67
Februari 2015
20.15


WAJAH PUTIH DARI MASA LALU


Akhirnya kami kembali lagi kesini. Entah sudah berapa tahun tempat ini kami hindari. Tempat yang bahkan tukang cari rumput pun mikir seribu kali buat lewat. Jembatan Rel Lori (Kereta pengangkut tebu) tua, peninggalan belanda. Sejak kejadian tujuh tahun silam, semua santri dilarang pergi melintasi jembatan ini. Lokasi pesantren yang berada dekat dengan hutan, membuat santri menjadikan hutan ini sebagai tempat jalan santai. Hampir tiap pagi dan sore hari, pasti ada santri yang maen ke hutan ini. Tapi tulisan besar yang digantung di pohon ini, cukup untuk menghalangi santri melintas lebih jauh.

“BATAS SANTRI”
Plang itu tersebar di berbagai tempat di desa ini, gunanya adalah agar santri tidak keliaran terlalu jauh dari lingkungan pesantren. Dan saat kami memutuskan untuk melewati plang tersebut, itu artinya kami sudah ada di zona berbahaya! Zona diluar tanggung jawab pengurus pesantren. 

Saya memarkir motor saya tepat di bawah plang itu. Sepertinya Adi masih belum mau turun dari motor, tapi biarlah! Dia mau kembali kesini saja sudah merupakan pengorbanan yang besar buat saya. Akhirnya setelah mengaktifkan senter di HP, saya pun perlahan menyusuri area disektiar jembatan itu.

Suara desiran angin malam, Suara pohon bambu yang menggaung di sepanjang sungai, suara ngengat, nyamuk, dan serangga malam, semua itu menambah seramnya tempat terkutuk ini. Langkah saya terasa berat sekali, entah karena takut, atau memang tanah becek ini menambah berat sandal saya. 

Sekarang sampailah saya di depan jembatan ini, orang desa menyebutnya Jembatan Lori Alas. Jembatan yang lebarnya hanya selebar kereta pengangkut tebu ini ternyata sudah banyak direnovasi. Mungkin agar bisa dilewati kendaraan seperti sepeda, motor, bahkan mobil. Tapi tujuan saya kesini bukan untuk bernostalgia dengan jembatan. Saya harus segera menemukan anak-anak pak jawi, yang menurut informasi bapak, ada di tempat itu. Tempat diseberang jembatan itu. Disana ada sebuah pondok kecil dari bilik bambu, dibangun diatas sebuah tanah lapang yang sekarang sudah semakin luas. Saya bisa melihat pondok itu dari sini, berkat cahaya lampu petromax yang digantung di tiang dekat pondok itu.

Sebelum melanjutkan langkah saya melewati jembatan ini, saya menoleh ke arah adi yang masih duduk diatas motor. Adi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah melarang saya untuk maju. Tapi percuma, saya sudah pernah menghadapi rasa takut yang lebih besar dari ini. Akhirnya dengan ucapan bismillah, saya pun melangkah maju.

Ada peraturan kuno bagi siapapun yang melewati jembatan ini pada jam 19.00 WIB keatas. Sebuah aturan simple yaitu “Jangan sekali-sekali melihat kebawah”. biasanya banyak orang yang jika mendengar kata “Jangan” , mereka justru semakin ingin melakukannya. Tapi tidak dengan saya! Saya tidak mau tahu apa yang ada di bawah saya. Meskipun sebenarnya saya sudah tahu, sudah sangat tahu kalau di bawah jembatan yang sedang saya lewati ini, terkadang muncul…..

SEBUAH WAJAH MANUSIA BERKULIT PUTIH YANG BESAR SEKALI! DENGAN MATA MELOTOT DAN MULUTNYA YANG MENGAGA LEBAR.

Jika saya melanggar aturan itu, maka saya akan jatuh kebawah, seolah jembatan tempat kaki saya berpijak ini hilang. Tapi tidak sekarang! Sekarang saya sudah berada di sisi lain jembatan. Saya menoleh ke adi untuk terakhir kalinya. Saya melambai-lambaikan tangan kanan saya yang memegang handphone. Sementara adi membalasnya dengan lambaian tangan pasrah.

Akhirnya….. saya pun mengendap-endap mendekati pondok bambu tersebut. Saya bersembunyi dibelakang tumpukan kayu jati, mencari kesempatan untuk bisa lebih dekat lagi dengan tempat tujuan saya. Tapi kemudian, disela-sela dinding bambunya, saya melihat sesuatu yang bergerak. Ada orang di dalam pondok bambu itu. Sial! Gimana caranya saya bisa masuk tanpa terlihat??? Saya kan bukan maulida. Saya pun mematikan senter HP saya, karena sekarang cahaya lampu petromax itu cukup untuk menerangi jalan disekitar.

Mengerikan!!! Berada di dekat satu-satunya sumber cahaya di tengah hutan yang gelap ini, membuat saya berpikir

“Apa yang akan terjadi kalau lampunya mati????”

Bzzzzzzzzzzzz

Dan lampu itupun benar-benar mati. Sekarang saya hanya bisa melihat cahaya seperti titik merah yang melayang-layang di udara. Perlahan cahaya itu mendekati tempat dimana lampu petromax itu berada.

Muncullah suara berisik yang tidak bisa saya deskripsikan, sampai akhirnya lampu itu hidup kembali. Dari sini saya akhirnya tahu, titik merah itu berasal dari rokok orang ini. Tapi yang membuat saya kaget bukan rokoknya, tapi orangnya.

“Saya pernah melihat orang botak itu! Tapi dimana?”

Saya tidak punya banyak waktu untuk mengingat, karena setelah lampu itu hidup, saya mendengar suara berisik berasal dari dalam pondok bambu itu. Apapun suara itu, yang jelas orang botak ini terlihat sangat kesal. Dia membuang rokoknya dan segera masuk ke dalam pondok. Lagi-lagi saya mendengar suara, tapi kali ini saya bisa tahu suara apa itu

“Itu suara manusia, dan sepertinya sedang kesakitan”

Saya tidak tahu ada berapa orang di dalam pondok itu, tapi saya harus bertindak cepat. Saya pun berpindah tempat dari balik tumpukan kayu, ke sebelah belakang pondok itu. Saya duduk, menempelkan telinga, dan berusaha sebaik mungkin untuk mendengarkan apa yang terjadi di dalam. Tapi tiba-tiba

Brttttttttttttttttttttttt

“SIAL! Siapa yang SMS disaat genting seperti ini???”

Suara getaran HP saya membuat pondok itu hening seketika. Sepertinya orang di dalam pondok itu mendengar bunyi HP saya. Saya menahan nafas dan sebisa mungkin tetap tenang. Malam yang dingin itu, tidak lantas menghalangi keringat saya untuk bercucuran. Beruntung orang botak tadi tidak meninggalkan pondok, itu artinya saya aman.

Saya gunakan kesempatan ini untuk melihat HP, ada satu pesan dari Adi berbunyi

“Ada yang datang bang!”

Dan seketika itu saya mendengar suara motor yang ribut sekali. Motor dua tak yang biasa dibawa warga untuk cari rumput, pantas saja bunyinya bising sekali. Sialnya, motor itu tetap berjalan menuju belakang pondok, tempat saya duduk sekarang. Saya pun cepat-cepat mengendap pergi dari sana.

Kali ini saya bersembunyi di balik pohon. Seram memang Membayangkan pohon besar ini, karena banyak yang bilang Kuntilanak itu suka pohon yang batangnya besar. Saya pun jadi tidak berani menoleh ke atas. Dari balik pohon ini, pandangan saya tidak terlalu jelas. Saya tidak lagi bisa mengintip apa yang sedang mereka lakukan di dalam. Tapi akhirnya, kedua orang itu sekarang pergi keluar dan menuju motornya…

Dari sini saya bisa melihat keduanya, mereka laki-laki, dengan tinggi yang hampir sama, hanya saja yang merokok itu badannya lebih kekar. Kedua orang itu seperti berdebat, sesekali menggaruk rambutnya seperti sedang panik. Lalu kemudian orang yang berbadan kekar itu pergi, menutup pintu pondok, dan mereka berdua pun pergi mengendarai motor yang berisik itu. Saya senang karena ini kesempatan bagus buat saya, tapi sialnya sebelum mereka pergi, mereka juga membawa lampu petromax itu bersama mereka.

Suasana pun mendadak gelap gulita. Saya kembali mengaktifkan senter di HP, hanya saja kali ini terasa lebih susah karena saya mulai takut. Saya berjalan mendekati pondok bambu itu, sembari menerangi setiap langkah kaki ini. Tidak sekalipun saya arahkan lampu senter saya ke pepohonan, ke arah jembatan, ke arah manapun selain jalan yang saya lewati. Akhirnya sampailah saya di depan pintu pondok bambu yang ternyata digembok itu.

“SIAL!! Sudah sejauh ini, masak saya gak bisa masuk??”

Saya panik, tidak ada yang menjamin kedua orang tadi tidak akan kembali lagi. Jadi cepat-cepat saya mencari benda yang bisa merusak gembok besar itu. Setelah keliling halaman, saya menemukan kapak besar yang biasa digunakan untuk memotong kayu bakar. Saya bawa kapak sakti, bermata satu, berujung satu, dan berkepala polos itu, kemudian saya ayunkan dengan keras tepat di gembok itu berada.

DING!!

Bunyi logam yang saling hantam itu melengking di tengah gelapnya hutan. Tapi sayangnya pukulan saya tidak membuat gembok besar itu terbuka. Saya perbaiki HP yang sengaja saya taruh di tanah, agar bisa menerangi pintu pondok, lalu dengan sisa tenaga yang masih ada, saya hantamkan kapak itu tepat ke arah gembok………….. lagi-lagi bunyi yang sama, dan juga hasil yang sama.

Sampai akhirnya ditengah rasa putus asa, saya tiba-tiba tersadar, terbuat dari apa dinding di pondok ini.
“Kalau pintu yang ada gak bisa dibuka, saya harus buat pintu sendiri”

Saya pun menghujamkan kapak itu berkali-kali ke dinding pondok bambu itu. Dan setelah pukulan yang kedelapan, saya berhasil membuat lubang yang cukup untuk saya masuki. 

Tanpa pikir panjang lagi, saya masuk ke dalam pondok itu, dan ternyata….. Tidak ada apapun di dalamnya, kecuali sebuah sumur. 

“Sumur? Kenapa ada sumur di dalam sini?? Apa tujuannya mengali sumur di dalam sebuah bangunan kecil di tengah hutan? Tidak!! Sumur ini sejak awal sudah ada disini…..

PONDOK INI LAH YANG SENGAJA DIBANGUN UNTUK MENYEMBUNYIKAN SUMUR INI
Perasaan saya campur aduk, tapi saya beranikan diri untuk memeriksa sumur itu, sumur kering yang dangkal itu. Karena kalau dugaan maulida benar, maka apa yang kami cari tidak ada di sumur ini. Tapi kalau ternyata apa yang kami cari ada di sumur ini……

Saya melemparkan kapak yang saya bawa itu ke dalam, lalu saya melompat ke bawah sumur yang tingginya hanya sekitar 1,6 meter itu. Kemudian dengan cepat menggali sumur itu menggunakan kapak yang saya bawa. Susah memang, tapi saya tidak punya alternatif lain. Setelah cukup lama menggali, suarah tanah yang dihantam kapak itu tiba-tiba berubah. Seperti menghantam benda keras. Saya meletakkan kapak saya, dan melanjutkan menggali dengan tangan kosong, dan ternyata…….

Sebuah tas plastik merah ditimbun di dalam sumur itu, yang setelah dibuka isinya adalah…………………..

“SIALAN!!! Kenapa benda ini bisa ada disini??”

Saya membuang bungkusan itu karena ngeri sekali memegang sisa jasad manusia, apalagi di tempat seperti ini.

“Tunggu! Kalau ternyata benda ini tidak di timbun di rumah pak edi, itu artinyaaaaa…..”

MAULIDA????

Cepat-cepat saya melemparkan bungkusan itu keatas, melompat dan meraih tepi sumur, kemudian menarik badan saya keatas. Setelah diatas, hal yang pertama saya lakukan adalah menelpon maulida

Halo??”
Maulida menjawab telepon saya, tapi dia tidak bicara. Malah saya mendengar suara berisik seperti suara palu

“Halo?? Maulida?? Kamu dimana?”
“……………………………”
“JAWAB!! KAMPRET!! Kamu gak apa-apa kan?”
“Berisik!!! Saya gak apa-apa”
“Huft sukurlah, sekarang juga kamu tinggalkan rumah pak edi, saya sudah menemukan sisa jasad Yuda”
“Telat! Saya sudah di dalam”
“Maksud kamu??”
“Saya sudah di dalam sumurnya, dan sepertinya saya gak bisa keluar”
“Aaaa apaaa??”
“Yaaa sepertinya seseorang sedang mencoba mengurung saya disini, dengan menutup sumurnya”
“Jadi suara palu itu??? SIALAAAAAAAAAAAN!!”
“Sudahlah, sekarang cepat bawa benda itu ke pak arman!!”
“Tapi saya harus mencari anak pak jawi dulu!”
“Memang sekarang kamu dimana??”
“Di jembatan rel lori, di hutan”
“Apa???? Kamu gak bisa lama-lama di tempat itu”


GRUSAK!!!

Tiba-tiba saya mendengar sesuatu. Saya mendengar sesuatu sedang bergerak di pojok. Saya menghampiri asal suara itu, sementara maulida masih saja ngomel-ngomel di telepon. Baru disadari oleh saya kalau ternyata ada satu ruangan lagi di pondok ini. Dan asal dari suara berisik barusan adalah ruangan kecil di pojok pondok bambu ini. Ruang kecil yang pintunya hanya ditutupi kain putih, kain putih lusuh yang setelah saya buka…..

Mata saya terbelalak, saya tidak bisa menahan rasa sedih, iba dan marah. Karena apa yang saya lihat di depan saya ini, hanya iblis yang mampu melakukannya……

"KA KAAALIAAAAN?? APA YANG SUDAH TERJADI SAMA KALIAN????"
.::Cerita Selanjutnya::.