Chapter 68
Februari 2015
21.00
BIDADARI
Tidak ada kata yang mampu mendeskripsikan perasaan saya saat ini. Apa yang saya lihat sekarang, membuat saya bertanya-tanya, siapakah iblis yang sebenarnya di kampung ini? Saya tahu saya tidak bisa berlama-lama di sini. Dengan hanya berbekal senter HP sebagai penerangan, saya membuka satu persatu ikatan di tubuh mereka. Kaki, tangan, leher, Mereka semua diikat seperti hewan. Saya mulai bingung, bagaimana caranya saya membawa anak-anak ini keluar dari hutan? Sedangkan untuk berjalan saja mereka susah.
Mereka jauh lebih kurus dari yang pernah saya ingat. Luka-luka di sekujur tubuh mereka mulai bernanah, dan dihinggapi lalat. Dan meskipun mereka melihat saya, tatapan mereka kosong. Mereka masih takut untuk saya sentuh, mungkin karena selama disini, tidak ada orang yang menyentuh mereka kecuali untuk menyakitinya.
“Denger! Lihat saya! Kalian kenal saya kan?? Saya kesini buat nyelamatin kalian”
Mereka berenam masih bengong, seakan mereka tidak tahu arti dari kata “menyelamatkan”. Sial! Gak ada waktu buat ngejelasin semuanya sama anak-anak ini. Saya pun membantu mereka berdiri dan keluar dari ruangan kecil itu. Saya harus bertindak cepat! Saya lihat handphone yang ternyata masih tersambung dengan maulida, dan dia masih saja ngomel-ngomel!
“Ngapain aja kamu??? Cepat temui pak arman!!!”
TIT
Saya memutuskan percakapan dengan maulida, karena ada beberapa orang yang harus saya telepon. Saya jelaskan sedetil mungkin lokasi dan kondisi saya saat ini, dan orang-orang itu pun mengerti. Segera setelah itu saya aktifkan lagi senter di HP saya, dan memberi aba-aba pada anak-anak untuk mengikuti saya sembari saling berpegangan, Karena suasana di luar gelap, saya khawatir mereka tersesat.
Saya bersihkan lubang yang saya buat di dinding, karena ujung bambu yang tajam itu bisa melukai anak-anak ini. Tapi sialnya dari balik lubang saya melihat cahaya lampu motor yang sedang menuju pondok ini, dan kali ini motornya ada dua. Saya pun semakin panik karena tidak mungkin membawa anak-anak ini keluar tanpa terlihat oleh mereka.
“SIALAN!!! Apa yang harus saya lakukan??”
Suara motor itu semakin dekat dan akhirnya sampailah mereka di pondok bambu ini. Mereka memarkir motornya di tempat yang sama dengan sebelumnya. Kemudian salah satu dari kedua orang itu menghidupkan lampu petromax yang di bawanya, dan terkejutlah mereka ketika melihat lubang besar yang saya buat di dinding pondok bambu itu.
“ANJ*NG!!! Anak itu kabur lagi!!!”
“Pasti kali ini si tinggi dan si juling itu lagi yang kabur!!! Mungkin sebaiknya kita patahkan saja kaki mereka, biar nama mereka berubah jadi si pincang”
Mereka adalah orang yang sama dengan yang tadi meninggalkan tempat ini. Mereka pergi hanya untuk mengambil motor dan gerobak. Sepertinya mereka berniat memindahkan anak-anak ini ke tempat lain.
Salah satu dari kedua orang itu membuka gembok besar yang ada di pintu masuk, lalu membuka lebar pintunya. Sedangkan orang yang satunya lagi masuk melalui lubang yang saya buat. Cahaya lampu petromax pun masuk melalui pintu dan lubang di dinding itu, dan menerangi setiap sudut ruangan.
“TA* !!! Periksa ruangan itu, biar saya yang periksa sumurnya”
Si botak melompat turun ke sumur di dalam ruangan itu, sementara temannya memeriksa ruangan kecil tempat mereka menyekap anak-anak pak jawi.
“KOSONG???”
Orang itu pun menghampiri si botak yang sedang ada di dalam sumur
“Anak-anak itu kabur!”
“Yang mana??”
“Semuanya!!!”
“GAK MUNGKIN!!!”
Dengan wajah penuh rasa takut, si botak menggali lagi bekas galian saya, hanya untuk memastikan benda itu ada disana. Tapi ternyata….
“Gaaa gawaat! Bungkusan itu gak ada disini”
“APAA???? Jadi anak itu kabur sambil bawa bungkusan itu???”
“TIDAK!!! Pasti ada orang lain yang datang kesini”
Si botak pun bergegas keluar dari sumur, mereka berdua memeriksa ruangan kecil itu. Mereka masih bingung gimana caranya anak-anak itu bisa keluar dari sini. Sampai akhirnya……….
Mereka menemukan sesuatu di sudut ruangan. Sebuah potongan dinding bambu dari lubang yang saya buat di dekat pintu masuk. Si botak mengangkat potongan dinding bambu itu dan tampaklah sebuah lubang besar, cukup besar untuk anak-anak itu kabur. Dan di samping lubang itu, ada sebuah kapak yang tergeletak di tanah.
“ANJ***********************NG”
Dari jauh Saya dan anak-anak mendengar teriakan itu, mereka pasti sangat murka. Tapi gak ada waktu bagi kami untuk berhenti. Saya terus menggiring kelima anak itu pergi menuju jembatan lori.
“Ayo cepat!! Sebelum mereka mengejar kita”
Tapi semua tidak semulus yang saya rencanakan. Kondisi mereka yang mengenaskan, membuat mereka susah untuk berjalan, apalagi berlari. Beberapa kali si gendut berhenti karena telapak kakinya bengkak. Dan si tinggi sudah tidak kuat lagi menggendong si pincang.
“Sini!!”
Saya pun berniat menggantikan si tinggi untuk menggendong si pincang. Tapi tiba-tiba……..
VROOOOOOOOOOM!!!!!
Suara mesin motor dinyalakan. Kedua orang itu pun datang mengejar kami. Si botak ada di depan dengan tangan kirinya yang memegang kapak, Dan disusul temannya yang mengendarai motor Honda merah kuno dengan gerobak dorong di belakangnya. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, hingga dalam sekejap kami pun terkepung.
Bunyi dongkrak motor terdengar bergantian, seiring dengan mesin motor yang mati. Suasana di sekitar jembatan menjadi terang benderang karena mereka membawa lampu petromaxnya di gerobak.
Si botak menghampiri saya sementara temannya masih menunggu di motor.
Semakin dekat si botak, semakin jelas wajahnya dan barulah saya ingat siapa orang ini. Dia adalah orang yang kemarin sempat mengiterogasi saya di gang kadal. Saya tidak tahu apakah dia preman yang menyamar jadi polisi, atau polisi yang sebenarnya adalah preman. Yang saya tahu, nyawa saya dan anak-anak ini sedang terancam.
“Lhoo lhooo lhoooo lhoooooo!! Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya, tapi dimana yaa??? Oh ya!! Gang kadal!! Hmmmm Edi sempet bilang sama saya, kalau saya harus mengawasi kamu. Sekarang saya tahu alasannya”
Kelima anak pak jawi semuanya bersembunyi di belakang saya, mereka sangat ketakutan dan tidak bisa berhenti gemetar.
Saya bingung yang mana yang harus saya tenangkan lebih dulu, anak-anak ini atau pikiran saya. Karena siapapun tidak akan bisa berpikir jernih di depan seseorang yang ukurannya dua kali lebih besar dari kita, dan sedang memegang kapak yang sewaktu-waktu bisa memenggal kepala kita.
“Sebenarnya apa yang kalian mau dari anak-anak ini??”
Tapi bukannya menjawab pertanyaan saya, mereka malah tertawa
HAHAHAHAHAHAHAHAHA
Entah apa alasannya kedua orang itu tertawa, yang jelas saya semakin jijik melihat mereka. Saya melihat ke arah teman si botak yang ada di motor, tapi dia bukan orang yang kemarin ikut si botak ke gang kadal. Siapa sebenarnya orang-orang ini??
“Gak ada gunanya menjawab pertanyaan orang yang sebentar lagi mati!!!”
Ucap si botak
Si botak semakin dekat ke arah kami, kemudian dia jongkok dan melambai-lambaikan tangannya ke arah anak-anak yang sedang bersembunyi di belakang saya. Dengan nada yang lembut tapi menyeramkan dia berkata……
“Siniiii ayo kita pulang, kalian tahu kan apa jadinya kalau saya sudah marah??”
GILA!! Satu kalimat itu mampu membuat lima anak ini berubah pikiran. Mereka yang awalnya bersembunyi di belakang saya, langsung pergi berlari ke arah orang yang dari tadi menunggu di motor.
“Gitu dooonk!! Sini! Sini! Cepat naik!”
Ucap teman si botak itu sambil menaikkan mereka satu persatu ke gerobak.
Dan sekarang saya kembali lagi ke titik nol. Sejak awal saya sudah siap dengan resiko yang akan saya terima. Tapi saya sama sekali tidak menyangka kalau yang akan saya hadapi adalah manusia. Saya sama sekali tidak punya kemampuan beladiri, jadi kalau harus terjadi baku hantam disini, sudah pasti muka saya yang pertama menyentuh tanah.
“Sekarang serahkan bungkusan itu!!”
Perintah si botak sambil mengarahkan ujung kapaknya ke wajah saya. Saya pun mengangkat tangan saya tinggi-tinggi dan memperlihatkan telapak tangan saya yang kosong. Si botak memeriksa saya dari atas ke bawah tapi dia tidak menemukan apa yang dia cari. Saya hanya tersenyum kecut, hehehe.
BUK!!
Si botak menghantamkan pegangan kapak itu ke pipi saya hingga saya tersungkur ke tanah. Sejenak saya merasa pusing, telinga saya berdengung karena pukulannya barusan sedikit mengenai telinga. Darah mulai menetes entah dari mana. Tapi saya harus berdiri lagi, saya harus memberikan orang itu waktu sebanyak yang saya bisa.
Saya menarik nafas panjang, dan akhirnya berdiri kembali. Itu membuat si botak sangat murka. Saya pun berpikir ini adalah akhir dari hidup saya.Tapi tak apalah, asalkan saya bisa mengulur waktu disini, agar mereka bisa menjalankan tugas yang saya berikan.
Kali ini si botak menendang tepat ke perut saya.
BUGH!
Saya tidak pernah merasakan mual yang luar biasa seperti ini, mual tapi tidak bisa muntah karena nafas saya tersendat. Dan saat rasa mual itu mencapai puncaknya, leher saya terasa panas, cairan pun keluar deras dari mulut saya, itu terjadi berulang ulang sampai tiga kali.
Bagaimanapun, saya masih bersyukur. Mungkin si botak tidak ingin membunuh saya dulu, karena hanya saya yang tahu dimana bungkusan itu. Selanjutnya……. Saya mencoba untuk berdiri sekali lagi, berusaha memaksa otak saya untuk tetap sadar. Tapi sayangnya saya tidak bisa berdiri tegak, kaki saya bergetar hebat, tidak mampu lagi menopang badan saya.
“Ini peringatan terakhir buat kamu, kembalikan bungkusan itu!!”
Ancaman si botak tidak lagi masuk ke telinga saya. Entah kenapa itu malah terdengar lucu. Saya pun tidak bisa menahan tertawa.
“Pffffffffffttt hhuhuhuhahahahahaahahaaa”
Darah menyembur dari mulut saya, dan membasahi muka si botak. Dia kelihatan sangat tidak senang, tapi masa bodo, saya sudah gak peduli. Saya yakin kali ini kapak itu akan merobek tubuh saya. Saya hanya berharap, wajah saya masih utuh saat dimakamkan. Agar teman-teman yang melihat foto saya di facebook, tidak segan-segan memberikan like dan komentar.
Kali ini si botak benar-benar kalap. Dia mengangkat kapak itu dengan kedua tangan kekarnya dan….
“JRI!!!!”
Si botak berhenti karena temannya memanggil. Dia pun menoleh………
“Percuma!! Barang itu gak ada disini”
“APA MAKSUD KAMU???”
Temen si botak itu menunjuk ke anak-anak pak jawi yang sudah ada di gerobak. Awalnya si botak tidak mengerti maksud temennya sebelum akhirnya dia menghitung…………….
KURANG AJAR!!!!!!! KEMANA ANAK PEREMPUAN ITU?????
“Hahahahahahahah uhuk uhuk hhhhhhhh”
Si botak menghampiri saya yang sedang tertawa, menarik rambut panjang saya dan memukul saya berkali-kali!
“KEMANA DIA PERGI???”
BUGH!!
“KEMANAAAAAA DIA PERGI???”
BUGH!!!
“SAYA LEMPAR KAMU KE BAWAH JEMBATAN!! KEMANAAAA DIA PERGI???
BUGH!
Kelima anak pak jawi melihat saya dengan Iba. Mereka berbisik pelan “kakak” tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Inilah akhir dari cerita saya. Saya hanya berharap lasmini bisa membawa bungkusan itu keluar dari hutan ini. Saya juga berharap Adi bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Saya melihat ke gerobak itu. Teman si botak mulai memukuli anak-anak pak jawi dengan kayu, memaksa mereka untuk buka mulut. Sial! Ini semua gara-gara saya! Kalau saya harus mati, saya ingin pemandangan terakhir yang saya lihat adalah sesuatu yang indah, bukan yang seperti ini
BUGH!
Pukulan terakhir dari si botak itupun membuat pandangan saya gelap.
Sepertinya…. Saya sudah mati
AAAAAAAAAAAAAAAGGGGGHHHHHHHHHHHHHHH
Suara siapa itu???
UAAAAAAAAAAAAAGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!! LEPASKAN! LEPASKAAAAAAAAN!!
Ituuuuuuuuu suara orang yang disiksa? Apakah ini neraka?? Apakah neraka segelap ini????
Suara teriakan itu semakin menjadi-jadi. Teriakan dua orang yang sedang ketakutan dan kesakitan. Dan juga suara anak-anak yang memanggil saya…………..
-Kakak?? Bangung kakak!!-
-Bangun kakak!-
Itu suara anak-anak pak jawi. Itu artinyaaaaa saya masih hidup!! Saya pun membuka mata, dan akhirnya saya sadar kalau saya memang masih hidup. hanya saja lampu petromax itu yang mati. Sementara suara teriakan barusan, itu adalah suara dari Si botak dan temannya.
“JANGAN-JANGAN???”
Saya berusaha berjalan merangkak secepat mungkin, meraba-raba tanah yang becek dan gelap hingga akhirnya tangan saya pun menyentuh tubuh teman si botak yang terkapar di tanah. Tapi bukan itu yang saya cari, saya terus merangkak dengan sisa-sisa tenaga yang saya miliki sampai akhirnya saya sampai di tempat yang saya tuju, yaitu
Gerobak dorong
Krek!
Keadaan di sekitar menjadi terang kembali, berkat cahaya dari lampu petromax ini. Dan barulah saya mengerti apa yang sudah terjadi.
Disana……… tepat di depan mata saya…….. Yuda berdiri diantara kelima anak pak jawi. dia melihat ke arah saya, seakan-akan saya merusak pesta besarnya karena menyalakan lampu ini. Entah apa yang sudah yuda lakukan pada kedua orang itu, mereka tergeletak kaku di tanah dengan mata dan mulut yang terbuka. Seakan sudah melihat sesuatu yang menyeramkan.
Saya perhatikan bayangan hitam yang menari-nari di bawah kaki yuda. Bayangan yang sama, yang mengerjar saya di gang kadal malam itu. Dan kini saya mengerti!!! Iblis, jin, setan atau apapun yang ada di dalam tubuh yuda itu, dia tidak bisa melukai fisik manusia. Dia hanya meneror manusia dengan rasa takut, Dan bayangan hitam itulah penyebabnya.
Tiba-tiba bayangan itu bergerak cepat ke arah saya. Barulah Saya sadar kalau yuda kesini tidak untuk menyelamatkan saya, dia hanya menyelamatkan kelima saudaranya. Sedangkan bagi yuda saya adalah musuhnya. Bayangan hitam itu menutupi kaki saya, perlahan naik ke paha, kemudian ke tubuh saya yang sedang bersandar di kereta dorong ini, selanjutnya ke leher dan akhirnya….
Saya melihat sosok itu lagi. Sosok mahluk hitam besar itu berdiri di depan saya. Mata merahnya yang menyala itu, seakan dia marah gara-gara saya memindahkan sisa jasad Yuda dari sumur itu. Tapi saat mahluk itu berada sejengkal di depan saya, tiba-tiba sesosok bidadari datang. Bidadari itu membawa cahaya terang yang membuat kulit hitam mahluk itu hangus terbakar. Perlahan demi perlahan mahluk itu pun lenyap ditelan cahaya. Lalu sang bidadari cantik berselendang merah itu menghampiri saya, memegang pipi saya…
PLAK!
“Aaaaaaaaaaaaaw!!”
Rasa sakit di pipi saya, membuyarkan pemandangan indah yang saya lihat barusan.
“Maulida???”
Saya masih tidak tahu apa sedang terjadi. Di depan saya sekarang sudah ada maulida, kelima anak pak jawi, dan adi yang sedang menggendong lasmini. Sementara Yuda?? Dia sudah tidak lagi kelihatan.
“Kenapa kamu selalu pingsan disaat-saat genting?? Dasar payah!!”
Ucap maulida sambil mengobati luka-luka di tubuh saya.
Saya hanya tersenyum.
“Kenapa kamu selalu datang disaat-saat genting?? Dasar Payah!!”
Jawab saya. Maulida menekan luka saya keras sekali, seolah dia tidak terima dengan kata-kata saya. Tapi saya tahu, dibalik cadar merahnya itu, dia sedang tersenyum.
Sekarang saya mengerti apa yang sudah terjadi. Adi berhasil membawa Lasmini dan sisa jasad yuda itu ke pak arman, sementara dia kembali kesini bersama maulida. Cahaya terang dari bidadari itu adalah cahaya lampu motor saya. Sedangkan bidadari cantiknya adalah…………
TIDAK! Orang ini sama sekali tidak mirip bidadari. Ucap saya dalam hati sambil melihat maulida yang masih sibuk mengoleskan obat ke tubuh saya.
Setelah dirasa cukup, saya pun mencoba untuk berdiri lagi. Rasa sakit masih menjalar disetiap otot dan tulang di tubuh saya. Tapi kami harus segera keluar dari tempat ini.
“Di! Bawa anak-anak ini ke tempat pak arman, saya mau pergi menyusul bapak”
Adi mengangguk.
“Siap bang!”
.::Cerita Selanjutnya::.