MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI CHAPTER 71
PASCA INSIDEN
Chapter 71
Agustus 2016
08.30
HOAX, HOAX, HOAX
Saya mempercepat laju motor saya, berharap mendung di atas saya tidak menjadi hujan dan hanyalah bualan (wooooooo wooouwooo uwooooo). Tapi rintik air yang jatuh di kaca helm saya adalah pertanda bahwa saya hanya punya dua pilihan. Berhenti dan terlambat, atau Tepat waktu dan Basah.
Saya memilih, Basah!
Tinggal dua blok lagi saya sampai di tempat tujuan. Ada alasan kenapa saya memilih hujan-hujanan, salah satunya karena orang yang akan saya temui ini, tidak lama lagi harus pergi meninggalkan kota.
Untuk selama-lamanya.
Akhirnya sampailah saya di sebuah masjid, di dekat terminal situbondo. Saya melepas helm, jaket dan sepatu saya yang basah karena hujan. Jalanan paving di halaman masjid sangat kotor sekali. Dan lagi-lagi Saya punya dua pilihan, beli sandal dan terlambat, atau tepat waktu dan nyeker
Saya memilih, Nyeker!
Dan pilihan saya tepat, karena orang itu masih ada disana. Orang yang sudah lama tidak saya lihat, dan selalu saya damba untuk bersua. Tubuhnya yang langsing dan tinggi itu, kulit tangnnya yang hitam kelam, serta kumis tipisnya yang tumbuh jarang-jarang, siapa yang tidak bisa mengenali sahabat saya yang satu itu…..
RASYID
Kami saling bertukar salam, bertukar kabar, dan Pin BB. Kemudian memulai percakapan dengan basa-basi yang lambat laun, menjadi beneran basi. Saya tahu Rasyid tidak punya banyak waktu. Jadi sebelum bus yang akan membawanya pulang datang, saya pun menyampaikan maksud tujuan saya mengajaknya bertemu disini.
Saya memintanya menceritakan sebuah kisah. Kisah yang mungkin tidak diketahui banyak orang, selain Rasyid dan warga kampungnya sendiri. Kisah yang harusnya saya tanyakan sejak dulu, karena tanpa diduga-duga kisah itu menjadi kisah saya juga.
Rasyid memandang langit-langit masjid…. Dan seiring lingkaran asap rokoknya yang menghilang, diapun memulai kisahnya…….
LEGENDA BATU LEMBU (KAMPUNG RASYID)
Hei hei, kamu lihat bapak itu, bapak yang bungkuk itu, dia bernama Pak jawi (Lembu)
Waaah kok bisa ya? Padahal kan gak miriiip
Yaaaa, kata bapak saya dia punya enam siluman sapi
Yang pertama….. matanya ngacir seperti mata sapi
Yang kedua…… mulutnya lebar selebar mulut sapi
Yang ketiga……. Gendut dan suka ngiler seperti sapi
Yang keempaaat…..
Buyuung!!! Ayo mandi, sudah sore ini
Iyaaaaa Buuuu
Pak Jawi yang bungkuk itu, menarik gerobak kecilnya menyusuri keramaian pasar. Dia berhenti hampir di setiap penjual sayur, tapi yang dibelinya hanyalah beberapa Ubi jalar.
“Untuk apa membawa gerobak kalau hanya belanja Ubi jalar?“
“Karena sebenarnya Pak Jawi sedang membawa Kedua anaknya…”
“Dua?? Kok di gerobaknya Cuma satu???”
“Sssssssstt!!! Yang satunya gak keliatan. Udah, ayo kita lanjut maen aja!!”
Begitulah percakapan anak-anak di desa itu, yang hampir terjadi setiap kali Pak Jawi lewat. Penduduk di desa ini masih banyak yang menganut paham animisme. Mereka percaya bahwa setiap benda apapun itu, memiliki roh yang bisa memberikan berkah pada manusia, atau bahkan juga kutukan.
Batu lembu
Begitulah para penduduk menyebutnya. Batu yang disusun tiga dan diikat dengan selendang kuning itu, dipercaya membawa keberuntungan bagi penduduk desa yang mayoritas petani. Batu lembu adalah lambang kesuburan tanaman, berkah hujan, penjaga hasil panen, penjaga hama dan penebus dosa.
Hampir disetiap sudut jalan, di samping warung, dan juga di pematang sawah ada batu tersebut. Tapi jauh di kedalaman hutan itu, batu yang sebenarnya tengah berdiri kokoh dan entah sudah berapa tahun lamanya. Batu Induk begitu mereka menyebutnya. Berbeda dengan yang biasa terlihat di desa, Batu Induk ini bentuknya menyerupai tanduk lembu, berwarna hitam, lebih besar dari ukuran manusia dewasa.
Beberapa tahun sebelum legenda ini…
Seorang dokter meninggalkan sumpah setianya demi sebuah persekutuan dengan Iblis. Ketika Ilmu pengetahuan dirasa tidak mampu mewujudkan ambisinya, dia pun memilih menganut ilmu hitam. Maka dimulailah perantauannya demi mencari seseorang yang mau menerimanya sebagai murid.
Tidak butuh waktu lama bagi dokter ini untuk menemukan apa yang dia cari. Berkat petunjuk gurunya, dia menemukan cara untuk mendapatkan kembali apa yang sudah di ambil Tuhan darinya. Yuda….. anak semata wayangnya. Buah hasil dari pernikahannya dengan Almarhum istrinya. Yang tewas tertembak pasiennya sendiri. Pasien wanita yang ternyata adalah korban pemerkosaan laki-laki besar yang dokter kira ayahnya. Tapi syaratnya tidaklah mudah.
Sang dokter tidak punya alasan untuk menyerah. Diapun menjalankan semua syarat itu termasuk mengambil sebagian dari sisa jasad Yuda. Tidak banyak yang bisa ditemukan dari mayat Yuda yang sudah lama terkikis bumi. Namun itu cukup untuk memulai ritualnya, dan hasilnya….
MENGERIKAN
Dokter itu berhasil mewujudkan mimpinya untuk bertemu dengan sang anak. Wajahnya, rambutnya, tubuhnya bahkan senyum dengan gigi depannya yang ompong, semua adalah milik Yuda. Tapi Yuda tidak disana…. Merasa amat sangat terpukul karena hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, Dokter itu mendatangi lagi gurunya…
Dokter punya pilihan, lanjut atau berhenti. Sang guru menyarankan agar mendatangi sebuah desa di pinggiran hutan, hutan yang paling luas di pulau itu. Di tengah hutan itulah dokter harus menyerahkan tumbal, apakah bentuk tumbalnya?? Disanalah dokter akan menemukan jawabannya. Jika dokter mampu melakukannya, maka Yuda yang sekarang akan disempurnakan akal dan pikirannya.
Perjalanannya dimulai. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang dimaksud, tapi keadaan dokter mulai berubah. Tubuhnya membungkuk, dan perlahan badannya melemah. Berbagai obat dan ramuan diminumnya demi bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Dan akhirnya sampailah dokter di tempat tujuan, namun lagi-lagi kecewa yang di dapatnya…..
Batu Induk…..
Adalah lambang penebusan dosa. Tapi yang dilihatnya disana adalah tumpukan mayat yang tidak berdosa. Bayi-bayi hasil dari hubungan gelap, ataupun bayi cacat yang tidak diinginkan semua di buang disana. Bau busuk yang sangat menyengat, menandakan bahwa tempat itu sudah sejak lama menjadi pembuangan mayat. Orang yang bunuh diri, pelacur, kriminal, dan bahkan bayi yang digugurkan.
Lalat menari-nari berputar di batu hitam besar itu, layaknya sedang berputar di tubuh seekor lembu. Pak Dokter memilih kembali karena sekarang dia tahu, apa yang harus jadi tumbalnya. Dia menolak! Dia tahu resikonya. Yuda yang sekarang memang tidak akan pernah jadi sempurna, tapi dokter sadar bahwa sejak awal Yuda memang tidak pernah kembali. Yang sedang bersamanya saat ini hanyalah Iblis yang menyerupai almarhum anaknya. Dan dia harus mengorbankan bayi yang tidak berdosa hanya demi sesosok Iblis??? Tidak! Disinilah Dokter itu menemukan sisi kemanusiaannya kembali. Tapi terlambat, walaupun hatinya masih milik manusia, tapi jiwanya adalah milik Iblis. Dokter harus tetap merawat Iblis yang dibangkitkannya, memberinya sesajen rumput segar setiap dua hari sekali, dan harus menggendongnya saat siang.
Tiba-tiba…..
Saat dokter hendak pergi meninggalkan tempat itu. Ada suara yang menghentikan langkahnya. Suara tangis bayi. Pak dokter menyusuri tumpukan bangkai manusia, mencari di sekeliling, dan akhirnya dia menemukannya. Bayi perempuan yang masih hidup.
Hari berganti hari……
Sang dokter yang memutuskan untuk merawat bayi perempuan itu, membangun sebuah gubug di tengah hutan. Di dekat sumur tua yang sudah tidak berair. Sumur itu adalah tempat yang pas untuk memendam sebagian jasad Yuda, karena jika tidak, maka nyawa dokterlah yang akan jadi gantinya. Hampir setiap hari dokter itu pergi ke tengah hutan untuk mencari rumput, dan juga buah-buahan untuk anak perempuannya. Sesekali dokter pergi melintasi batu induk, dan kali ini dia menemukan satu bayi lagi yang masih hidup. Tanpa pikir panjang, bayi itupun dibawanya.
Dan dalam waktu satu bulan….
Dokter sudah membawa pulang dua belas bayi ke gubugnya. Suara tangisan mereka yang kelaparan tidak bisa lagi disembunyikannya dari telinga warga, karena jarak gubugnya dengan pemukiman warga tidak terlalu jauh.
Satu persatu bayi itu meninggal karena dokter tidak punya cukup makanan, pakaian dan obat-obatan. Tinggallah enam orang bayi yang masih bertahan. Enam bayi yang cacat, tapi entah kenapa paling kuat diantara yang lainnya. Mereka jarang sekali menangis bahkan ketika lapar.
Tidak bisa selamanya bersembunyi, dokter memutuskan untuk melapor ke kepala suku di desa agar mengakui dirinya dan keenam anaknya sebagai warga desa. Kepala suku itu pun setuju, dengan syarat sang dokter harus mau melayani warga sebagai tabib.
Dua tahun berlalu….
Warga mulai mempertanyakan asal dari keenam anak dokter. Bukan hanya mereka lahir tanpa ibu, tapi mereka lahir dengan cacat fisik yang mengerikan. Dari sinilah nama Pak Jawi muncul. Sebuah julukan dari warga desa untuk Pak Dokter dengan keenam anaknya yang cacat itu.
Perlakuan warga terhadap enam anak Pak Jawi berubah drastis semenjak mereka tahu bahwa anak-anak itu adalah tumbal yang dipungut pak jawi dari batu induk. Berbagai bencana yang muncul seperti gagal panen, kemarau, dan serangan hama bagi mereka adalah ulah pak jawi.
Pak Jawi dipaksa agar mengembalikan anak-anaknya ke tempat asalnya, atau warga yang akan membunuhnya sendiri. Dari situ pak jawi mulai melarang anak-anaknya keluar pada siang hari.
“Kalau mau maen, gantian keluarnya yaaa. Kalau siang tidak ada kak Yuda yang menjaga kalian”
Dan kehidupan sehari-hari Pak Jawi pun dimulai. Merawat keenam anak yang cacat tidaklah semudah yang pak jawi bayangkan. Warga tidak mau lagi berobat atau meminum jamu dari Pak Jawi, bahkan beberapa kali mereka mendatangi rumah Pak Jawi, karena anaknya mencuri dagangan di pasar. Anak umur dua-tiga tahun, berjalan dari hutan ke pasar hanya untuk mencuri? Tidak masuk akal, tapi pak Jawi hanya bisa meminta maaf. Karena baginya itu adalah akal-akalan warga untuk mengusirnya dari desa.
Hingga akhirnya….
Seorang pria menyelamatkan Pak Jawi dari kebakaran rumahnya. Dan saat itulah yuda mulai menunjukkan wujud aslinya di depan dua orang warga yang masih anak kepala suku. Tidak punya tempat tinggal, dan terancam akan dibunuh, pak jawi dibawa pria itu kabur ke hutan demi menghindari kejaran warga.
Akhirnya…..
Keberadaan Pak Jawi, keenam anaknya dan juga pria itu tidak lagi terdengar. Hutan yang membentang luas itu menelan tubuh mereka hidup-hidup, begitulah yang dipercaya warga.
Dan seiring berkembangnya ajaran islam di daerah tersebut, satu-persatu batu lembu dimusnahkan termasuk batu induk yang ada di hutan. Cerita itu berubah menjadi legenda yang turun temurun diceritakan antar penduduk desa. Tentang bagaimana mengerikannya anak pak jawi, tentang bagaimana mengerikannya pak jawi. Tapi legenda tidak pernah menceritakan, tentang bagaimana mengerikannya warga memperlakukan anak-anak pak jawi.
……………………………………………………………………………………………………………………….
“Tragis”
Ucap saya setelah mendengar cerita dari Rasyid. Dia sudah menghabiskan tiga batang rokok, dan saya tiga belas batang Pocky. Kami sepakat untuk membasahi tenggorokan kami dengan es kelapa muda di dekat terminal.
“Es kelapa mbak Yenni”
Begitu yang terpampang di spanduknya, tapi ternyata penjualnya lebih mirip Mbah Yeni. Kami memesan dua porsi bakso dan es kelapa muda. Bagi saya es kelapa muda adalah pilihan yang tepat di setiap suasana, walaupun sedang hujan.
Kami melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda. Di bawah tenda biru Mbah Yeni, kali ini giliran saya yang bercerita…
LEGENDA PAK JAWI (KAMPUNG SAYA)
Ma, tahu sama Pak Jawi tukang bikin jamu itu??
Kenapa Pa??
Dia sekarang tinggal sama keenam anaknya
Lhooo, terus apanya yang aneh??
Ya aneh lah! Pak Jawi kan tidak punya istri, anaknya juga masih kecil, dan keenam-enamnya…….
CACAT!
Berbagai usaha dilakukan warga untuk menghindari anak-anak dari tetangga barunya itu. Pak Jawi pindah ke desa ini beberapa waktu lalu, dan tiba-tiba saja sekarang muncul enam orang anak yang diakui sebagai anaknya sendiri. Awalnya warga merasa Iba. Mereka mengayomi anak-anak pak jawi, seperti mereka mengayomi tabib kesayangannya itu. Memberikan pakaian, makanan, dan membuat tempat bermain di halaman rumahnya.
Tapi semua itu berubah karena kelakuan anak pak jawi dianggap tidak normal. Mereka sering masuk ke rumah warga tanpa permisi, hanya untuk pipis di kamar mandi, ambil makanan di dapur, dan tidur di tempat tidur mereka. Dan yang lebih aneh lagi, mereka melakukan itu di malam hari.
Akhirnya warga sepakat untuk tidak lagi peduli pada mereka berenam. Beberapa warga ada yang bertindak keterlaluan dengan melempar salah satu anak pak jawi ke luar rumah. Anak itu tidak menangis, dan pergi begitu saja. Tapi keesokan harinya warga yang melemparnya mendadak sakit parah.
Dan Muncullah mitos pertama bahwa………
ANAK-ANAK PAK JAWI, KERAMAT!
Tidak ada satu orang pun yang berani mengganggu mereka. Warga percaya kalau mengganggu anak pak jawi, bisa mendatangkan malapetaka.
Beberapa bulan kemudian
Kasus pencurian sedang marak di kompleks itu. Mulai dari ternak, uang, bahkan hasil panen. Beberapa warga melapor kehilangan jagung, timun, dan hasil panen lainnya. Entah siapa yang memulai, warga malah curiga pada anak-anak pak jawi. Tapi mitos pertama membuat mereka tidak berani ambil tindakan. Kecuali tiga orang warga yang datang ke rumah pak jawi karena memergoki salah satu anak beliau sedang berada di pekarangan rumahnya. Hasilnya, tiga orang itu dibawa pulang dengan tubuh penuh luka memar dan gigitan. Saat sadar, mereka tidak mau banyak bicara. Mereka hanya bilang kalau sudah melihat lembu hitam yang sangat besar.
Dan muncullah mitos kedua bahwa……
PAK JAWI MEMELIHARA MAHLUK HALUS
Kebakaran besar terjadi di rumah pak jawi. Meskipun begitu, jumlah korban yang meninggal hanya satu orang.
Dan muncullah mitos ketiga bahwa….
PAK JAWI SUDAH MATI
Tapi penderitaan warga dimulai dari sini. Rentetan kejadian tidak masuk akal menimpa warga hampir setiap hari. Beberapa ada yang mengaku di datangi anak pak jawi saat tidur. Ada pula yang mengaku melihat anak pak jawi berkeliaran di hutan dan lain-lain.
Puncaknya adalah ketika anak-anak warga mulai sering kesurupan tengah malam. Bergantian tiap rumah. Berbagai usaha dilakukan, salah satunya dengan mengadakan dzikir bersama. Barulah kasus kesurupan itu mereda.
Tapi penderitaan warga tidak cukup sampai disitu….
Mulai muncul bau menyengat di sekitar kompleks. Bau itu bertahan sampai satu minggu dan akibatnya warga mulai sakit-sakitan. Puskesmas setempat tidak mampu menampung warga sebanyak itu dalam satu hari sehingga beberapa ada yang dirujuk ke rumah sakit.
Penyakit itu baru berhenti setelah warga menemukan sumber baunya yang ternyata berasal dari sumur pak jawi. Guru besar di desa itu pun mulai ambil tindakan. Mereka membantu merawat warga yang sakit, dengan membuat posko pelayanan yang ditempatkan di tanah bekas rumah pak jawi. Salah satu orang yang ikut merawat warga adalah putri dari guru besar tersebut.
Dan muncullah mitos keempat bahwa…..
ARWAH PAK JAWI MASIH GENTAYANGAN
Tidak mau membiarkan keresahan warga berlarut-larut, aparat desa bekerja sama dengan Guru besar mengutus dua orang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Satu orang diutus untuk mencari tahu tentang riwayat pak jawi, satu orang lagi bertindak sebagai wakil Guru besar dalam mengawasi desa.
Setelah beberapa pekan, usaha aparat desa dan guru besar membuahkan hasil. Anak-anak pak jawi ditemukan meninggal di hutan dan segera dimakamkan, tanpa satu warga pun yang tahu. Beberapa hari setelah itu, pelaku yang membakar rumah pak jawi pun tertangkap. Dan keadaan desa kembali seperti semula, hingga hari ini....
BRMMMMMM
Bus yang membawa rasyid pulang ke kampungnya pun berangkat. Tidak banyak yang bisa saya berikan. Rasyid meninggalkan cerita yang luar biasa untuk saya, dan saya pun memberikan hal yang sama. Dua cerita yang mungkin berbeda tapi memiliki akhir yang sama. Legenda yang tidak mungkin ada di buku dongeng anak-anak.
Chapter 71
Agustus 2016
08.30
HOAX, HOAX, HOAX
Saya mempercepat laju motor saya, berharap mendung di atas saya tidak menjadi hujan dan hanyalah bualan (wooooooo wooouwooo uwooooo). Tapi rintik air yang jatuh di kaca helm saya adalah pertanda bahwa saya hanya punya dua pilihan. Berhenti dan terlambat, atau Tepat waktu dan Basah.
Saya memilih, Basah!
Tinggal dua blok lagi saya sampai di tempat tujuan. Ada alasan kenapa saya memilih hujan-hujanan, salah satunya karena orang yang akan saya temui ini, tidak lama lagi harus pergi meninggalkan kota.
Untuk selama-lamanya.
Akhirnya sampailah saya di sebuah masjid, di dekat terminal situbondo. Saya melepas helm, jaket dan sepatu saya yang basah karena hujan. Jalanan paving di halaman masjid sangat kotor sekali. Dan lagi-lagi Saya punya dua pilihan, beli sandal dan terlambat, atau tepat waktu dan nyeker
Saya memilih, Nyeker!
Dan pilihan saya tepat, karena orang itu masih ada disana. Orang yang sudah lama tidak saya lihat, dan selalu saya damba untuk bersua. Tubuhnya yang langsing dan tinggi itu, kulit tangnnya yang hitam kelam, serta kumis tipisnya yang tumbuh jarang-jarang, siapa yang tidak bisa mengenali sahabat saya yang satu itu…..
RASYID
Kami saling bertukar salam, bertukar kabar, dan Pin BB. Kemudian memulai percakapan dengan basa-basi yang lambat laun, menjadi beneran basi. Saya tahu Rasyid tidak punya banyak waktu. Jadi sebelum bus yang akan membawanya pulang datang, saya pun menyampaikan maksud tujuan saya mengajaknya bertemu disini.
Saya memintanya menceritakan sebuah kisah. Kisah yang mungkin tidak diketahui banyak orang, selain Rasyid dan warga kampungnya sendiri. Kisah yang harusnya saya tanyakan sejak dulu, karena tanpa diduga-duga kisah itu menjadi kisah saya juga.
Rasyid memandang langit-langit masjid…. Dan seiring lingkaran asap rokoknya yang menghilang, diapun memulai kisahnya…….
LEGENDA BATU LEMBU (KAMPUNG RASYID)
Hei hei, kamu lihat bapak itu, bapak yang bungkuk itu, dia bernama Pak jawi (Lembu)
Waaah kok bisa ya? Padahal kan gak miriiip
Yaaaa, kata bapak saya dia punya enam siluman sapi
Yang pertama….. matanya ngacir seperti mata sapi
Yang kedua…… mulutnya lebar selebar mulut sapi
Yang ketiga……. Gendut dan suka ngiler seperti sapi
Yang keempaaat…..
Buyuung!!! Ayo mandi, sudah sore ini
Iyaaaaa Buuuu
Pak Jawi yang bungkuk itu, menarik gerobak kecilnya menyusuri keramaian pasar. Dia berhenti hampir di setiap penjual sayur, tapi yang dibelinya hanyalah beberapa Ubi jalar.
“Untuk apa membawa gerobak kalau hanya belanja Ubi jalar?“
“Karena sebenarnya Pak Jawi sedang membawa Kedua anaknya…”
“Dua?? Kok di gerobaknya Cuma satu???”
“Sssssssstt!!! Yang satunya gak keliatan. Udah, ayo kita lanjut maen aja!!”
Begitulah percakapan anak-anak di desa itu, yang hampir terjadi setiap kali Pak Jawi lewat. Penduduk di desa ini masih banyak yang menganut paham animisme. Mereka percaya bahwa setiap benda apapun itu, memiliki roh yang bisa memberikan berkah pada manusia, atau bahkan juga kutukan.
Batu lembu
Begitulah para penduduk menyebutnya. Batu yang disusun tiga dan diikat dengan selendang kuning itu, dipercaya membawa keberuntungan bagi penduduk desa yang mayoritas petani. Batu lembu adalah lambang kesuburan tanaman, berkah hujan, penjaga hasil panen, penjaga hama dan penebus dosa.
Hampir disetiap sudut jalan, di samping warung, dan juga di pematang sawah ada batu tersebut. Tapi jauh di kedalaman hutan itu, batu yang sebenarnya tengah berdiri kokoh dan entah sudah berapa tahun lamanya. Batu Induk begitu mereka menyebutnya. Berbeda dengan yang biasa terlihat di desa, Batu Induk ini bentuknya menyerupai tanduk lembu, berwarna hitam, lebih besar dari ukuran manusia dewasa.
Beberapa tahun sebelum legenda ini…
Seorang dokter meninggalkan sumpah setianya demi sebuah persekutuan dengan Iblis. Ketika Ilmu pengetahuan dirasa tidak mampu mewujudkan ambisinya, dia pun memilih menganut ilmu hitam. Maka dimulailah perantauannya demi mencari seseorang yang mau menerimanya sebagai murid.
Tidak butuh waktu lama bagi dokter ini untuk menemukan apa yang dia cari. Berkat petunjuk gurunya, dia menemukan cara untuk mendapatkan kembali apa yang sudah di ambil Tuhan darinya. Yuda….. anak semata wayangnya. Buah hasil dari pernikahannya dengan Almarhum istrinya. Yang tewas tertembak pasiennya sendiri. Pasien wanita yang ternyata adalah korban pemerkosaan laki-laki besar yang dokter kira ayahnya. Tapi syaratnya tidaklah mudah.
Sang dokter tidak punya alasan untuk menyerah. Diapun menjalankan semua syarat itu termasuk mengambil sebagian dari sisa jasad Yuda. Tidak banyak yang bisa ditemukan dari mayat Yuda yang sudah lama terkikis bumi. Namun itu cukup untuk memulai ritualnya, dan hasilnya….
MENGERIKAN
Dokter itu berhasil mewujudkan mimpinya untuk bertemu dengan sang anak. Wajahnya, rambutnya, tubuhnya bahkan senyum dengan gigi depannya yang ompong, semua adalah milik Yuda. Tapi Yuda tidak disana…. Merasa amat sangat terpukul karena hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, Dokter itu mendatangi lagi gurunya…
Dokter punya pilihan, lanjut atau berhenti. Sang guru menyarankan agar mendatangi sebuah desa di pinggiran hutan, hutan yang paling luas di pulau itu. Di tengah hutan itulah dokter harus menyerahkan tumbal, apakah bentuk tumbalnya?? Disanalah dokter akan menemukan jawabannya. Jika dokter mampu melakukannya, maka Yuda yang sekarang akan disempurnakan akal dan pikirannya.
Perjalanannya dimulai. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang dimaksud, tapi keadaan dokter mulai berubah. Tubuhnya membungkuk, dan perlahan badannya melemah. Berbagai obat dan ramuan diminumnya demi bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Dan akhirnya sampailah dokter di tempat tujuan, namun lagi-lagi kecewa yang di dapatnya…..
Batu Induk…..
Adalah lambang penebusan dosa. Tapi yang dilihatnya disana adalah tumpukan mayat yang tidak berdosa. Bayi-bayi hasil dari hubungan gelap, ataupun bayi cacat yang tidak diinginkan semua di buang disana. Bau busuk yang sangat menyengat, menandakan bahwa tempat itu sudah sejak lama menjadi pembuangan mayat. Orang yang bunuh diri, pelacur, kriminal, dan bahkan bayi yang digugurkan.
Lalat menari-nari berputar di batu hitam besar itu, layaknya sedang berputar di tubuh seekor lembu. Pak Dokter memilih kembali karena sekarang dia tahu, apa yang harus jadi tumbalnya. Dia menolak! Dia tahu resikonya. Yuda yang sekarang memang tidak akan pernah jadi sempurna, tapi dokter sadar bahwa sejak awal Yuda memang tidak pernah kembali. Yang sedang bersamanya saat ini hanyalah Iblis yang menyerupai almarhum anaknya. Dan dia harus mengorbankan bayi yang tidak berdosa hanya demi sesosok Iblis??? Tidak! Disinilah Dokter itu menemukan sisi kemanusiaannya kembali. Tapi terlambat, walaupun hatinya masih milik manusia, tapi jiwanya adalah milik Iblis. Dokter harus tetap merawat Iblis yang dibangkitkannya, memberinya sesajen rumput segar setiap dua hari sekali, dan harus menggendongnya saat siang.
Tiba-tiba…..
Saat dokter hendak pergi meninggalkan tempat itu. Ada suara yang menghentikan langkahnya. Suara tangis bayi. Pak dokter menyusuri tumpukan bangkai manusia, mencari di sekeliling, dan akhirnya dia menemukannya. Bayi perempuan yang masih hidup.
Hari berganti hari……
Sang dokter yang memutuskan untuk merawat bayi perempuan itu, membangun sebuah gubug di tengah hutan. Di dekat sumur tua yang sudah tidak berair. Sumur itu adalah tempat yang pas untuk memendam sebagian jasad Yuda, karena jika tidak, maka nyawa dokterlah yang akan jadi gantinya. Hampir setiap hari dokter itu pergi ke tengah hutan untuk mencari rumput, dan juga buah-buahan untuk anak perempuannya. Sesekali dokter pergi melintasi batu induk, dan kali ini dia menemukan satu bayi lagi yang masih hidup. Tanpa pikir panjang, bayi itupun dibawanya.
Dan dalam waktu satu bulan….
Dokter sudah membawa pulang dua belas bayi ke gubugnya. Suara tangisan mereka yang kelaparan tidak bisa lagi disembunyikannya dari telinga warga, karena jarak gubugnya dengan pemukiman warga tidak terlalu jauh.
Satu persatu bayi itu meninggal karena dokter tidak punya cukup makanan, pakaian dan obat-obatan. Tinggallah enam orang bayi yang masih bertahan. Enam bayi yang cacat, tapi entah kenapa paling kuat diantara yang lainnya. Mereka jarang sekali menangis bahkan ketika lapar.
Tidak bisa selamanya bersembunyi, dokter memutuskan untuk melapor ke kepala suku di desa agar mengakui dirinya dan keenam anaknya sebagai warga desa. Kepala suku itu pun setuju, dengan syarat sang dokter harus mau melayani warga sebagai tabib.
Dua tahun berlalu….
Warga mulai mempertanyakan asal dari keenam anak dokter. Bukan hanya mereka lahir tanpa ibu, tapi mereka lahir dengan cacat fisik yang mengerikan. Dari sinilah nama Pak Jawi muncul. Sebuah julukan dari warga desa untuk Pak Dokter dengan keenam anaknya yang cacat itu.
Perlakuan warga terhadap enam anak Pak Jawi berubah drastis semenjak mereka tahu bahwa anak-anak itu adalah tumbal yang dipungut pak jawi dari batu induk. Berbagai bencana yang muncul seperti gagal panen, kemarau, dan serangan hama bagi mereka adalah ulah pak jawi.
Pak Jawi dipaksa agar mengembalikan anak-anaknya ke tempat asalnya, atau warga yang akan membunuhnya sendiri. Dari situ pak jawi mulai melarang anak-anaknya keluar pada siang hari.
“Kalau mau maen, gantian keluarnya yaaa. Kalau siang tidak ada kak Yuda yang menjaga kalian”
Dan kehidupan sehari-hari Pak Jawi pun dimulai. Merawat keenam anak yang cacat tidaklah semudah yang pak jawi bayangkan. Warga tidak mau lagi berobat atau meminum jamu dari Pak Jawi, bahkan beberapa kali mereka mendatangi rumah Pak Jawi, karena anaknya mencuri dagangan di pasar. Anak umur dua-tiga tahun, berjalan dari hutan ke pasar hanya untuk mencuri? Tidak masuk akal, tapi pak Jawi hanya bisa meminta maaf. Karena baginya itu adalah akal-akalan warga untuk mengusirnya dari desa.
Hingga akhirnya….
Seorang pria menyelamatkan Pak Jawi dari kebakaran rumahnya. Dan saat itulah yuda mulai menunjukkan wujud aslinya di depan dua orang warga yang masih anak kepala suku. Tidak punya tempat tinggal, dan terancam akan dibunuh, pak jawi dibawa pria itu kabur ke hutan demi menghindari kejaran warga.
Akhirnya…..
Keberadaan Pak Jawi, keenam anaknya dan juga pria itu tidak lagi terdengar. Hutan yang membentang luas itu menelan tubuh mereka hidup-hidup, begitulah yang dipercaya warga.
Dan seiring berkembangnya ajaran islam di daerah tersebut, satu-persatu batu lembu dimusnahkan termasuk batu induk yang ada di hutan. Cerita itu berubah menjadi legenda yang turun temurun diceritakan antar penduduk desa. Tentang bagaimana mengerikannya anak pak jawi, tentang bagaimana mengerikannya pak jawi. Tapi legenda tidak pernah menceritakan, tentang bagaimana mengerikannya warga memperlakukan anak-anak pak jawi.
……………………………………………………………………………………………………………………….
“Tragis”
Ucap saya setelah mendengar cerita dari Rasyid. Dia sudah menghabiskan tiga batang rokok, dan saya tiga belas batang Pocky. Kami sepakat untuk membasahi tenggorokan kami dengan es kelapa muda di dekat terminal.
“Es kelapa mbak Yenni”
Begitu yang terpampang di spanduknya, tapi ternyata penjualnya lebih mirip Mbah Yeni. Kami memesan dua porsi bakso dan es kelapa muda. Bagi saya es kelapa muda adalah pilihan yang tepat di setiap suasana, walaupun sedang hujan.
Kami melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda. Di bawah tenda biru Mbah Yeni, kali ini giliran saya yang bercerita…
LEGENDA PAK JAWI (KAMPUNG SAYA)
Ma, tahu sama Pak Jawi tukang bikin jamu itu??
Kenapa Pa??
Dia sekarang tinggal sama keenam anaknya
Lhooo, terus apanya yang aneh??
Ya aneh lah! Pak Jawi kan tidak punya istri, anaknya juga masih kecil, dan keenam-enamnya…….
CACAT!
Berbagai usaha dilakukan warga untuk menghindari anak-anak dari tetangga barunya itu. Pak Jawi pindah ke desa ini beberapa waktu lalu, dan tiba-tiba saja sekarang muncul enam orang anak yang diakui sebagai anaknya sendiri. Awalnya warga merasa Iba. Mereka mengayomi anak-anak pak jawi, seperti mereka mengayomi tabib kesayangannya itu. Memberikan pakaian, makanan, dan membuat tempat bermain di halaman rumahnya.
Tapi semua itu berubah karena kelakuan anak pak jawi dianggap tidak normal. Mereka sering masuk ke rumah warga tanpa permisi, hanya untuk pipis di kamar mandi, ambil makanan di dapur, dan tidur di tempat tidur mereka. Dan yang lebih aneh lagi, mereka melakukan itu di malam hari.
Akhirnya warga sepakat untuk tidak lagi peduli pada mereka berenam. Beberapa warga ada yang bertindak keterlaluan dengan melempar salah satu anak pak jawi ke luar rumah. Anak itu tidak menangis, dan pergi begitu saja. Tapi keesokan harinya warga yang melemparnya mendadak sakit parah.
Dan Muncullah mitos pertama bahwa………
ANAK-ANAK PAK JAWI, KERAMAT!
Tidak ada satu orang pun yang berani mengganggu mereka. Warga percaya kalau mengganggu anak pak jawi, bisa mendatangkan malapetaka.
Beberapa bulan kemudian
Kasus pencurian sedang marak di kompleks itu. Mulai dari ternak, uang, bahkan hasil panen. Beberapa warga melapor kehilangan jagung, timun, dan hasil panen lainnya. Entah siapa yang memulai, warga malah curiga pada anak-anak pak jawi. Tapi mitos pertama membuat mereka tidak berani ambil tindakan. Kecuali tiga orang warga yang datang ke rumah pak jawi karena memergoki salah satu anak beliau sedang berada di pekarangan rumahnya. Hasilnya, tiga orang itu dibawa pulang dengan tubuh penuh luka memar dan gigitan. Saat sadar, mereka tidak mau banyak bicara. Mereka hanya bilang kalau sudah melihat lembu hitam yang sangat besar.
Dan muncullah mitos kedua bahwa……
PAK JAWI MEMELIHARA MAHLUK HALUS
Kebakaran besar terjadi di rumah pak jawi. Meskipun begitu, jumlah korban yang meninggal hanya satu orang.
Dan muncullah mitos ketiga bahwa….
PAK JAWI SUDAH MATI
Tapi penderitaan warga dimulai dari sini. Rentetan kejadian tidak masuk akal menimpa warga hampir setiap hari. Beberapa ada yang mengaku di datangi anak pak jawi saat tidur. Ada pula yang mengaku melihat anak pak jawi berkeliaran di hutan dan lain-lain.
Puncaknya adalah ketika anak-anak warga mulai sering kesurupan tengah malam. Bergantian tiap rumah. Berbagai usaha dilakukan, salah satunya dengan mengadakan dzikir bersama. Barulah kasus kesurupan itu mereda.
Tapi penderitaan warga tidak cukup sampai disitu….
Mulai muncul bau menyengat di sekitar kompleks. Bau itu bertahan sampai satu minggu dan akibatnya warga mulai sakit-sakitan. Puskesmas setempat tidak mampu menampung warga sebanyak itu dalam satu hari sehingga beberapa ada yang dirujuk ke rumah sakit.
Penyakit itu baru berhenti setelah warga menemukan sumber baunya yang ternyata berasal dari sumur pak jawi. Guru besar di desa itu pun mulai ambil tindakan. Mereka membantu merawat warga yang sakit, dengan membuat posko pelayanan yang ditempatkan di tanah bekas rumah pak jawi. Salah satu orang yang ikut merawat warga adalah putri dari guru besar tersebut.
Dan muncullah mitos keempat bahwa…..
ARWAH PAK JAWI MASIH GENTAYANGAN
Tidak mau membiarkan keresahan warga berlarut-larut, aparat desa bekerja sama dengan Guru besar mengutus dua orang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Satu orang diutus untuk mencari tahu tentang riwayat pak jawi, satu orang lagi bertindak sebagai wakil Guru besar dalam mengawasi desa.
Setelah beberapa pekan, usaha aparat desa dan guru besar membuahkan hasil. Anak-anak pak jawi ditemukan meninggal di hutan dan segera dimakamkan, tanpa satu warga pun yang tahu. Beberapa hari setelah itu, pelaku yang membakar rumah pak jawi pun tertangkap. Dan keadaan desa kembali seperti semula, hingga hari ini....
BRMMMMMM
Bus yang membawa rasyid pulang ke kampungnya pun berangkat. Tidak banyak yang bisa saya berikan. Rasyid meninggalkan cerita yang luar biasa untuk saya, dan saya pun memberikan hal yang sama. Dua cerita yang mungkin berbeda tapi memiliki akhir yang sama. Legenda yang tidak mungkin ada di buku dongeng anak-anak.