Misteri Anak - Anak Pak Jawi 69,70

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI CHAPTER 69, 70 (END OF PHASE INSIDEN)

Chapter 69
Februari 2015
22.45

RUMPUT TERLARANG

Setelah berpisah dari adi dan keenam anak pak jawi, Saya dan maulida pun bergegas kembali ke desa. Sempat kasihan sama adi, karena harus menarik gerobak dorong berisi enam orang anak, dengan motor butut, di tengah jalan hutan yang becek. Tapi itu pilihannya sendiri, dia lebih baik pergi naek motor butut itu daripada harus pergi dengan maulida.

Tinggal satu tikungan lagi, kami akan keluar dari hutan.

“Orang botak yang pingsan di dekat jembatan tadi, sepertinya saya pernah melihat dia”

Ucap maulida.

Saya pun mengangguk, dan dengan suara yang agak keras karena masih di atas motor saya menjawab

“Itu kan oknum polisi yang datang ke rumah saya tempo hari”

Maulida menggeleng-gelengkan kepalanya. Selama di perjalanan, dia bercerita kalau dia pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya. Bapak saya menemui maulida untuk mencari tahu resep dari jamu yang sering diminum ibu saya. Dan setelah maulida meminta bantuan bibinya yang juga dokter, tidak ada yang aneh dengan jamu itu. Hanya beberapa tumbuhan hutan yang lumrah digunakan untuk jamu, tapi takarannya yang sangat pas itulah yang membuat jamu pak jawi dikenal manjur.

Bapak saya lega dengan kabar itu. Tapi kemudian saat maulida menemukan botol air mineral dengan sisa jamu pak jawi di dekat tubuh Pak Muhadi CS, maulida terkejut karena resepnya berbeda dengan sebelumnya....


“Ada satu alasan kenapa saya tidak bisa membuat ramuan yang sama persis dengan pak jawi. Atau mungkin lebih tepatnya, Saya tidak mau”

“Alasannya???”

Tanya saya penasaran.

“Karena Pak Jawi menggunakan salah satu tanaman illegal di dalam obatnya itu”

Saya tidak mengerti maksud maulida. Tapi saya diamkan saja, menunggu dia melanjutkan penjelasannya

“Mungkin bagi pak jawi yang bisa dikatakan dokter kuno, menggunakan bahan itu sudah wajar karena saat itu belum ada peraturan yang melarang penggunaannya. Apalagi sebagai obat. Saya dan kak tuan sudah lama curiga dengan rumput di kandang pak jawi yang selalu penuh dan selalu baru. Tapi akhirnya saya tahu, kalau ternyata Rozikin lah yang tiap hari membawakan rumput itu untuk pak jawi”

“Jadiiiiiii, rumput itu adalah tanaman terlarang yang kamu maksud???”

“Bukan!!! Rumput itu hanyalah rumput pakan sapi biasa, yang entah untuk apa saya tidak tahu. Kak tuan curiga pak jawi punya pesugihan, tapi melihat rumahnya yang seperti itu, kak tuan bilang "Ah gak mungkin"

Akhirnya saya pun beberapa kali mengintai rumah pak jawi, untuk mencari tahu tentang rumput itu. 
Sampai suatu malam……..

Saya menelan ludah karena cara maulida bicara berubah jadi menyeramkan

“Malam itu saya sedang memeriksa rumput di kandang pak jawi. Tiba-tiba saya mendengar suara motor. Saya pun bersembunyi di dalam sumur tua itu. 

SUMUR ITU BAU SEKALI!!! LEBIH BUSUK DARI PADA SUMUR PAK EDI. 

Orang yang baru datang dari motor itu menurunkan rumput di kandang pak jawi, dan menggantinya dengan yang baru. Salah satu dari orang itu membuang dahak dan puntung rokoknya ke sumur……….”

Kalimat terakhir maulida diucapkan dengan nada penuh amarah. Saya pun mencoba menenangkannya….

“Ttteee terus kamu ketahuan???”

“TIdak!! Saya bersembunyi di dalam lubang yang ada di dinding dasar sumur”

Saya tidak tahu harus komentar apa. Maulida adalah cewek paling aneh yang pernah saya kenal. Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah saya khawatir setengah mati karena dia terjebak di dalam sumur, ternyata dia sudah pengalaman berkali-kali masuk ke dalam sumur. Jangan-jangan lubang itu maulida juga yang buat? Entahlah saya memilih untuk menanyakan pertanyaan lain yang lebih penting.

“Terus, kamu lihat muka orang itu???”

Maulida geleng-geleng dan menjawab….

“Saya tidak bisa lihat wajahnya, tapi kepala botaknya itu bersinar karena cahaya bulan.

Percakapan kami berakhir sampai disitu. Karena sekarang kami sudah masuk kawasan pemukiman penduduk. Segera saya meluncur ke rumah, karena maulida bilang ada yang harus dia bawa sebelum pergi ke tempat bapak.



Chapter 70
Februari 2015
23.00 WIB

MALAM YANG PANJANG

Saya sudah sampai di rumah, tapi kami belum bisa masuk. Saya tidak bisa menemukan kunci rumah saya. Saya menahan maulida yang sudah siap-siap menendang pintu rumah saya, karena malas rasanya kalau harus panggil tukang lagi. Akhirnya kunci rumah pun ketemu, dan....

Krek!

Saya pulaang. Mencium aroma rumah yang apek karena sejak tadi sore ditinggal pemiliknya, saya jadi senang. Saya pun menyempatkan diri berbaring di tempat favorit saya, “KURSI RUANG TAMU”. Sementara maulida mengutak-atik barang yang ada di dalam tasnya.

“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan kepikiran buat santai disaat seperti ini”

Lagi-lagi ucapan cewe ini selalu bikin mood saya berubah.

“Kita udah keluar dari hutan, bungkusan itu sudah di tangan pak arman, apa lagi yang kita khawatirkan??”

Sambil menata beberapa botol kecil, maulida menjawab dengan nada yang serius

“Kamu pikir Yuda akan tinggal diam?? Masih ingat apa terjadi setelah kebakaran di rumah pak jawi??”

Saya berpikir sejenak. Tidak terjadi apa-apa setelah kebakaran itu. Tapi beberapa bulan setelahnya barulah Yuda memulai terornya di desa ini. Ini yang masih jadi pertanyaan di benak saya. Kenapa harus menunggu beberapa bulan untuk balas dendam?

“Kamu pernah bilang kalau pak jawi sudah meninggal kan??? Apakah beliau meninggal tepat setelah kebakaran?? Karena kalau begitu, kenapa yuda menunggu beberapa bulan untuk balas dendam??”

Maulida menjawab pertanyaan saya, sambil mengisi botol-botol kecil itu dengan cairan yang entah apa saya tidak tahu.

“Kak Tuan yang melihat Yuda dan keenam anaknya membawa tubuh pak jawi, saat itu pak jawi masih bernafas. Setidaknya itu yang dilihat kak tuan”

“Ah bisa saja bapak salah!!!”

“Bapak kamu tidak sebodoh kamu!!”

Kali ini saya benar-benar marah. Saya bosan diperlakukan seperti orang payah oleh maulida. Siapapun dia, saya tidak peduli. Ini pertama kalinya saya menatap maulida dengan tatapan benci se benci-bencinya!!!

“Mulut kamu itu.. Percuma kamu menutup wajah kamu dengan cadar, kalau mulut kamu masih saja busuk!”

TOK

Kata-kata saya berhasil menusuk hati batunya itu. Tanpa sengaja dia menjatuhkan salah satu botol yang disusunnya di meja. Saya sudah siap kalau harus dibanting gara-gara kata-kata saya barusan, tapi setidaknya saat ini saya yang menang.

Terjadilah keheningan sesaat di ruang tamu ini…. Kami berdua masih menebak-nebak siapa yang akan minta maaf lebih dulu, tapi yang jelas “BUKAN SAYA”

DING, DING, DING, DING,

Suara itu???
Suara yang sangat familiar bagi saya
Karena setelah suara lonceng itu terdengar
Sesuatu yang buruk akan terjadi

MOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO

Tiba-tiba sapi di kandang pak suryo berbunyi......... semuanya!! Saya dan maulida pun segera pergi keluar.

Di luar, saya dapat mendengar dengan jelas, tidak hanya di kandang pak suryo tapi di rumah tetangga sebelah, di rumah belakang gang, di samping rumah bak rid, bahkan mungkin di seluruh rumah warga yang memiliki ternak sapi, semuanya berbunyi.

Ini sama seperti malam itu, hanya saja kali ini bukan anak kecil, hanya teriakan sapi yang saya dengar bersahut-sahutan. Saya sempat tersenyum geli, sambil berpikir...... 

“inikah cara kamu balas dendam yuda?? Sapi??? Yang bener aja???”

Seolah mendengar ucapan saya, sapi-sapi itu pun berhenti berbunyi. Perasaan saya pun menjadi tidak enak

AHHHHHHHHHHGGGGGGGGGGGGGGGHHHHH

Kali ini suara teriakan warga yang terdengar bersamaan di setiap rumah, sepanjang yang bisa saya dengar. Sekelebat bayangan hitam melintas di dalam rumah pak suryo yang kebetulan sebagian lampunya masih nyala.

Saya dan maulida pun tahu apa yang sedang terjadi

“YUDA!”

Kami berdua segera mendatangi rumah pak suryo. 

BRAK! BRAK! BRAK!

Berkali-kali saya menggedor pintunya, tapi tidak satupun keluarga pak suryo keluar. Saya pun mendobrak pintu itu sekuat tenaga saya, tapi masih saja tidak terbuka

“DAR!”

Satu tendangan dari maulida, dan pintu itu pun tak punya pilihan lain selain terbuka lebar.

Tanpa pikir panjang, kami segera masuk. Maulida menyusuri setiap kamar dan menghidupkan lampunya. Sementara saya menuju dapur dan juga menghidupkan lampunya.....

KREK

Mbak Kiki, Ibu dari aim sedang memegang pisau dapur dan mengarahkan ujung pisau itu ke lehernya sendiri.

JANGAN!

Saya memegangi tangannya yang entah kenapa terasa sangat kuat. Bahkan genggaman tangannya pun sulit untuk di lepaskan. Tiba-tiba....

“SIAPA KAMU??? JANGAN BUNUH ANAK SAYA!!”

Pak suryo sudah berada di belakang saya, dan dengan cepat menarik leher saya dengan lengannya. Saya pun semakin susah bernafas. Tidak ada pilihan lain selain menggigit lengan pak suryo.

Gigitan saya membuat Pak Suryo berteriak kesakitan. Saya tidak punya banyak waktu, saya menarik paksa pisau yang dipegang bak kiki tersebut. 

UGGGGGGGGGH

Dan membuangnya lewat jendela dapur. 

Tapi dibalik jendela itu saya melihat sesuatu yang mengerikan. 
Lek Makhtum, tetangga yang tinggal dibelakang rumah saya tengah menarik rambut istriyan dan menyeretnya sambil berteriak 

“SAYA DAPAT MAYAT PAK JAWI!! SAYA DAPAT MAYAT PAK JAWI!”

GILA!! Pikir saya, saya bergegas untuk pergi keluar sebelum terjadi sesuatu yang buruk pada keduanya, tapi tiba-tiba……

Langkah saya tertahan karena Mbak kiki memegang kaki saya. Sambil berteriak

“JANGAN BAWA ANAK SAYAAAAAAAA, JANGAN!!!”

Saya berusaha melepaskan kaki saya dengan menendang tangan Mbak Kiki. Tapi tiba-tiba seseorang memegang kedua bahu saya dan menggoyang-goyangkan badan saya ke depan dan ke belakang. Orang itu adalah pak suryo yang sudah bangkit dari rasa sakitnya

“Lepaskan putri sayaa….. Lepaskan Putri sayaaaaa……….. LEPASKAN PUTRI SAYAAAAAAAAAAA”

“AAAAAAAAAAAGH!”

Teriakan pak suryo itu berbarengan dengan teriakan saya yang menahan sakit karena sekarang mbak kiki menggigit bagian belakang betis saya.

Tiba-tiba pak suryo mendadak berhenti dan terjatuh lemas. Entah apa yang dilakukan oleh maulida, yang jelas pukulannya itu berhasil melumpuhkan pak suryo.

“Nil! Kita gak punya banyak waktu, kita harus segera ke tempat kak tuan”

Saya menendang muka mbak kiki, barulah dia melepaskan gigitannya. Tidak ada waktu untuk merasa sakit, saya dan maulida pun bergegas keluar, tapi di depan pintu keluar, Aim sedang berdiri menghadang kami dan berteriak keras sekali.

Kami harus menutup telinga melewati anak kecil itu, tidak ada yang bisa kami lakukan pada Aim.

Setelah di luar, barulah terasa hiruk pikuk terror yang sedang melanda kompleks ini. Tidak hanya di dalam rumah, di pinggir jalan juga.
Tidak mau hanya berdiam diri, saya berlari menghampiri orang yang sedang tertindih motornya di tengah jalan, tapi maulida menahan langkah saya.

“LEPASIN!!!!!!!”

“DENGERIN DULU!! TEMPAT KITA BUKAN DISINI!!”

“NGOMONG APA KAMU???”

“KITA HARUS SEGERA MENEMUI KAK TUAN, DAN MEMBANTU PAK ARMAN MENGUBUR MAYAT YUDA”

“GILA!! TERUS GIMANA DENGAN ORANG-ORANG INI?????”

VROOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOM


Oh Tuhan.....

Saat itu adalah saat yang sangat mengharukan bagi saya. Dua buah truk besar datang dengan membawa puluhan orang berbaju putih. Orang-orang itu segera menyebar ke setiap rumah warga. Membantu menyadarkan mereka dari mimpi buruknya.

Entahlah……. kejadian saat itu berlangsung sangat cepat.

Saya tidak pernah menangis terharu seperti ini, mungkin ini perasaan yang sama yang dirasakan Raja Theoden saat Gandalf datang membantunya memenangkan perang di Helm’s Deep.

Maulida memegang pundak saya.

“Ayo, tempat kita bukan disini. Serahkan desa ini sama mereka”

Entah saya gengsi atau tidak sempat mengakuinya, tapi maulida terlihat keren sekali malam itu. Puluhan orang berbaju putih itu menunduk hormat pada maulida. Kami sadar, ini belum waktunya untuk tenang. Saya pun mengambil motor, dan segera pergi ke tempat bapak………..










END OF PHASE INSIDEN


Bapak masih duduk di atas peti kayunya itu
Seperti sedang menikmati sesuatu
Aaah yaaaa, beliau sedang menikmati camilan favoritnya
Camilan favoritnya yang sering saya curi ketika saya masih kecil
Tapi bapak tidak pernah marah
Anehnya, bapak selalu meletakkan camilannya itu di tempat yang sama
Walaupun tahu besok pasti hilang
…………
Bapak tidak pernah pulang dengan wajah lelah
Apapun yang dikerjakan beliau di luar sana, saya tidak mau tahu
Beliau Cuma bilang
“Gak enak! Enakan kerja di rumah hahahahaa”

Kenapa bapak selalu tertawa seperti anak keci??

Dulu….. duluuuu sekaliiiii

Saya selalu tertawa dengan semua lelucon bapak
Tapi semakin dewasa saya merasa semakin dingin
Entah lelucon bapak yang tidak lagi lucu
Atau saya yang sudah kehilangan selera humor??

…………..

Coba sekarang bapak ngelucu!
Coba pak! Bapak!
BAPAAAAAAAAAAAAAAAAAK!!!

Suara sirine mobil polisi terdengar seperti musik. Musik yang selalu saya benci, karena bunyinya mirip sirine ambulan. Kenapa saya benci sirine ambulan??? Karena suaranya mirip sirine mobil polisi.

Saya benci mereka semua, mereka yang berbaju putih. Mereka membawa bapak tanpa ada wajah sedih, takut dan khawatir. Kalau yang mereka bawa adalah bapak mereka, apakah mereka akan memasang wajah yang sama??? 


Saya tidak menangis! Karena bapak belum mati. Suasana pemakaman malam itu sangat ramai. Tidak cocok dengan kuburan yang terhampar luas itu. Beberapa orang terlihat mengelilingi sebuah kuburan di ujung area pemakaman. Kuburan itu diberi garis polisi, entah apa maksudnya.
Sementara di ujung yang berbeda. Saya melihat orang itu, orang berbaju merah itu. Dia menutup wajahnya dengan tangan. Tangannya yang belumuran tanah. Orang itu adalah “Pak Edi”

Tidak ada yang bisa saya simpulkan dari pemandangan ini. Entah apa yang sudah bapak lalui, kami tidak tahu. Yang kami tahu, 
Kami Terlambat

Beeeeeeeeb beeeeeeeeeeeeb

“Haloo bang Danil??”
“Ya?”
“KITA SUDAH BERHASIL NGUBUR JASAD YUDA”
“Hehe Alhamdulillah”
“Kalau bisa sampean kesini sekarang bang, kami kekurangan kendaraan buat pulang nih. Kasihan pak arman”
“OK!”

Saya menepuk pundak Maulida, dan kali ini tanpa takut dibanting

“Ayo! Tempat kita bukan disini”

Maulida menangis……… saya tidak menyangka dia bisa menangis

“Ini semua gara-gara kebodohan saya!!! Andai saya gak terjebak di sumur itu……”

“JANGAN CENGENG!!! Bapak saya belum mati!! Kita bisa menemuinya besok di rumah sakit”

Tidak mudah menenangkan maulida yang sedang marah, tapi lebih susah lagi menenangkannya ketika sedang sedih.

Kami pergi meninggalkan area pemakaman, dengan masih menyisakan banyak pertanyaan.
Tapi kami memilih untuk tidak memikirkannya sekarang.
Kami melewati kompleks rumah, yang sekarang sudah terlihat tenang.
Para tetangga keluar dari rumahnya
Mereka terlihat sibuk bercengkrama dengan para Umana' Berbaju putih itu
Mungkin ini adalah buah dari perjuangan bapak menginap di pesantren untuk menemui pengasuh

Kadang saya berpikir kenapa mereka di pesantren seperti tidak peduli
Tapi saya salah
Mereka sudah mengirmkan orang terbaiknya sejak dulu, untuk desa ini.



.::Cerita Selanjutnya::.